PASCA “REVOLUSI SOSIAL” 1946 DI SUMATERA UTARA
Budi Agustono*
Sumatera Utara masa lampau adalah bekas entitas politik Kesultanan Melayu Sumatera Timur. Sebelum kedatangan bangsa Barat, terdapat kerajaaan Langkat, Deliserdang dan Asahan, kemudian berdiri Kualuh, Kotapinang, Bilah dan Panai. Wilayah kerajaan-kerajaan ini terletak di pesisir pantai dan aktivitas kesehariannya bersandar pada kehidupan pantai. Pada masa itu para pemimpin kerajaan ini untuk menopang denyut kehidupan ekonominya melakukan perdagangan antara satu daerah dengan yang lain.
Perdagangan memerlukan moda transportasi yang kala itu didominasi kapal atau perahu besar. Para pemimpin kerajaan ini memiliki kapal atau perahu besar dan sebagai pemilik kapal mereka menjalankan kegiatan dagangnya menjelajah ke berbagai tempat. Aktivitas perdagangan di pesisir pantai membuka wilayah kerajaan ini bersentuhan dengan penguasa dari kerajaan lain dan mempertemukan pedagang mancanegara seperti India, Arab, China, Persia dan sebagainya dengan budaya lokal. Pertemuan antar budaya ini menghasilkan persilangan budaya. Persilangan budaya ini memerkaya khazanah budaya lokal sehingga budaya yang dibawa beragam pedagang ini didialogkan dan disintesiskan sehingga terjadi saling silang budaya. Saling silang budaya ini memerkaya budaya lokal (pesisir pantai).
Saling silang budaya di antara kerajaan Melayu ini dengan berbagai komunitas mancanegara waktu tercermin dari terbangunnya hubungan ekonomi dan politik dengan Aceh. Aceh di masa abad ke delapan belas Aceh merupakan kerajaan besar dan berpengaruh dalam perdagangan dan politik. Demikian kuat pengaruh Aceh terhadap kerajaan-kerajaan sampai-sampai jika kerajaan-kerajan ini melakukan suksesi kepemimpinan harus mendapat persetujuan Aceh. Begitu juga dengan hubungan dan jaringan keagamaan antara kerajaan ini dengan negeri Islam di Timur Tengah cukup memadai. Jaringan-jaringan intelektual relijius ini dengan Makkah misalnya telah dijalin paruh pertama abad ke sembilan belas.
Kerajaan Kualuh yang merupakan pecahan dari kerajaan Asahan misalnya, ketika berada di bawah pemerintahan Sultan Ishak telah membangun hubungan dengan penyebar agama Islam kesohor Syeh Wahab Rokan, yang kemudian menyebarkan Islam ke wilayah sekitar Kualuh. Sepeninggal Sultan Ishak, pengaruhnya Islam bukannya menyurut, tetapi jalinan jaringan intelektual dengan ulama-ulama besar di Timur Tengah, khususnya Makkah, diteruskan putra Sultan Ishak, Nikmatullah. Seharusnya ketika Sultan Ishak berpulang, Nikmatullah menggantikan ayahnya memerintah Kualuh. Tetapi karena belum cukup umur, pengganti Sultan Ishak diteruskan oleh saudara dekatnya. Namun ketika Nikmatullah beranjak dewasa Nikmatullah belajar agama di Makkah sekaligus mendirikan padepokan agama di kota suci ini.
Jika ada orang dari kerajaan-kerajaan lainnya belajar agama ke Makkah, mereka tinggal di padepokan agama Sultan Nikmatullah. Setelah diarasa cukup belajar agama, Nikmatullah kembali ke Kualuh. Sekembalinya dari Makkah, selang beberapa lama Nikmatullah diangkat menjadi Sultan Kualuh. Sama seperti Kualuh, kerajaan Deli, Serdang, Langkat, Asahan, Kotapinang, dan Bilah mengalami perkembangan yang sama, terutama dalam birokrasi pemerintahan.
Dalam struktur kerajaan, Sultan berada di puncak kekuasaan. Para Sultan itu tidak saja sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin agama, tetapi juga pemimpin adat. Sebagai pemimpin adat Sultan tidak saja sebagai orientasi peradaban tetapi juga sebagai pemilik tanah. Sewaktu berlangsung perubahan struktural dengan runtuhnya jagad maritim (perdagangan) sebagai sumber peradaban bangsa digantikan dengan investor kolonial yang mencengkeram kerajaan Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Kualuh, Kotapinang, Panai dan sebagainya melalui kontrak politik yang menguntungkan sehingga mengubah kerajaan menjadi mitra politik kekuasaan kolonial. Sebagai mitra politik para kerajaan bekerjasama sepenuhnya dengan pemerintah Belanda.
Stigma Politik
Pemerintah Belanda tidak hanya mendelegitimasi Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Kualuh, Kotapinang, Bilah dan Panai, tetapi membawa keberuntungan ekonomi. Tidak lama setelah kerjasama dengan kerajaan-kerajaan yang kemudian dikenal sebagai Kesultanan Melayu, modal asing kolonial Belanda mengalir kencang ke wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan itu. Karena pemimpin adat di wilayah juridiksinya, ketika menggelinding komersialisasi dan investasi Belanda dan negara lainnya dalam perkebunan, para investor dari berbagai negara itu menyewa tanah kepada para Sultan yaitu tanah hak ulayat orang Melayu yang disebut tanah konsesi untuk keperluan ekspansi perkebunan.
Tanah konsesi ini mengalirkan keuntungan ekonomi bagi para Kesultanan Melayu. Di masa inilah istana-istana dibangun, masjid besar yang megah dan membanggakan didirikan, keluarga bangsawan mengecap pendidikan modern di kota-kota besar, pegawai birokrasi kerajaan dan perwakilan pemerintahan Belanda di Sumatera Timur diisi orang Melayu, adat resam dan budaya Melayu menjadi preferensi kultural, kesenian seperti bangsawan dan ronggeng berkembang pesat dan selalu ditampilkan di istana. Sebagai pemimpin agama, kesultanan melindungi agama Islam di wilayahnya. Dalam batas tertentu kawula Melayu karena mendapat keistimewaan ekonomi kehidupan rakyatnya membaik dan “sejahtera”.
Adanya sumber pendapatan baru tidak hanya dimanfaatkan untuk menegakkan kebudayaan, tetapi juga diinvestasikan untuk perbaikan hidup rakyat di wilayah kesultanan. Sultan Serdang misalnya mengembangkan pertanian sawah dengan memerbaiki saluran irigasi untuk perbaikan hidup rakyatnya. Kesultanan Kualuh untuk melindungi warga yang hendak menimba ilmu agama mendirikan pesanggrahan di Makkah. Kesultanan Langkat memproteksi ajaran sufi dengan memberi ruang kepada Syech Abdul Wahab Rokan dan keturunannya mengembangkan tarikat Naqsyabandiah di Babussalam Langkat. Di masa inilah kebesaran, kejayaan dan kebudayaan Melayu sebagai orientasi peradaban mengalami pasang naik.
Namun, kebesaran dan kejayaan kesultanan Melayu mulai mengalami gonjang ganjing politik setelah diaspora nasionalisme menembus Sumatera Timur. Aneka macam ideologi (Islam, sosialisme, dan komunisme) ini didukung kaum pendatang (Jawa, Mandailing, Batak Toba, Minang, dan Aceh) yang bekerja di berbagai sektor kehidupan. Tetapi para pendatang mengalir ke Sumatera Timur ada yang sengaja didatangkan dari tempat lain, tetapi ada juga yang mencari peruntungan hidup di Sumatera Timur yang masa itu menjadi magnit sumber kehidupan karena ekspansi perkebunan Belanda yang sangat berkembang pesat. Para pendatang, migran, tidak saja menjadi pemimpin partai atau sayap partai yang semakin radikal menggugat bangunan masyarakat Melayu yang relatif “sejahtera” dan tenteram waktu itu, tetapi ada juga yang mendapat kesempatan bekerja di birokrasi kesultanan (swapraja) dan menjadi guru agama.
Kemudian memasuki masa Jepang dan menjelang kemerdekaan situasi politik makin memburuk. Suasana kecemburuan, kebencian dan kemarahan terhadap kesultanan Melayu sangat dirasakan. Ketegangan ideologis yang bertindihan dengan suasana kecemburuan, kebencian, kemarahan dan tentu saja motif perampokan terhadap kesultanan Melayu mengalami puncaknya sewaktu meletup kekerasan politik yang dikenal sebagai revolusi sosial 1946.
Meletupnya “revolusi sosial” Maret 1946 yang menyapu Kesultanan Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Kualuh, Kotapinang, Bilah dan Panai tidak dapat membongkar bangunan masyarakat Melayu yang beradat dan berbudaya yang telah membumi dan berurat berakar di wilayah ini, tetapi hanya memproduksi kekerasan politik. Para Sultan, bangsawan dan kerabatnya disiksa, diperkosa, dibantai dan dibunuh. Harta kekayaan yang tak ternilai harganya itu dijarah dan dirampok.
Istana sebagai pusat orientasi kebudayaan Melayu yang megah itu dibakar. Penjarahan, perampokan, penyiksaan, pemerkosaan, pembantaian dan pembunuhan dilakukan secara terbuka dan terencana, malah para eksekutornya dikenal di kalangan lingkungan kesultanan dan mereka berkhianat kepada kesultanan. Akibat “Revolusi sosial” 1946 ini warisan budaya yang ditegakkan ratusan tahun lalu dihancurkan oleh mereka yang anti kesultanan. Jargon jarah hartanya, bunuh bangsawan, dan perkosa perempuan menunjukkan mengemukanya motif kecemburuan, penjarahan dan perampokan terhadap kesultanan Melayu.
Namun di atas semua itu akibat dari “revolusi sosial” 1946 pertama, menyebabkan hilangnya kaum sekolahan etnik Melayu sehingga tidak mampu berkompetisi dalam pengisian jabatan birokrasi di masa sesudahnya. Kedua, “revolusi sosial” memproduksi rasa traumatik berkepanjangan membuat orang Melayu diselimuti kecemasan dan ketakutan menyatakan diri sebagai orang Melayu. Ketiga, pasca “revolusi sosial” mengakibatkan orang Melayu mengalami peminggiran dan terdiskriminasi di pemerintahan dan perkebunan karena stigma anti republik.
Keempat, situasi politik pascaturbulensi politik itu menyebabkan identitas orang Melayu tercerabut dari akarnya, bahkan meminjam bahasanya Tengku Zainul Abidin Mansyur Syah, pemangku adat kerajaan Kualuh dan Achyar Tambusai, Wakil Ketua Umum Laskar Melayu, orang Melayu mengalami inferioritas diri akibat beban sejarah yang dipanggulnya. Seolah orang Melayu anti republik dan feodal, padahal banyak bangsawan Melayu yang pro republik dan berjuang memertahankan republik.
Stigma politik yang telah melanggar hak asasi manusia ini sangat membebani orang Melayu pasca “revolusi sosial” 1946. “Revolusi sosial” yang berkecamuk saat itu mengalami pembiaran dan bahkan pemerintah republik waktu itu hanya berdiam diri tanpa mengambil tindakan cepat mengatasi kekerasan politik tersebut. Sesungguhnya dalam perspektif hak asasi manusia, telah terjadi pelanggaran kemanusiaan berat di masa itu. “Revolusi sosial” 1946 tidak saja meninggalkan ingatan kolektif tentang kekerasan politik di awal berdirinya republik di wilayah ini, tetapi juga mengikis stigma politik.
Bersamaan dengan perubahan sosio politik Sumatera Utara, stigma politik warisan “revolusi sosial” yang dihadapi orang Melayu perlahan menghilang. Sama seperti kelompok etnik lainnya, orang Melayu yang menjadi bagian masyarakat Indonesia tiada hentinya menata soliditas dan jatinya dirinya dengan berdiaspora ke ruang publik. Inilah modal kultural dalam memerkuat masyarakat majemuk di Sumatera Utara.
*Budi Agustono adalah Sekretaris Program Studi Magister Sejarah FIB USU
Dikutip dari Waspada 22 September 2014