PASCA “REVOLUSI SOSIAL” 1946 DI SUMATERA UTARA

Tidak Seperti Istana Kesultanan Langkat yang Dibakar Pemberontak, Istana Maimun Deli (Medan) dan Istana Serdang, Selamat dari Pembakaran

Tidak Seperti Istana Kesultanan Langkat yang Dibakar Pemberontak, Istana Maimun Deli (Medan) dan Istana Serdang, Selamat dari Pembakaran

Budi Agustono*

Sumatera Utara masa lampau adalah bekas entitas politik Kesultanan Melayu Sumatera Timur. Sebelum kedatangan bangsa Barat, terdapat kerajaaan Langkat, Deliserdang dan Asahan, kemudian berdiri Kualuh, Kotapinang, Bilah dan Panai. Wilayah kerajaan-kerajaan ini terletak di pesisir pantai dan aktivitas kesehariannya bersandar pada kehidupan pantai. Pada masa itu para pemimpin kerajaan ini untuk menopang denyut kehidupan ekonominya melakukan perdagangan antara satu daerah dengan yang lain.

Perdagangan memerlukan moda transportasi yang kala itu didominasi kapal atau perahu besar. Para pemimpin kerajaan ini memiliki kapal atau perahu besar dan sebagai pemilik kapal mereka menjalankan kegiatan dagangnya menjelajah ke berbagai tempat. Aktivitas perdagangan di pesisir pantai membuka wilayah kerajaan ini bersentuhan dengan penguasa dari kerajaan lain dan mempertemukan pedagang mancanegara seperti India, Arab, China, Persia dan sebagainya dengan budaya lokal. Pertemuan antar budaya ini menghasilkan persilangan budaya. Persilangan budaya ini memerkaya khazanah budaya lokal sehingga budaya yang dibawa beragam pedagang ini didialogkan dan disintesiskan sehingga terjadi saling silang budaya. Saling silang budaya ini memerkaya budaya lokal (pesisir pantai).

Saling silang budaya di antara kerajaan Melayu ini dengan berbagai komunitas mancanegara waktu tercermin dari terbangunnya hubungan ekonomi dan politik dengan Aceh. Aceh di masa abad ke delapan belas Aceh merupakan kerajaan besar dan berpengaruh dalam perdagangan dan politik. Demikian kuat pengaruh Aceh terhadap kerajaan-kerajaan sampai-sampai jika kerajaan-kerajan ini melakukan suksesi kepemimpinan harus mendapat persetujuan Aceh. Begitu juga dengan hubungan dan jaringan keagamaan antara kerajaan ini dengan negeri Islam di Timur Tengah cukup memadai. Jaringan-jaringan intelektual relijius ini dengan Makkah misalnya telah dijalin paruh pertama abad ke sembilan belas.

Kerajaan Kualuh yang merupakan pecahan dari kerajaan Asahan misalnya, ketika berada di bawah pemerintahan Sultan Ishak telah membangun hubungan dengan penyebar agama Islam kesohor Syeh Wahab Rokan, yang kemudian menyebarkan Islam ke wilayah sekitar Kualuh. Sepeninggal Sultan Ishak, pengaruhnya Islam bukannya menyurut, tetapi jalinan jaringan intelektual dengan ulama-ulama besar di Timur Tengah, khususnya Makkah, diteruskan putra Sultan Ishak, Nikmatullah. Seharusnya ketika Sultan Ishak berpulang, Nikmatullah menggantikan ayahnya memerintah Kualuh. Tetapi karena belum cukup umur, pengganti Sultan Ishak diteruskan oleh saudara dekatnya. Namun ketika Nikmatullah beranjak dewasa Nikmatullah belajar agama di Makkah sekaligus mendirikan padepokan agama di kota suci ini.

Jika ada orang dari kerajaan-kerajaan lainnya belajar agama ke Makkah, mereka tinggal di padepokan agama Sultan Nikmatullah. Setelah diarasa cukup belajar agama, Nikmatullah kembali ke Kualuh. Sekembalinya dari Makkah, selang beberapa lama Nikmatullah diangkat menjadi Sultan Kualuh. Sama seperti Kualuh, kerajaan Deli, Serdang, Langkat, Asahan, Kotapinang, dan Bilah mengalami perkembangan yang sama, terutama dalam birokrasi pemerintahan.

Dalam struktur kerajaan, Sultan berada di puncak kekuasaan. Para Sultan itu tidak saja sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin agama, tetapi juga pemimpin adat. Sebagai pemimpin adat Sultan tidak saja sebagai orientasi peradaban tetapi juga sebagai pemilik tanah. Sewaktu berlangsung perubahan struktural dengan runtuhnya jagad maritim (perdagangan) sebagai sumber peradaban bangsa digantikan dengan investor kolonial yang mencengkeram kerajaan Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Kualuh, Kotapinang, Panai dan sebagainya melalui kontrak politik yang menguntungkan sehingga mengubah kerajaan menjadi mitra politik kekuasaan kolonial. Sebagai mitra politik para kerajaan bekerjasama sepenuhnya dengan pemerintah Belanda.

Stigma Politik

Pemerintah Belanda tidak hanya mendelegitimasi Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Kualuh, Kotapinang, Bilah dan Panai, tetapi membawa keberuntungan ekonomi. Tidak lama setelah kerjasama dengan kerajaan-kerajaan yang kemudian dikenal sebagai Kesultanan Melayu, modal asing kolonial Belanda mengalir kencang ke wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan itu. Karena pemimpin adat di wilayah juridiksinya, ketika menggelinding komersialisasi dan investasi Belanda dan negara lainnya dalam perkebunan, para investor dari berbagai negara itu menyewa tanah kepada para Sultan yaitu tanah hak ulayat orang Melayu yang disebut tanah konsesi untuk keperluan ekspansi perkebunan.

Tanah konsesi ini mengalirkan keuntungan ekonomi bagi para Kesultanan Melayu. Di masa inilah istana-istana dibangun, masjid besar yang megah dan membanggakan didirikan, keluarga bangsawan mengecap pendidikan modern di kota-kota besar, pegawai birokrasi kerajaan dan perwakilan pemerintahan Belanda di Sumatera Timur diisi orang Melayu, adat resam dan budaya Melayu menjadi preferensi kultural, kesenian seperti bangsawan dan ronggeng berkembang pesat dan selalu ditampilkan di istana. Sebagai pemimpin agama, kesultanan melindungi agama Islam di wilayahnya. Dalam batas tertentu kawula Melayu karena mendapat keistimewaan ekonomi kehidupan rakyatnya membaik dan “sejahtera”.

Adanya sumber pendapatan baru tidak hanya dimanfaatkan untuk menegakkan kebudayaan, tetapi juga diinvestasikan untuk perbaikan hidup rakyat di wilayah kesultanan. Sultan Serdang misalnya mengembangkan pertanian sawah dengan memerbaiki saluran irigasi untuk perbaikan hidup rakyatnya. Kesultanan Kualuh untuk melindungi warga yang hendak menimba ilmu agama mendirikan pesanggrahan di Makkah. Kesultanan Langkat memproteksi ajaran sufi dengan memberi ruang kepada Syech Abdul Wahab Rokan dan keturunannya mengembangkan tarikat Naqsyabandiah di Babussalam Langkat. Di masa inilah kebesaran, kejayaan dan kebudayaan Melayu sebagai orientasi peradaban mengalami pasang naik.

Namun, kebesaran dan kejayaan kesultanan Melayu mulai mengalami gonjang ganjing politik setelah diaspora nasionalisme menembus Sumatera Timur. Aneka macam ideologi (Islam, sosialisme, dan komunisme) ini didukung kaum pendatang (Jawa, Mandailing, Batak Toba, Minang, dan Aceh) yang bekerja di berbagai sektor kehidupan. Tetapi para pendatang mengalir ke Sumatera Timur ada yang sengaja didatangkan dari tempat lain, tetapi ada juga yang mencari peruntungan hidup di Sumatera Timur yang masa itu menjadi magnit sumber kehidupan karena ekspansi perkebunan Belanda yang sangat berkembang pesat. Para pendatang, migran, tidak saja  menjadi pemimpin partai atau sayap partai yang semakin radikal menggugat bangunan masyarakat Melayu yang relatif “sejahtera” dan tenteram waktu itu, tetapi ada juga yang mendapat kesempatan bekerja di birokrasi kesultanan (swapraja) dan menjadi guru agama.

Kemudian memasuki masa Jepang dan menjelang kemerdekaan situasi politik makin memburuk. Suasana kecemburuan, kebencian dan kemarahan terhadap kesultanan Melayu sangat dirasakan. Ketegangan ideologis yang bertindihan dengan suasana kecemburuan, kebencian, kemarahan dan tentu saja motif perampokan terhadap kesultanan Melayu mengalami puncaknya sewaktu meletup kekerasan politik yang dikenal sebagai revolusi sosial 1946.

Meletupnya “revolusi sosial” Maret 1946 yang menyapu Kesultanan Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Kualuh, Kotapinang, Bilah dan Panai tidak dapat membongkar bangunan masyarakat Melayu yang beradat dan berbudaya yang telah membumi dan berurat berakar di wilayah ini, tetapi hanya memproduksi kekerasan politik. Para Sultan, bangsawan dan kerabatnya disiksa, diperkosa, dibantai dan dibunuh. Harta kekayaan yang tak ternilai harganya itu dijarah dan dirampok.

Istana sebagai pusat orientasi kebudayaan Melayu yang megah itu dibakar. Penjarahan, perampokan, penyiksaan, pemerkosaan, pembantaian dan pembunuhan dilakukan secara terbuka dan terencana, malah para eksekutornya dikenal di kalangan lingkungan kesultanan dan mereka berkhianat kepada kesultanan. Akibat “Revolusi sosial” 1946 ini warisan budaya yang ditegakkan ratusan tahun lalu dihancurkan oleh mereka yang anti kesultanan. Jargon jarah hartanya, bunuh bangsawan, dan perkosa perempuan menunjukkan mengemukanya motif kecemburuan, penjarahan dan perampokan terhadap kesultanan Melayu.

Namun di atas semua itu akibat dari “revolusi sosial” 1946 pertama, menyebabkan hilangnya kaum sekolahan etnik Melayu sehingga tidak mampu berkompetisi dalam pengisian jabatan birokrasi di masa sesudahnya. Kedua, “revolusi sosial” memproduksi rasa traumatik berkepanjangan membuat orang Melayu diselimuti kecemasan dan ketakutan menyatakan diri sebagai orang Melayu. Ketiga, pasca “revolusi sosial” mengakibatkan orang Melayu mengalami peminggiran dan terdiskriminasi di pemerintahan dan perkebunan karena stigma anti republik.

Keempat, situasi politik pascaturbulensi politik itu menyebabkan identitas orang Melayu tercerabut dari akarnya, bahkan meminjam bahasanya Tengku Zainul Abidin Mansyur Syah, pemangku adat kerajaan Kualuh dan Achyar Tambusai, Wakil Ketua Umum Laskar Melayu, orang Melayu mengalami inferioritas diri akibat beban sejarah yang dipanggulnya. Seolah orang Melayu anti republik dan feodal, padahal banyak bangsawan Melayu yang pro republik dan berjuang memertahankan republik.

Stigma politik yang telah melanggar hak asasi manusia ini sangat membebani orang Melayu pasca “revolusi sosial” 1946. “Revolusi sosial” yang berkecamuk saat itu mengalami pembiaran dan bahkan pemerintah republik waktu itu hanya berdiam diri tanpa mengambil tindakan cepat mengatasi kekerasan politik tersebut. Sesungguhnya dalam perspektif hak asasi manusia, telah terjadi pelanggaran kemanusiaan berat di masa itu. “Revolusi sosial” 1946 tidak saja meninggalkan ingatan kolektif tentang kekerasan politik di awal berdirinya republik di wilayah ini, tetapi juga mengikis stigma politik.

Bersamaan dengan perubahan sosio politik Sumatera Utara, stigma politik warisan “revolusi sosial” yang dihadapi orang Melayu perlahan menghilang. Sama seperti kelompok etnik lainnya, orang Melayu yang menjadi bagian masyarakat Indonesia tiada hentinya menata soliditas dan jatinya dirinya dengan berdiaspora ke ruang publik. Inilah modal kultural dalam memerkuat masyarakat majemuk di Sumatera Utara.

*Budi Agustono adalah Sekretaris Program Studi Magister Sejarah FIB USU

Dikutip dari Waspada 22 September 2014

TENGKU AMIR HAMZAH SANG RAJA PENYAIR

Penyair dan Pahlawanan Nasional Asal Langkat, Tengku Amir Hamzah

Penyair dan Pahlawanan Nasional Asal Langkat, Tengku Amir Hamzah

Di lahirkan pada 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, ibukota Kerajaan Kesultanan Langkat, darah bangsawan Melayu mengalir di dalam diri Tengku Amir Hamzah. Meskipun merupakan keturunan bangsawan terhormat pada masanya, namun dalam diri seorang Tengku Amir Hamzah adalah pribadi yang bersahaja, relijius, dan cinta pada persatuan Indonesia.

Sebagai keluarga dari kerabat Sultan, Amir pun dapat meraih pendidikan tinggi yang pada masa penjajahan tidak semua orang dalam meraihnya. Amir sempat bersekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat SMP di Medan, lalu pindah melanjutkan pendidikannya MULO di Jakarta. Setelah lulus MULO Amir masuk ke AMS (Algemeene Middelbare School) sederajat SMA di Solo, dan kembali lagi ke Jakarta melanjutkan (Recht Hogeschool), Sekolah Tinggi Hukum. Di tengah masa perantauanya di Jawa, Amir kehilangan kedua orangtua yang dicintainya. Pertama ia kehilangan sang ibunda, lalu menyusul ayahandanya ketika Amir menempuh studi Recht Hogeschool. Hingga biaya pendidikan Amir pun ditanggung oleh pamannya.

Bersama rekan sesama orang Sumatera lain yaitu Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane, mereka mendirikan sebuah penerbitan majalah bernama Poedjangga Baroe, yang tujuannya adalah memberikan dorongan terhadap terbentuknya kebudayaan Indonesia baru, baik dalam hal budaya maupun sastra. Tengku Amir Hamzah sendiri terlibat dalam bidang sastra khususnya puisi. Dari sinilah namanya semakin dikenal sebagai seorang penyair hebat dalam sejarah modren kesusasteraan Indonesia.

Tengku Amir Hamzah adalah penyair dalam makna sesungguhnya. Ia memiliki pribadi yang halus, santun serta romantis. Itulah mengapa oleh kritikus sastra Indonesia H.B Jassin, Tengku Amir Hamzah dianggap sebagai seorang Raja Penyair Poedjangga Baroe, karena ketekunan dan konsistensi Amir dalam bidang kepenyairan. Dua buku karya puisinya yang terkumpul dalam Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu (1941), masih terus menjadi bahan kajian kesusasteraan Indonesia.

Selain di bidang sastra, Tengku Amir Hamzah adalah seorang nasionalis Indonesia yang turut dalam pergerakan melawan bangsa penjajah. Keterlibatannya dalam gerakan perlawan bermula setelah ia melanjutkan studi di Jawa. Bahkan ketika para pemuda Indonesia bersatu melaksanakan Kongres Pemuda tahun 1928, Amir Hamzah adalah orang yang pertama kali memperkenalkan Peci kepada Bung Karno. Peci adalah songkok kepala khas lelaki Melayu. Namun, karena keterlibatannya yang semakin dalam di pergerakan pemuda, menyebabkan pamannya yang merupakan Sultan Langkat, memanggil Amir kembali ke Langkat dan menikahkannya dengan putri sultan. Amir pun kemudian diangkat menjadi seorang residen (setingkat wakil kepala daerah) yang berkedudukan di Binjai, yang masuk dalam wilayah Kesultanan Langkat.

Ketika terjadi Revolusi Sosial 1946 di Sumatera Timur, yang digerakan oleh kelompok aktifis Komunis dan Sosialis yang anti terhadap kelompok Feodalis (kerajaan/kesultanan) dan berserta kerabatanya, karena tuduhan telah menyengsarakan rakyat dan memeras rakyat yang mengakibatkan kesusahan atas diri mereka. Maka terjadilah tindakan huru-hara dengan menculik para keluarga dan kerabat kesultanan. Amir sendiri yang merupakan residen tidak berlari sembunyi menghadapi penculikan tersebut, hal ini karena keyakinan dalam diri Amir bahwa ia adalah seorang nasionalis sejati dan cinta tanah air Indonesia. Itu telah ia buktikan sejak ikut pergerakan pemuda di Jawa. Meskipun pada akhirnya Amir diculik dan dibawa ke Perkebunan Kuala Begumit, bersama para tawanan dan kerabat kesultanan Amir dibunuh secara keji oleh sesama kaum sebangsa yang ia cintai. Revolusi memakan daging anaknya sendiri.

Pusara Tengku Amir Hamzah di Komplek Masjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat

Pusara Tengku Amir Hamzah di Komplek Masjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat

Atas jasa-jasanya dalam pembangunan kesusasteraan Indonesia, dan perjuangannya terhadap penjajah yang telah digelutinya di pergerakan pemuda, akhirnya Amir mendapat pengakuan dari pemerintah dan mengangkatnya sebagai salah satu pahlawan nasional. Kini pusara Sang Raja Penyair dan Pahlawan Nasional itu, tenang di sebelah Masjid Azizi di Tanjung Pura. Di sebelah masjid itu juga terdapat sebuah museum yang mengumpul koleksi karya sang penyair.

Berikut ini adalah kumpulan puisi Tengku Amir Hamzah yang terkumpul dari dua buku karyanya Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu.

Kumpulan puisi dalam buku Nyanyi Sunyi (1937)

Sunyi itu duka

Sunyi itu kudus

Sunyi itu lupa

Sunyi itu lampus

PADAMU JUA

 Habis kikis

Segela cintaku hilang terbang

Pulang kembali padamu

Seperti dulu

Kaulah kendil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan

Sabar, setia selalu

Satu kekasihku

Aku manusia

Rindu rasa

Rindu rupa

Di mana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata mengkai hati

Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu

Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar

Sayang berulang padamu jua

Engkau pelik menarik ingin

Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

Lalu waktu – bukan giliranku

Mati hari – bukan kawanku…

HANYA SATU

 Timbul niat dalam kalbumu:

Terban hujan, ungkai badai

Terendam karam

Runtuh ripuk tamanmu rampak

Manusia kecil lintang pukang

Lari terbang jatuh duduk

Air naik tetap terus

Tumbang bungkat pokok purba

Teriak riuh dendam terbelam

Dalam gegap gempita guruh

Kilai kilat membelah gelap

Lidah api menjulang tinggi

Terapung naik jung bertudung

Tempat berteduh nuh kekasihmu

Bebas lepas lelang lapang

Di tengah gelisah, swara sentosa

Bersemayam sempana di jemala gembala

Juriat jelita bapaku iberahim

Keturunan intan dua cahaya

Pancaran putera berlainan bunda

Kini kami bertikai pangkai

Di antara dua, mana mutiara

Jauhari ahli lali menilai

Lengah langsung melewat abad

HANYUT AKU

Hanyut aku, kekasihku!

Hanyut aku!

Ulurkan tanganmu, tolong aku.

Sunyinya sekelilingku!

Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati, tiada air

Menolak ngelak.

Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku sebabkan

diammu.

Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam.

Tenggelam dalam malam.

Air di atas mendidih keras.

Bumi di bawah menolak ke atas.

Mati aku, kekasihku, mati aku!

Sunting sanggul melayah rendah

                 Sekali sajak seni sedih

Kumpulan puisi dalam buku Buah Rindu (1941)

Remukkan rindu

Redamkan duka

Rentapkan sendu

       Hari kelana

 

 

KENANG-KENANGAN

 Tambak beriak intan terberai

Kemuncak bambu tunduk melambai

Maskumambang mengisak sampai

Merenangkan mata Kesuma Teratai

Senyap sentosa sebagai sendu

Tunjung melampung merangkum kupu

Hanya bintang cemerlang-mengambang

Di awang terbentang sepanjang pandang

Dalam sunyi kudus mulia

Murka kanda di bibir kesumba

Undung dinda melindung kita

Heran kanda menakjubkan jiwa

Dinda berbisik rapat di telinga

Lengan melengkung memangku kepala

Putus-putus sekata dua:

“Kunang-kunang mengintai kita”…

MALAM

 Daun bergamit berpaling muka

Mengambang tenang di laut cahaya

Tunduk mengurai surai terurai

Kelapa lampai melambai bidai

Nyala pelita menguntum melati

Gelanggang sinar mengembang lemah

Angin mengusap menyayang pipi

Balik-berbalik menyerah-nyerah

Air mengalir mengilau-sinau

Riak bergulung pecah-memecah

Nagasari keluar meninjau

Membanding purnama di langit cerah

Lepas rangkum pandan wangi

Terserak harum pemuja rama

Hinggap mendakap kupu berahi

Berbuai-buai terlayang lena

Adikku sayang berpangku guring

Rambutmu tuan kusut melipu

Aduh bahagia bunga kemuning

Diri dihimpit kucupan rindu

TINGGALLAH

 Tinggallah tuan, tinggallah bonda

Tanah airku Sumatera raya

Anakda berangkat ke pulau Jawa

Memungut bunga suntingan kepala

Pantai Cermin rumu melambai

Selamat tinggal pada anakda

Rasakan iu serta handai

Mengantarkan beta ke pangkalan kita

Telah lenyap pokok segala

Bondaku tuan duduk berselimut

Di balik cindai awan angkasa

Jauh hatipun konon datang meliput

Selat Melaka ombaknya memecah

Memukul kapal pembawa beta

Rasakan swara yang maha ramah

Melengahkan anakda janganlah duka

Layang-layang terbang berlomba-lomba

Menuju pulau kunjunjung tinggi

Dalam hatiku kujadikan duka

Menyampaikan pesan katan hati

Selamat tinggal bondaku Perca

Panjag umur kita bersua

Gobahan cempaka anakda bawa

Jadikan gelang di kaki bonda

Gelang Cempaka pujaan Dewa

Anakda peetik di tanah Jawa

Akan Bonda penambah cahaya

Akan Ibu penambah mulya.

KUSANGKA

 Kusangka cempaka kembang setangkai

Rupanya melur telah diseri…

Hatiku remuk mengenang ini

Wasangka dan was-was silih berganti

Kuharap cempaka baharu kembang

Belum tahu sinar matahari…

Rupanya terati patah kelopak

Dihinggapi kumbang berpuluh kali

Kupohonkan cempaka

Harum mula terserak……

Melati yang ada

Pandai tergelak…..

Mimpiku seroja terapung di paya

Teratai putih awan angkasa….

Rupanya mawar mengandung lumpur

Kaca piring bunga renungan…..

Igauanku subuh, impianku malam

Kuntum cempaka putih berseri…

Kulihat kumbang keliling berlagu

Kelopakmu terbuka menerima cembu

Kusangka hauri berudung lingkup

Bulumata menyangga panah Asmara

Rupanya merpati jangan dipetik

Kalau dipetik menguku segera.

Ke bawah peduka Indonesia-raya

Ke bawah lebu Ibu-ratu

Ke bawah kaki Sendari-dewi

DEDENG: NYANYIAN UPACARA TURUN KE LADANG ETNIK MELAYU LANGKAT, PESISIR TIMUR SUMATERA UTARA

DEDENG: NYANYIAN UPACARA TURUK KE LADANG ETNIK MELAYU LANGKAT, PESISIR TIMUR SUMATERA UTARA
Muhammad Zulfahmi*

Gambar: Sultan Langkat Abdul Jalil Rahmatshah Al Hajj (tengah kuning) bersama kerabat Kesultanan Langkat. (Foto: Medanmagazine.com)

Gambar: Sultan Langkat Abdul Jalil Rahmatshah Al Hajj (tengah kuning) bersama kerabat Kesultanan Langkat. (Foto: Medanmagazine.com)

Kabupaten Langkat adalah sebuah wilayah yang termaksud ke dalam suatu kawasan budaya etnik Melayu Langkat yang berada di Pesisir Timur Sumatera Utara. Secara budaya, etnik Melayu Langkat memiliki banyak corak dan ragam adat dan budaya termaksud di dalammnya kesenian. Kesenian di wilayah Kabupaten Langkat di antaranya adalah musik Ronggeng Melayu, Senandung, Hadrah, Barzanji, musik Tari Inai untuk Pengantin, Tari Serampang XII dan juga musik vokal yang disebut dengan Dedeng. Musik vokal Dedeng pada awalnya dinyanyikan pada saat kegiatan adat dalam tiga aktifitas agrikultural (Takari: 56, 1996), yaitu pada saat upacara penebangan hutan untuk lahan pertanian, menanam benih di lahan dan pada saat aktifitas musim panen tiba.
Ditinjau dari sudut konteksnya, nyanyian Dedeng dapat dikatagorikan dalam nyanyian yang bersifat sakral dan religi, karena aktifitas bernyanyi ini bagi masyarakat Melayu Langkat pada awalnya dianggap sesuatu yang suci dan ditunjukan kepada roh-roh gaib (Takari: 55, 1996). Menurut Takari, musik vokal Dedeng termakasud dalam katagori musik sebagai bagian dari religi animisme.
Dedeng bermakna bernyanyi, atau aktifitas bernyanyi dari seseorang atau kelompok masyarakat yang ditujukan untuk memberikan suatu perlindungan dan kesuburan, dan hasil yang melimpah dalam bidang pertanian. Walaupun Dedeng merujuk pada aktifitas bernyanyi, tetapi yang dimaksud bukanlah bernyanyi dalam pengertian umum dalam kebudayaan musik masyarakat Melayu lainnya seperti Dendang Melayu, dan Langgam Melayu. Dendang Melayu lebih menekankan kepada fungsinya sebagai hiburan biasa, sedangkan aktifitas berdedeng lebih bermakna kepada sebuah aktifitas yang lebih khusus, yakni bernyanyi dengan harapan untuk mendapatkan hasil pertanian yang melimpah dari kuasa gaib yang dipercaya dapat memberikan perlindungan dari musuh-musuh tanaman baik berupa hama tanaman maupun dari binatang buas dan juga dari binatang peusak tanaman yang tidak tampak secara kasat mata.
Jenis-jenis Dedeng
Bedasarkan bentuk penyajiannya, musik vokal Dedeng pada dasarnya terbagi tiga jenis yaitu, pertama Dedeng yang dinyanyikan pada saat menebang hutan sebagai lahan perladangan baru yang disebut Dedeng Padang Reba. Kedua nyanyian yang dilakukan pada saat menamam benih padi yang disebut dengan Dedeng Mulaka Nukal. Ketiga nyanyian yang dilakukan pada saat padi telah menguning dan telah siap untuk dipanen yang disebut dengan Dedeng Ahoi.
Teks-teks Dedeng pada umumnya berbentuk pantun dan syair yang dinyanyikan oleh seorang pawang atau dukun dan juga para peserta yang ikut berpartisipasi dalam upacara turun ke sawah. Teks Dedeng yang berbentuk pantun dinyanyikan oleh sekelompok orang yang ikut serta dalam proses pembukaan lahan, menanam lahan dan memanen hasil pertanian. Selanjutnya teks-teks Dedeng yang berbentuk syair merupakan teks yang berbentuk mantra, biasanya digunakan oleh seorang pawang atau dukun dalam berkomunikasi dengan kekuatan supernatural dalam aktifitas membuka lahan pertanian baru.
Pantun dan syair dari teks-teks Dedeng berisi tentang himbauan, permohonan, dan harapan yang ditujukan kepada dua hal yakni kepada manusia dan kepada alam (Manurung: 43, 1995). Dedeng yang ditujukan kepada manusia adalah Dedeng yang bersifat himbauan kepada masyarakat Melayu yang berada di sekitar tempat tinggal mereka untuk mencari hutan yang dianggap cocok sebagai lahan pertanian baru. Semakin banyak masyarkat yang berpartisipasi dalam mengerjakan pertanian baru ini, maka semakin luas pula lahan yang dapat dibuka. Oleh karena luasnya lahan yang dibuka, maka tidak hanya melibatkan satu atau dua keluarga saja melainkan melibatkan banyak keluarga dan juga kerabat yang ada di sekitar tempat tinggal masyarakat, bahkan beberapa desa yang mengerjakan lahan secara bergotong royong.
Dedeng yang ditujukan kepada alam adalah Dedeng yang memegang perananan penting dalam hal meminta izin kepada penunggu hutan yang terdiri dari hama-hama tanaman, roh-roh gaib, dan binatang buas agar tidak mengganngu aktifitas atau mengahalangi keinginan mereka baik sewaktu merintis atau ketika mendapatkan lahan pertanian.
Dalam konteks penyajian musik vokal Dedeng pada kebudayaan masyarakat etnik Melayu Langkat, pada dasarnya terdiri dari dua bagian yang terintegrasi. Pertama, yang bersifat sakral dan religi terutama pada bagian baris pantun atau syair yang berisi mantra yang dilakukan oleh seorang pawang hutan. Kemudian yang kedua adalah pada barisan pantun yang dinyanyikan oleh peserta upacara yang justru dianggap sebagai hiburan semata. Walaupun kedua bentuk penyajian syair atau pantun itu berbeda konteksnya namun mereka menganggap keduanya terintegrasi karena tercakup di dalam sebuah aktifitas upacara yang sakral sesuai dengan keperluan upacaranya. Untuk mengetahui bentuk penyajian Dedeng dalam ketiga jenis aktifitas agrikultural tersebut akan diuraikan seperti di bawah ini.
Proses penyajian Dedeng pada reba diawali oleh berkumpulnya para kaum lelaki yang bersepakat untuk pergi ke hutan untuk mencari lahan sebagai perladangan baru dengan beberapa pertimbangan yang cocok sebagai lahan seperti tanah yang subur, mengandung banyak air, dan banyak tumbuhan berbagai macam jenis tumbuhan. Setelah lahan hutan tersebut ditemukan, lalu mereka mendatangi pengetua adat kampung dan melaporkan hasil temuan mereka. Setelah dilaporkan dan dipertimbangkan oleh pengetua adat kampung, lalu mereka bersama masyarakat lainnya meninjau lokasi baru tersebut. Untuk meninjau lokasi baru itu juga tidak boleh secara sembarangan melainkan ditentukan harinya yang menurut mereka hari ini merupakan hari yang baik. Penentuan hari yang baik untuk meninjau lokasi baru tersebut ditentukan pula oleh sang pengetua adat setelah melakukan ‘’menilik hari’’ dan menemukan hari yang tepat.
Selanjutnya setelah hari yang baik ditemukan lalu penengtua adat menghimbau kepada masyarakat dan pemuda setempat untuk meninjau lokasi hutan sebagai lahan pertanian baru itu. Mereka membawa beberapa peralatan menebang hutan seperti kampak dan parang. Selanjutnya mereka mencari pohon yang paling besar sebagai tempat untuk menancapkan beberapa parang dan kampak tesebut ke pohon kayu sambil berkomunikasi dengan roh penunggu kayu tersebut dengan mengungkapkan beberapa kalimat yang berfungsi sebagai mantra seperti di bawah ini.
Kalau hutan ini boleh kami jadikan tempat perladangan kami, tolong diberikan tanda supaya kami tidak mendapat halangan, perkenankan kami mencari nafkah di tempat ini dan berikan rezeki, maka pertanda kampak ini tetap berada di kayu ini. Tetapi seandainya pohon ini tidak boleh kami tebang, berilah tanda kepada kami supaya kami berpindah ke tempat lain, pertandang parang atau kampak ini lepas dari pohon kayu ini.
Rentang waktu antara penancapan kampak dan parang dengan waktu mendapatkan kabar izin dari roh-roh gaib, lamanya adalah satu malam. Hal ini berarti bahwa jika kampak dan parang telah ditancapkan selama satu malam, maka keesokan harinya anggota masyarakat telah mendapatkan kabar izin atau setidaknya lahan tersebut dibuka dari makhluk-makhluk gaib yang ada di sekitar pohon itu. Adakalanya ketika keinginan mereka untuk membuka lahan baru ternyata tidak mendapatkan izin, maka mereka meminta bantuan seorang pawang sebagai mediator untuk memindahkan makhluk gaib yang ada disekitarnya ke tempat lain.
Biasanya untuk mengetahui apakah lahan tersebut mendapat izin atau tidak, dilakukan oleh pengetua adat yang langsung meninjau lokasi lahan baru itu pada waktu pagi hari. Apabila kampak dan parang masih tertancap pada pohon kayu yang besar itu, berarti lahan tersebut mendapat izin untuk dibuka sebagai lahan perladangan baru. Selanjutnya pengetua adat memberi tahu kepada seluruh warga bahwa lahan tersebut telah mendapatkan izin, yang kemudian dilaksanakan sebuah upacara penebangan hutan yang diikuti oleh seorang pawang atau dukun. Pada saat upacara penebangan hutan inilah Dedeng pada reba dinyanyikan oleh seoran dukun atau pengetua adat yang dapat menyanyikan dengan baik sembari menyiapkan beberapa beras kunyit dan kemenyan yang dibakar ditujukan untuk mendapatkan restu dari kuasa-kuasa gaib yang berada di sekitar lahan itu. Upacara dilakukan dengan cara menabur segenggam beras kunyit oleh pengetua adat, sedangkan pawang terus membakar dupa kemenyan sambil menyanyikan nyanyian Dedeng. Adapun teks syair Dedeng yang dinyanyikan adalah seperti yang di bawah ini.
Oi…….dendang di dendang
Dendangku sayang
Dendang di
Denda………..ng
Dendang di
Denda……….ng
Dendang di
Denda………ng
Dendangku sayang
Pada reba padang jalura….an
Dulu ditebas baru ditebang
Udah direbah daun pulona…..an
Baru kunanti hujan dating

Oi…….dendang didendang
Dendangku sayang
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendangku sayang

Padang reba padang
Jalura………………..an
Hendak ditanam padi segumpal
Sudah diradah nanti direba
Nantikan kaum datang menukal
Oi…….dendang didendang
Dendangku sayang
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendangku sayang

Sungguh sedap berpadang reba
Naik batang si turun batang
Alangkah sedap dipandang mata
Kaum kerabat sematanya datang

Oi…….dendang didendang
Dendangku sayang
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendangku sayang

Jika ditinjau dari ilmu Hermeneutika (ilmu tentang simbol), makna yang terkandung dari teks Dedeng Padang Reba menyiratkan tentang tiga hal pokok yaitu, pertama adalah peristiwa pembukaan lahan pertanian baru, yang kedua adalah peristiwa menanam benih baru dan yang ketiga adalah peristiwa kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama yang secara harafiah diartikan kegiatan bergotong royong dalam melaksanakan pekerjaan.
Mulaka Nukal adalah kegiatan yang dilakukan pada saat penabur benih padi di lahan pertanian baru yang dibuka. Dalam pelaksanaan upacara Mulaka Nukal, kegiatannya tidak lagi dilaksanakan secara luas oleh kesatuan dari beberapa kelompok melainkan dilaksanakan hanya oleh para pemilik lahan yang menggarap lahannya masing-masing menurut pembagian keluarga atau kerabatnya. Hal ini terjadi disebabkan setelah lokasi hutan dibersihkan, mereka membagi lahan kepada masing-masing keluarga atau kerabatnya, walaupun dalam proses pengerjaannya aktifitas menanam benih tetap dilakukan secara bersama-sama yang bertujuan untuk membantu setiap kelompojk keluarga.
Sebelum upacara menabur benih dilakukan, biasanya para pemilik lahan mendatangai para tetangga untuk meminta bantuan dalam menabur benih ke lahan barunya. Pemilik ladang menyediakan beraneka makanan untuk disantap oleh para tetangga yang akan membantunya menuai benih. Setelah para tentangga dan kerabat bersedia untuk membantunya, lalu mereka secara bersama-sama turun ke ladang sambil menyiapkan berbagai keperluan untuk menuai benih padi seperti alat-alat untuk melubangi tanah sebagai tempat bibit padi ditaburkan yaitu sebuah kayu berukuran sebesar pergelangan tangan dan panjanganya kira-kira satu setangah meter. Bagian pangkal sari kayu tersebut dikikis diberi ketajaman agar dapt membuat lubang di tanah.
Upacara dimulai dengan menyanyikan beberapa bait teks Dedeng oleh si pemilik lahan atau boleh juga oleh peserta yang dapat menyanyikannya. Nyanyian Dedeng pada upacara Mulaka Nukal syairnya berisi tentang permohonan agar padi yang ditanam dapat tumbuh dengan baik, terhindar dari hama-hama tanaman, dan juga harapan agar mendapatkan hasil panen yang berlimpah roh dari kuasa-kuasa gaib yang diyakini dapat memberikan kebaikan kepada manusia.
Selain itu teks Dedeng juga berisi tentang syair-syair yang ditujukan sebagai rasa penghargaan kepada para peserta yang ikut dalam aktifitas menaman padi seperti di bawah ini.

Oi…….dendang didendang
Dendangku sayang
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendangku sayang

Padang reba padang
Jalura………………..an
Hendak ditanam padi segumpal
Sudah diradah nanti direba
Nantikan kaum datang menukal
Oi…….dendang didendang
Dendangku sayang
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendangku sayang

Sungguh sedap berpadang reba
Naik batang si turun batang
Alangkah sedap dipandang mata
Kaum kerabat sematanya datang

Aktifitas berdedeng dalam upacara Mulaka Nukal tidak berlangsung lama, karena setelah nyanyian Dedeng dilakukan kegiatan menanam padi dapat segera dilaksanakan. Setelah upacara dilakukan kegiatan menyanyi dapat dilanjutkan kembali oleh para peserta yang ikut berpartisipasi dalam menanam benih padi. Pelaksanaan penanam benih padi, umumnya dilakukan para pemuda dan pemudi kampung. Sebelumnya beberapa orang pemuda telah berbaris secara teratur membentuk saf sambil menghujamkan sepasang kayu pembuat lubang ke dalam tanah sebagai tempat bibit atau benih padi. Di belakangnya diikuti oleh para penabur benih, wanita yang berbaris menurut saf sambil meletakan bibit benih padi ke dalam lubang. Kaum pria maupun wanita masing-masing menunjukan kebolehannya dan keterampilannya dalam membuat lubang dengan cepat, begitu juga kaum wanita dengan cegat dan sigap dapat degan cepat pula mengisi benih padi ke dalam lubang. Aktifitas membuat lubang di permukaan tanah ini biasanya disebut dengan istilah. Kaum lelaki biasanya melakukan aktifitas menukal dengan cara beradu cepat diantara mereka, dan saling mendahului. Siapa yang lebih cepat menukal dianggap yang paling terampil dan lebih cekatan. Begitu juga kaum wanita, mereka berlomba-lomba untuk mengisi benih padi ke dalam lubang yang telah dibuat oleh para penukal. Biasanya aktifistas menukal dan menabur benih di lahan pertanian dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin yakni hanya satu hari saja. Bila tanah atau lahan yang dibuka dalam ukuran yang luas sekali, maka pekerjaan ini dapat dilanjutkan keesokan harinya. Dalam kegiatan ini tak jarang di antara mereka ada yang berkomunikasi secara tersirat, dan adanya keinginan untuk mengenal lebih dekat terhadap wanita atau pria yang diidamkannya dalam kegiatan tersebut.
Para pemuda menggunakan kesempatan ini untuk lebih mengenal gadis idamannya dengan cara melantunkan beberapa pantun, berdendang, yang berisi tentang sindiran, sapaan, atau gurauan kepada wanita yang didambakannya. Pantun dedeng disesuaikan dengan isi hatinya dengan harapan mendapat respon dari pasangannnya. Bagi pemuda dan pemudi masyarakat Melayu kegiatan ini merupakan kegiatan yang dianggap yang paling efektif untuk tujuan mengenal antara satu sama lainnya dalam kehidupan pergaualan muda-mudi. Pada zaman dahulu, para pemuda dan pemudi yang bercakap-cakap atau bertemu secara bebas pada masyarakat Melayu dianggap pantang atau tabu.
Setelah sekian lama benih ditabur, selanjutnya padi mulai tumbuh besar, tinggi yang kemudian menghasilkan padi baru siap untuk dipanen. Selanjutnya si empunya ladang akan kembali mengundang warga kampung, terutama kaum muda-mudi dalam kegiatan mengetan padi. Mengetan padi adalah sebuah kegiatan memanen padi dengan menggunakan ketam atau ani-ani yakni pisau pemutus padi dari tangkainya. Sambil mengetan padi para muda-mudi kampung berkomunikasi antara satu sama lainnya dan saling lebih mempererat tali silahturahmi di antara mereka, bahkan ada yang melanjutkan perkenalan di antara mereka, sebagaimana mereka telah merajut tali asmara ketika mereka melaksaknakan aktifias menukal sebelumnya.
Setelah pekerjaan mengetan padi selesai dikerjakan, sebagian di antara muda-mudi tadi ada yang mengikat tangkai-tangkai padi yang baru diketam dan dikumpulkan secara berkelompok-kelompok agar mudah dibawa ke rumah si empunya padi. Setelah kegiatan mengetam padi dan mengangkat padi ke rumah selesai dikerjakan, beberapa hari selanjutnya pemilik padi kembali mengundang para pemuda dan pemudi ke rumahnya untuk melakukan pekerjaan lanjutan.
Kegiatan pemuda-pemudi selanjutnya adalah kegiatan mengirik padi yaitu kegiatan yang bertujuan untuk melepas butir padi dari tangkainya. Lakasi melepas butir padi biasanya berada pada bagian tengah dalam rumah. Posisi para wanita berada di belakang sebuah bilik, sedangkan para pengirik padi lelaki berada di pinggir tumpukan tangkai padi dalam posisi membentuk lingkaran tumpukan padi. Para orang tua biasanya berada di sekitar belakang bagian dapur rumah sambil mengawasi kegiatan mengirik padi ini sampai selesai dikerjakan kaum muda-mudi. Kegiatan mengirik padi adalah kegiatan melepaskan butir padi dari tangkainya yaitu dengan cara menginjak-injak tangkai padi sampai padinya lepas dari tangkainya. Tangkai-tangkai padi taid diinjak, dipilin, diputar dengan menggunakan kedua kadi sehingga padi seluruh butir padi jatuh ke bawah lantai yang diberi alas tikar pandan. Untuk lebih menghangatkan suasana pengirik padi yang berjenis kelamin laki-laki melantumkan beberapa pantun. Mereka bernyanyi dedeng sambil mengucapkan kata-kata ahoi-ahoi secara responsial, untuk lebih menambahkan semangat dalam melakukan aktifitas mengirik padi.
Para pemuda terus menyanyi, berpantun secara bersahut-sahutan dan secara bergiliran bertujuan untuk mengeluarkan cetusan isi hati mereka kepada para wanita idamannya masing-masing. Biasanya pantun terdiri dari beberapa bait sesuai dengan kemampuan masing-masing pemuda dalam membuatnya. Pantun terdiri dari sampiran dan isi yang diucapkan sesirang dengan nada yang sama dan berulang-ulang tapi teksnya berbeda dan isi pantun disesuaikan denagn kehendak dan maksud, pikiran si penyampai pantun. Ketika sampiran dan isi yang teridiri dari empat baris selesai diucapakan, selanjutnya para peserta lainnya langsung menyabut dengan kata Ahoi-ahoi-ahoi. Selanjutnya ketika isi pantun selesai diucapkan seketika itu pula pra peserta lainnya kembali mengucapkan kata-kata Ahoi-ahoi-ahoi, demikian seterusnya. Jika seseorang telah meneyelesaikan pantunnya, maka pantun selanjutnya dapat dilakukan secara bergantian oleh seluruh peserta. Cara pelaksanaannya sama dengan pemantun sebelumnya dan disambut pula oleh peserta lainnya dengan kata Ahoi-ahoi-ahoi. Pantun boleh juga diajukan kepada seseorang wanita yang disenangi. Dalam aktifitas berpantun ini sering terjadi kesalah pahaman di antara mereka ketika pantun dinyanyikan, di mana seseorang merasa bahwa pantun tersebut ditujukan kepada dirinya, tetapi ternyata bukan ditujukan kepada dirinya, sehingga terjadilah gelak tawa yang membahana di antara sesama mereka bahkan para orangtua yang mengawasi mereka. Contohnya pantun seperti di bawah ini.
Tiga petak tiga penjuru
Tiga ekor kumbang diapit
Pantun tidak tertuju padamu
Teruntuk dara berlusung pipit.
Mendengar pantun ditujukan kepadanya, wanita berlesung pipit kemudian tersipu-sipu malu, bahkan di antara para gadis ada yang saling cubit-cubitan. Selanjutnya seorang gadis menjulurkan sekapur siri dengan menggunakan seutas tali kepada seorang pemantun untuk menyabut baik pemantun. Tetapi adakalanya seorang pemuda iseng mengambil jaluran sekapur sirih yang ditujukan kepada pemantun padahal sekapur sirih itu bukan ditujukan kepadanya. Namun jika juluran sekapur sirih itu langsung diambil si pemantun, barulah pemuda iseng tadi tidak mengambilnya. Mereka terus mengirik padi sambil bernyanyi dengan menggunakan pantun yang bervariasi sesuai dengan tujuan diantaranya adalah pantun sekedar perkenalan, pantun nasehat, pantun asmara, pantun semangat dan jenis pantun yang disesuaikan dengan kehendak, hasrat dan pikiran seorang pemantun. Contoh pantun selanjutnya adalah sebagai berikut.
Kalau tidak karena bulan
Mana bintang meninggi hari
Kalau tidak karena tuan
Mana dagang datang ke mari
Ahoi-ahoooi-ahoi
Ahoi-ahooooi-ahoi
Anak daek mudek ke hulu
Hendak mengambil si asam pauh
Biarpun zaman terus berlalu
Budaya kita dipegang teguh
Ahoi-ahoooi-ahoi
Ahoi-ahooooi-ahoi
Kalau ada kaca di pintu
Kaca lama saya pecahkan
Kalau adik kata begitu
Badan dan nyawa saya serahkan
Ahoi-ahoooi-ahoi
Ahoi-aohoooi-ahoi
Pagi hari surya bersinar
Banyak orang menebang kayu
Sudah banyak lagu didengar
Tidak sesedap lagu melayu
Ahoi-ahoooi-ahoi
Ahoi-ahooooi-ahoi
Hitam-hitam si buah manggis
Manis pulak rasa isinya
Biar hitam ku pandang manis
Yang hitam manis siapa namanya.
Ahoi-ahoooi-ahoi
Ahoi-ahooooi-ahoi

Para pemuda maju ke tengah secara bergantian untuk melakukan aktifitas berpantun yang kemudian disambut pula oleh para pemuda lainnya di arena mengirik padi tersebut. Mereka terus beradu pantun sambil melakukan aktifitas mengirik padi hingga tidak terasa hari sudah beranjak larut malam. Setelah mereka lelah mengirik padi barulah beristirahat sambil menikmati beberapa makanan, bahkan ada keluarga yang rela mempersiapkan hidangan untuk makan malam bersama sebelum acara mengirik padi dilaksanakan oleh para anak dara. Bila mereka semua telah merasa lelah, barulah kegiatan mengirik padi dapat dihentikan. Jika seandainya persediaan tangkat padi masih banyak, maka kegiatan mengirik padi dapat dilanjutkan pada malam hari berikutnya.
Dari sekian banyak genre kesenian yang ada, musik vokal Dedeng merupakan musik vokal yang sudah semakin langka dan musik yang semakin tidak terelakan kepunahannya. Padahal dulunya musik vokal ini dianggap musik yang paling esensial dan sangat berperan dalam kehidupan masyarakat etnik Melayu Langkat khususnya dalam kegiatan bercocok tanam. Denagn berubahanya lahan hutan menjadi kawasan industri, apalagi berubahnya peukiman penduduk dari desa menjadi kota, praktis penggunaan dan fungsi Dedeng semakin jarang dan terancam punah. Kemudian dengan berubanhnya sistem sosial pertanian masyrakat dewasa ini yang menggunakan sistem pertanian modern, dan mengabaikan sistem atau konsep-konsep pertanian tradisional, sudah barang tentu salah satu warisan kekayaan budaya dalam bidang agrikultur ini akan hilang.

Diedit oleh Visitlangkat
*Muhammad Zulfahmi adalah dosen Institut Seni Indonesia Padangpanjang, Sumatera Barat. Dikutip dalam Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 14, No.1, Juni 2012.