JEJAK RITUAL NYEPI DI KAMPUNG BALI LANGKAT

 

Pintu Gerbang Masuk Kampung Bali, Desa Paya Tusam, Kec Wampu, Kab Langkat, Sumut

Pintu Gerbang Masuk Kampung Bali, Desa Paya Tusam, Kec Wampu, Kab Langkat, Sumut

MelayuLangkat. Ledakan Gunung Agung pada februari 1963 akan menjadi peristiwa kelam bagi sejarah Bali. Dalam catatan sejarah, letusan Gunung Agung mengeluarkan 300 juta meter kubik magma, yang membuat cahaya matahari berkurang dan menimbulkan terjadinya gerhana bulan. Dampak lainnnya, tanah pertanian menjadi tandus, dan masyarakat Bali kehilangan sumber pendapatan sehari-hari. Masa-masa itu menjadi periode paling sulit dalam sejarah masyarakat Bali.

Sebagai bentuk tanggung jawab, pemerintah masa itu merencanakan program transmigrasi bagi masyarakat Bali keluar pulau agar mendapat pengganti lahan pekerjaan dan kehidupan yang baik. Setelah menunggu rencana tersebut, akhirnya muncul tawaran dari perusahaan perkebunan karet (PPN Karet) bagi masyarakat korban letusan Gunung Agung, sebuah kontrak kerja selama 6 tahun.

Jalan panjang pun dilalui oleh masyarakat Bali yang melakukan kontrak kerja tersebut. Daratan Bali ditinggalkan dan menempuh perjalanan darat ke Tanjung Priok, Jakarta. Dari Tanjung Priok perjalanan dilanjutkan dengan kapal laut menuju ke Belawan, Medan. Sesampainya di daratan pertama di pulau Sumatera ini, selanjutnya mereka di bawa ke perkebunan karet di Bandar Selamat, Asahan. Selama perjalanan panjang tersebut, ada beberapa dari saudara sesama warga Bali yang meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke tempat tujuan. Tanggal 3 bulan november 1963, adalah kali pertama kelompok warga Bali tersebut tiba di Bandar Selamat. Itulah awal cerita suka duka I Nengah Sambe, ketika mengikuti ayahnya merantau ke Sumatera pada usia 13 tahun. Perjalanan hidupnya tersebut masih terus dia ingat, termaksud tanggal, tahun, dan bulan yang selalu dilihatnya di ukiran papan warung milik ayahnya.

Kedatangan masyarakat Bali ke Sumatera, khususnya Sumatera Utara, menambah ragam suku nusantara yang mendiami provinsi ini. Jejak keberadaan masyarakat Bali di Sumatera Utara dapat dilihat di desa Paya Tusam, kecamatan Wampu, kabupaten Langkat. I Nengah Sambe, merupakan generasi pertama yang mendiami desa Paya Tusam. Di usianya yang memasuki 65 tahun, I Nengah yang juga berposisi Pemangku (kepala adat) suku Bali di Langkat, menceritakan bagaimana awalnya suku Bali mendiami tanah Langkat.

Setelah kontrak pertama selama 6 tahun selesai, sebagian masyarakat Bali yang tinggal di perkebunan Bandar Selamat, memohon untuk mundur dengan hormat sebagai buruh perkebunan, dan kembali ke tanah leluhurnya di Bali. Sementara sebagian yang ingin terus menetap di Sumatera, berencana untuk membentuk suatu perkampungan Bali, di mana masyarakat Bali perantauan ini dapat melakukan ritus dan budayanya persis seperti di Bali dengan sesama masyarakat Bali lainnya. Maka melalui organisasi Parisada Hindu, masyarakat Bali ini diperbantukan untuk dicarikan sebuah lahan kosong yang dapat ditempati oleh masyarakat Bali. Akhirnya pilihan tersebut jatuh ke wilayah hutan belantara yang berstatus Tanah Negara Bebas. Masyarakat Bali yang akan mendiami wilayah ini diharuskan membayar ganti tanah tersebut sebagai milik warga, yang dapat mereka olah sebagai kebun pribadi.

Berdasarkan penuturan I Nengah, awalnya suku Bali yang mendiami hutan belantara tersebut hanya terdiri dari 5 kepala keluarga (KK) saja. Kelima kepala keluarga tersebut adalah generasi pertama yang mendiami wilayah Paya Tusam pada tahun 1974. Dua tahun berikutnya, sebagian masyarakat Bali lainnya yang bekerja sebagai buruh di perkebunan Tanjung Garbus, Deli Serdang, datang dengan jumlah yang lebih besar ke desa ini, maka jumlah penduduk Bali bertambah menjadi 60 KK, akhirnya desa Paya Tusam dikenal sebagai Kampung Bali.

Pintu Pura Agung Masyarakat Hindu Bali di Langkat

Pintu Pura Agung Masyarakat Hindu Bali di Langkat

Kepala dusun Paya Tusam, Nyoman Sumandro, adalah generasi kedua yang mendiami Kampung Bali. Berdasarkan catatannya, Nyoman mengatakan bahwa saat ini suku Bali yang mendiami desa Paya Tusam hanya 36 KK dari 74 KK yang berada di bawah naungannya. Sisa 38 KK lainnya adalah suku Jawa yang datang dalam kurun tahun 1980 sampai 1990-an. Sementara warga Bali yang awalnya mendiami desa tersebut telah pergi meninggalkan kampung dan menjadi perantau di wilayah Riau, Jambi dan Lampung. Meskipun jumlah suku Bali lebih sedikit daripada suku Jawa, namun kedua suku pendatang ini hidup rukun berdampingan. Bahkan pernikahan di antara dua suku ini juga terjadi, seperti pengalaman Nyoman yang berisitrikan perempuan Jawa.

Satu hari menjelang peringatan Nyepi, yang biasa disebut nilem (hari tilem/gelap bulan), para suku Bali seperi I Nengah Sambe, Nyoman Sumandro dan lainnya, berbenah menyiapkan perayaan besar agama Hindu. Pada hari tilem ini diadakan upacara mecaru, yang pada intinya mensucikan alam sekitar tempat tinggal dari gangguan roh jahat (Buthakala) agar tidak mengganggu kehidupan warga. Upacara mecaru dilaksanakan di pintu gerbang masuk kampung Bali, lengkap dengan sebuah sanggah bambu yang digunakan sebagai tempat penampahan dan sejumlah sajen lainnya sebagai pelengkap ritual sembahyang. Segala rupa bahan-bahan sajen ini dipersiapkan secara bersama-sama oleh warga di Pura.

Upacara Mecaru (H-1) sebelum Nyepi

Upacara Mecaru (H-1) sebelum Nyepi

Menjelang sore pukul 5, para warga berkumpul di tempat upacara mecaru, ritual dipimpin oleh I Nengah Sambe dengan khusyuk. Selama pelaksanaan ritual, para warga sekitiar menyaksikan sembahyang umat Hindu Bali ini dengan sikap tertib. Selepas pembacaan mantra, sajen yang telah dipersiapkan sebagai persembahan dihanyutkan oleh jemaah ke aliran sungai sekitar desa. Sungai telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Bali di Langkat. Setelah persembahan tersebut, jemaah dipersilahkan pulang ke rumah masing-masing untuk melakukan ritual keliling rumah sambil membawa dupa pembakaran. Untuk selanjutnya, mereka berkumpul kembali ke Pura untuk melakukan ritual sembahyang Pengrupukan/Pangidaran.

Keesokan harinya, tepat pada hari perayaan Nyepi, maka umat Hindu kampung Bali akan melakukan ritual Nyepi yang bermakna hari tanpa kesibukan (puasa). Selama hari Nyepi ini, kegiatan-kegiatan yang dilarang antara lain amati geni (tidak menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak berpergian), serta amati lelanguan (tidak menghidupkan hiburan). Amalan baik yang bisa dilakukan antara lain membaca kitab Weda. Ketika hari Nyepi ini umat Hindu kampung Bali hanya berdiam diri di rumah, dan perkampungan akan menjadi sepi (kecuali aktifitas yang dilakukan oleh suku lainnya).

Ada korelasi antara perayaan Nyepi dengan keberadaan kampung Bali yang jauh dari pusat keramaian. Perkampungan yang berada di perbukitan ini menjadi tempat yang paling dekat kepada Sang Hyang Widhi, dan suasana perkampungan yang benar-benar sepi. Untuk mencapai ke lokasi ini, kota terdekat bisa melalui Binjai menuju ke kecamatan Selesai, Langkat. Dari Binjai jarak tempuh dengan mobil menghabiskan waktu satu setengah jam. Medan jalan yang bebatuan, dan jalan perbukitan menanjak, serta kebun-kebun karet dan sawit menjadi pemandangan menarik yang menghibur mata. Jika datang musim penghujan, maka medan jalan akan terasa makin berat. Belum lagi, lokasi perkampungan Bali yang terpisahkan oleh aliran sungai Bingai, sehingga membutuhkan penyeberangan getek yang membantu untuk melintasi aliran sungai.

Suasana Kampungan Bali yang Dihuni masyarakat Bali berada pada ketinggian bukit

Suasana Kampungan Bali yang Dihuni masyarakat Bali berada pada ketinggian bukit

Patut dihargai bagaimana suku Bali di Langkat terus mempertahankan tradisi dan budaya luhur mereka di tanah perantauan. Keyakinan untuk terus mempertahankan budaya dan tradisi di manapun mereka berada seperti bunyi pepetah Bali, “tak kering oleh panas, tak basah oleh hujan”. Makna dari pepatah ini bahwa, di manapun suku Bali berada maka budaya dan tradisi luhur mereka terus dijaga. Om Santih santih santih Om, (Om Sang Hyang Widhi anugerahkan kedamaian, kedamaian, kedamaian, selalu).

Banten, tempat ibadah sehari-hari umat Hindu Bali di Langkat

Banten, tempat ibadah sehari-hari umat Hindu Bali di Langkat

Gambar Pura Agung

Gambar Pura Agung