JEJAK RITUAL NYEPI DI KAMPUNG BALI LANGKAT

 

Pintu Gerbang Masuk Kampung Bali, Desa Paya Tusam, Kec Wampu, Kab Langkat, Sumut

Pintu Gerbang Masuk Kampung Bali, Desa Paya Tusam, Kec Wampu, Kab Langkat, Sumut

MelayuLangkat. Ledakan Gunung Agung pada februari 1963 akan menjadi peristiwa kelam bagi sejarah Bali. Dalam catatan sejarah, letusan Gunung Agung mengeluarkan 300 juta meter kubik magma, yang membuat cahaya matahari berkurang dan menimbulkan terjadinya gerhana bulan. Dampak lainnnya, tanah pertanian menjadi tandus, dan masyarakat Bali kehilangan sumber pendapatan sehari-hari. Masa-masa itu menjadi periode paling sulit dalam sejarah masyarakat Bali.

Sebagai bentuk tanggung jawab, pemerintah masa itu merencanakan program transmigrasi bagi masyarakat Bali keluar pulau agar mendapat pengganti lahan pekerjaan dan kehidupan yang baik. Setelah menunggu rencana tersebut, akhirnya muncul tawaran dari perusahaan perkebunan karet (PPN Karet) bagi masyarakat korban letusan Gunung Agung, sebuah kontrak kerja selama 6 tahun.

Jalan panjang pun dilalui oleh masyarakat Bali yang melakukan kontrak kerja tersebut. Daratan Bali ditinggalkan dan menempuh perjalanan darat ke Tanjung Priok, Jakarta. Dari Tanjung Priok perjalanan dilanjutkan dengan kapal laut menuju ke Belawan, Medan. Sesampainya di daratan pertama di pulau Sumatera ini, selanjutnya mereka di bawa ke perkebunan karet di Bandar Selamat, Asahan. Selama perjalanan panjang tersebut, ada beberapa dari saudara sesama warga Bali yang meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke tempat tujuan. Tanggal 3 bulan november 1963, adalah kali pertama kelompok warga Bali tersebut tiba di Bandar Selamat. Itulah awal cerita suka duka I Nengah Sambe, ketika mengikuti ayahnya merantau ke Sumatera pada usia 13 tahun. Perjalanan hidupnya tersebut masih terus dia ingat, termaksud tanggal, tahun, dan bulan yang selalu dilihatnya di ukiran papan warung milik ayahnya.

Kedatangan masyarakat Bali ke Sumatera, khususnya Sumatera Utara, menambah ragam suku nusantara yang mendiami provinsi ini. Jejak keberadaan masyarakat Bali di Sumatera Utara dapat dilihat di desa Paya Tusam, kecamatan Wampu, kabupaten Langkat. I Nengah Sambe, merupakan generasi pertama yang mendiami desa Paya Tusam. Di usianya yang memasuki 65 tahun, I Nengah yang juga berposisi Pemangku (kepala adat) suku Bali di Langkat, menceritakan bagaimana awalnya suku Bali mendiami tanah Langkat.

Setelah kontrak pertama selama 6 tahun selesai, sebagian masyarakat Bali yang tinggal di perkebunan Bandar Selamat, memohon untuk mundur dengan hormat sebagai buruh perkebunan, dan kembali ke tanah leluhurnya di Bali. Sementara sebagian yang ingin terus menetap di Sumatera, berencana untuk membentuk suatu perkampungan Bali, di mana masyarakat Bali perantauan ini dapat melakukan ritus dan budayanya persis seperti di Bali dengan sesama masyarakat Bali lainnya. Maka melalui organisasi Parisada Hindu, masyarakat Bali ini diperbantukan untuk dicarikan sebuah lahan kosong yang dapat ditempati oleh masyarakat Bali. Akhirnya pilihan tersebut jatuh ke wilayah hutan belantara yang berstatus Tanah Negara Bebas. Masyarakat Bali yang akan mendiami wilayah ini diharuskan membayar ganti tanah tersebut sebagai milik warga, yang dapat mereka olah sebagai kebun pribadi.

Berdasarkan penuturan I Nengah, awalnya suku Bali yang mendiami hutan belantara tersebut hanya terdiri dari 5 kepala keluarga (KK) saja. Kelima kepala keluarga tersebut adalah generasi pertama yang mendiami wilayah Paya Tusam pada tahun 1974. Dua tahun berikutnya, sebagian masyarakat Bali lainnya yang bekerja sebagai buruh di perkebunan Tanjung Garbus, Deli Serdang, datang dengan jumlah yang lebih besar ke desa ini, maka jumlah penduduk Bali bertambah menjadi 60 KK, akhirnya desa Paya Tusam dikenal sebagai Kampung Bali.

Pintu Pura Agung Masyarakat Hindu Bali di Langkat

Pintu Pura Agung Masyarakat Hindu Bali di Langkat

Kepala dusun Paya Tusam, Nyoman Sumandro, adalah generasi kedua yang mendiami Kampung Bali. Berdasarkan catatannya, Nyoman mengatakan bahwa saat ini suku Bali yang mendiami desa Paya Tusam hanya 36 KK dari 74 KK yang berada di bawah naungannya. Sisa 38 KK lainnya adalah suku Jawa yang datang dalam kurun tahun 1980 sampai 1990-an. Sementara warga Bali yang awalnya mendiami desa tersebut telah pergi meninggalkan kampung dan menjadi perantau di wilayah Riau, Jambi dan Lampung. Meskipun jumlah suku Bali lebih sedikit daripada suku Jawa, namun kedua suku pendatang ini hidup rukun berdampingan. Bahkan pernikahan di antara dua suku ini juga terjadi, seperti pengalaman Nyoman yang berisitrikan perempuan Jawa.

Satu hari menjelang peringatan Nyepi, yang biasa disebut nilem (hari tilem/gelap bulan), para suku Bali seperi I Nengah Sambe, Nyoman Sumandro dan lainnya, berbenah menyiapkan perayaan besar agama Hindu. Pada hari tilem ini diadakan upacara mecaru, yang pada intinya mensucikan alam sekitar tempat tinggal dari gangguan roh jahat (Buthakala) agar tidak mengganggu kehidupan warga. Upacara mecaru dilaksanakan di pintu gerbang masuk kampung Bali, lengkap dengan sebuah sanggah bambu yang digunakan sebagai tempat penampahan dan sejumlah sajen lainnya sebagai pelengkap ritual sembahyang. Segala rupa bahan-bahan sajen ini dipersiapkan secara bersama-sama oleh warga di Pura.

Upacara Mecaru (H-1) sebelum Nyepi

Upacara Mecaru (H-1) sebelum Nyepi

Menjelang sore pukul 5, para warga berkumpul di tempat upacara mecaru, ritual dipimpin oleh I Nengah Sambe dengan khusyuk. Selama pelaksanaan ritual, para warga sekitiar menyaksikan sembahyang umat Hindu Bali ini dengan sikap tertib. Selepas pembacaan mantra, sajen yang telah dipersiapkan sebagai persembahan dihanyutkan oleh jemaah ke aliran sungai sekitar desa. Sungai telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Bali di Langkat. Setelah persembahan tersebut, jemaah dipersilahkan pulang ke rumah masing-masing untuk melakukan ritual keliling rumah sambil membawa dupa pembakaran. Untuk selanjutnya, mereka berkumpul kembali ke Pura untuk melakukan ritual sembahyang Pengrupukan/Pangidaran.

Keesokan harinya, tepat pada hari perayaan Nyepi, maka umat Hindu kampung Bali akan melakukan ritual Nyepi yang bermakna hari tanpa kesibukan (puasa). Selama hari Nyepi ini, kegiatan-kegiatan yang dilarang antara lain amati geni (tidak menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak berpergian), serta amati lelanguan (tidak menghidupkan hiburan). Amalan baik yang bisa dilakukan antara lain membaca kitab Weda. Ketika hari Nyepi ini umat Hindu kampung Bali hanya berdiam diri di rumah, dan perkampungan akan menjadi sepi (kecuali aktifitas yang dilakukan oleh suku lainnya).

Ada korelasi antara perayaan Nyepi dengan keberadaan kampung Bali yang jauh dari pusat keramaian. Perkampungan yang berada di perbukitan ini menjadi tempat yang paling dekat kepada Sang Hyang Widhi, dan suasana perkampungan yang benar-benar sepi. Untuk mencapai ke lokasi ini, kota terdekat bisa melalui Binjai menuju ke kecamatan Selesai, Langkat. Dari Binjai jarak tempuh dengan mobil menghabiskan waktu satu setengah jam. Medan jalan yang bebatuan, dan jalan perbukitan menanjak, serta kebun-kebun karet dan sawit menjadi pemandangan menarik yang menghibur mata. Jika datang musim penghujan, maka medan jalan akan terasa makin berat. Belum lagi, lokasi perkampungan Bali yang terpisahkan oleh aliran sungai Bingai, sehingga membutuhkan penyeberangan getek yang membantu untuk melintasi aliran sungai.

Suasana Kampungan Bali yang Dihuni masyarakat Bali berada pada ketinggian bukit

Suasana Kampungan Bali yang Dihuni masyarakat Bali berada pada ketinggian bukit

Patut dihargai bagaimana suku Bali di Langkat terus mempertahankan tradisi dan budaya luhur mereka di tanah perantauan. Keyakinan untuk terus mempertahankan budaya dan tradisi di manapun mereka berada seperti bunyi pepetah Bali, “tak kering oleh panas, tak basah oleh hujan”. Makna dari pepatah ini bahwa, di manapun suku Bali berada maka budaya dan tradisi luhur mereka terus dijaga. Om Santih santih santih Om, (Om Sang Hyang Widhi anugerahkan kedamaian, kedamaian, kedamaian, selalu).

Banten, tempat ibadah sehari-hari umat Hindu Bali di Langkat

Banten, tempat ibadah sehari-hari umat Hindu Bali di Langkat

Gambar Pura Agung

Gambar Pura Agung

ISTILAH KEKERABATAN BAHASA MELAYU LANGKAT

Suami                                     : mpelay/, /laki/

Istri                                         : mpuan

Anak                                       : anak

Anak laki-laki                       : kulok

Anak perempuan                 : suban

Anak sulung                         : sulon/, /ulon/

Anak kedua                          : tenah/, /nah/

Anak ketiga                           : alan

Anak keemapat                    : uteh

Anak kelima                         : andak

Anak keenam                        : itam

Anak ketujuh                        : uncu

Ayah                                       abah/, /ayah/

Ibu                                          : mak

Abang ayah                           : wak

Kakak ayah                           : wak

Adik ayah (laki-laki)               : pakcik/, /pakcit/

Adik ayah (perempuan)          : makcik/, /makcit

Abang ibu                              : wak

Kakak ibu                              : wak

Adik ibu (laki-laki)                   : pakcik/, /pakcit/

Adik ibu (perempuan)             : pakcik/, /pakcit/

Menantu                                : menantu

Mertua                                   : mentua

Kemanakan                           : anak kemun/, /kemun/

Cucu                                       : cucu

Kakek                                     : atok

Nenek                                    : andong

Ayah kakek                           : datu

Ibu kakek                              : datu

Kakeknya kakek                  : moyang

Neneknya nenek                  : moyang

Abang                                     : abang

Kakak                                     : akak

Adik                                       : adek

TENGKU AMIR HAMZAH SANG RAJA PENYAIR

Penyair dan Pahlawanan Nasional Asal Langkat, Tengku Amir Hamzah

Penyair dan Pahlawanan Nasional Asal Langkat, Tengku Amir Hamzah

Di lahirkan pada 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, ibukota Kerajaan Kesultanan Langkat, darah bangsawan Melayu mengalir di dalam diri Tengku Amir Hamzah. Meskipun merupakan keturunan bangsawan terhormat pada masanya, namun dalam diri seorang Tengku Amir Hamzah adalah pribadi yang bersahaja, relijius, dan cinta pada persatuan Indonesia.

Sebagai keluarga dari kerabat Sultan, Amir pun dapat meraih pendidikan tinggi yang pada masa penjajahan tidak semua orang dalam meraihnya. Amir sempat bersekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat SMP di Medan, lalu pindah melanjutkan pendidikannya MULO di Jakarta. Setelah lulus MULO Amir masuk ke AMS (Algemeene Middelbare School) sederajat SMA di Solo, dan kembali lagi ke Jakarta melanjutkan (Recht Hogeschool), Sekolah Tinggi Hukum. Di tengah masa perantauanya di Jawa, Amir kehilangan kedua orangtua yang dicintainya. Pertama ia kehilangan sang ibunda, lalu menyusul ayahandanya ketika Amir menempuh studi Recht Hogeschool. Hingga biaya pendidikan Amir pun ditanggung oleh pamannya.

Bersama rekan sesama orang Sumatera lain yaitu Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane, mereka mendirikan sebuah penerbitan majalah bernama Poedjangga Baroe, yang tujuannya adalah memberikan dorongan terhadap terbentuknya kebudayaan Indonesia baru, baik dalam hal budaya maupun sastra. Tengku Amir Hamzah sendiri terlibat dalam bidang sastra khususnya puisi. Dari sinilah namanya semakin dikenal sebagai seorang penyair hebat dalam sejarah modren kesusasteraan Indonesia.

Tengku Amir Hamzah adalah penyair dalam makna sesungguhnya. Ia memiliki pribadi yang halus, santun serta romantis. Itulah mengapa oleh kritikus sastra Indonesia H.B Jassin, Tengku Amir Hamzah dianggap sebagai seorang Raja Penyair Poedjangga Baroe, karena ketekunan dan konsistensi Amir dalam bidang kepenyairan. Dua buku karya puisinya yang terkumpul dalam Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu (1941), masih terus menjadi bahan kajian kesusasteraan Indonesia.

Selain di bidang sastra, Tengku Amir Hamzah adalah seorang nasionalis Indonesia yang turut dalam pergerakan melawan bangsa penjajah. Keterlibatannya dalam gerakan perlawan bermula setelah ia melanjutkan studi di Jawa. Bahkan ketika para pemuda Indonesia bersatu melaksanakan Kongres Pemuda tahun 1928, Amir Hamzah adalah orang yang pertama kali memperkenalkan Peci kepada Bung Karno. Peci adalah songkok kepala khas lelaki Melayu. Namun, karena keterlibatannya yang semakin dalam di pergerakan pemuda, menyebabkan pamannya yang merupakan Sultan Langkat, memanggil Amir kembali ke Langkat dan menikahkannya dengan putri sultan. Amir pun kemudian diangkat menjadi seorang residen (setingkat wakil kepala daerah) yang berkedudukan di Binjai, yang masuk dalam wilayah Kesultanan Langkat.

Ketika terjadi Revolusi Sosial 1946 di Sumatera Timur, yang digerakan oleh kelompok aktifis Komunis dan Sosialis yang anti terhadap kelompok Feodalis (kerajaan/kesultanan) dan berserta kerabatanya, karena tuduhan telah menyengsarakan rakyat dan memeras rakyat yang mengakibatkan kesusahan atas diri mereka. Maka terjadilah tindakan huru-hara dengan menculik para keluarga dan kerabat kesultanan. Amir sendiri yang merupakan residen tidak berlari sembunyi menghadapi penculikan tersebut, hal ini karena keyakinan dalam diri Amir bahwa ia adalah seorang nasionalis sejati dan cinta tanah air Indonesia. Itu telah ia buktikan sejak ikut pergerakan pemuda di Jawa. Meskipun pada akhirnya Amir diculik dan dibawa ke Perkebunan Kuala Begumit, bersama para tawanan dan kerabat kesultanan Amir dibunuh secara keji oleh sesama kaum sebangsa yang ia cintai. Revolusi memakan daging anaknya sendiri.

Pusara Tengku Amir Hamzah di Komplek Masjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat

Pusara Tengku Amir Hamzah di Komplek Masjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat

Atas jasa-jasanya dalam pembangunan kesusasteraan Indonesia, dan perjuangannya terhadap penjajah yang telah digelutinya di pergerakan pemuda, akhirnya Amir mendapat pengakuan dari pemerintah dan mengangkatnya sebagai salah satu pahlawan nasional. Kini pusara Sang Raja Penyair dan Pahlawan Nasional itu, tenang di sebelah Masjid Azizi di Tanjung Pura. Di sebelah masjid itu juga terdapat sebuah museum yang mengumpul koleksi karya sang penyair.

Berikut ini adalah kumpulan puisi Tengku Amir Hamzah yang terkumpul dari dua buku karyanya Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu.

Kumpulan puisi dalam buku Nyanyi Sunyi (1937)

Sunyi itu duka

Sunyi itu kudus

Sunyi itu lupa

Sunyi itu lampus

PADAMU JUA

 Habis kikis

Segela cintaku hilang terbang

Pulang kembali padamu

Seperti dulu

Kaulah kendil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan

Sabar, setia selalu

Satu kekasihku

Aku manusia

Rindu rasa

Rindu rupa

Di mana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata mengkai hati

Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu

Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar

Sayang berulang padamu jua

Engkau pelik menarik ingin

Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

Lalu waktu – bukan giliranku

Mati hari – bukan kawanku…

HANYA SATU

 Timbul niat dalam kalbumu:

Terban hujan, ungkai badai

Terendam karam

Runtuh ripuk tamanmu rampak

Manusia kecil lintang pukang

Lari terbang jatuh duduk

Air naik tetap terus

Tumbang bungkat pokok purba

Teriak riuh dendam terbelam

Dalam gegap gempita guruh

Kilai kilat membelah gelap

Lidah api menjulang tinggi

Terapung naik jung bertudung

Tempat berteduh nuh kekasihmu

Bebas lepas lelang lapang

Di tengah gelisah, swara sentosa

Bersemayam sempana di jemala gembala

Juriat jelita bapaku iberahim

Keturunan intan dua cahaya

Pancaran putera berlainan bunda

Kini kami bertikai pangkai

Di antara dua, mana mutiara

Jauhari ahli lali menilai

Lengah langsung melewat abad

HANYUT AKU

Hanyut aku, kekasihku!

Hanyut aku!

Ulurkan tanganmu, tolong aku.

Sunyinya sekelilingku!

Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati, tiada air

Menolak ngelak.

Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku sebabkan

diammu.

Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam.

Tenggelam dalam malam.

Air di atas mendidih keras.

Bumi di bawah menolak ke atas.

Mati aku, kekasihku, mati aku!

Sunting sanggul melayah rendah

                 Sekali sajak seni sedih

Kumpulan puisi dalam buku Buah Rindu (1941)

Remukkan rindu

Redamkan duka

Rentapkan sendu

       Hari kelana

 

 

KENANG-KENANGAN

 Tambak beriak intan terberai

Kemuncak bambu tunduk melambai

Maskumambang mengisak sampai

Merenangkan mata Kesuma Teratai

Senyap sentosa sebagai sendu

Tunjung melampung merangkum kupu

Hanya bintang cemerlang-mengambang

Di awang terbentang sepanjang pandang

Dalam sunyi kudus mulia

Murka kanda di bibir kesumba

Undung dinda melindung kita

Heran kanda menakjubkan jiwa

Dinda berbisik rapat di telinga

Lengan melengkung memangku kepala

Putus-putus sekata dua:

“Kunang-kunang mengintai kita”…

MALAM

 Daun bergamit berpaling muka

Mengambang tenang di laut cahaya

Tunduk mengurai surai terurai

Kelapa lampai melambai bidai

Nyala pelita menguntum melati

Gelanggang sinar mengembang lemah

Angin mengusap menyayang pipi

Balik-berbalik menyerah-nyerah

Air mengalir mengilau-sinau

Riak bergulung pecah-memecah

Nagasari keluar meninjau

Membanding purnama di langit cerah

Lepas rangkum pandan wangi

Terserak harum pemuja rama

Hinggap mendakap kupu berahi

Berbuai-buai terlayang lena

Adikku sayang berpangku guring

Rambutmu tuan kusut melipu

Aduh bahagia bunga kemuning

Diri dihimpit kucupan rindu

TINGGALLAH

 Tinggallah tuan, tinggallah bonda

Tanah airku Sumatera raya

Anakda berangkat ke pulau Jawa

Memungut bunga suntingan kepala

Pantai Cermin rumu melambai

Selamat tinggal pada anakda

Rasakan iu serta handai

Mengantarkan beta ke pangkalan kita

Telah lenyap pokok segala

Bondaku tuan duduk berselimut

Di balik cindai awan angkasa

Jauh hatipun konon datang meliput

Selat Melaka ombaknya memecah

Memukul kapal pembawa beta

Rasakan swara yang maha ramah

Melengahkan anakda janganlah duka

Layang-layang terbang berlomba-lomba

Menuju pulau kunjunjung tinggi

Dalam hatiku kujadikan duka

Menyampaikan pesan katan hati

Selamat tinggal bondaku Perca

Panjag umur kita bersua

Gobahan cempaka anakda bawa

Jadikan gelang di kaki bonda

Gelang Cempaka pujaan Dewa

Anakda peetik di tanah Jawa

Akan Bonda penambah cahaya

Akan Ibu penambah mulya.

KUSANGKA

 Kusangka cempaka kembang setangkai

Rupanya melur telah diseri…

Hatiku remuk mengenang ini

Wasangka dan was-was silih berganti

Kuharap cempaka baharu kembang

Belum tahu sinar matahari…

Rupanya terati patah kelopak

Dihinggapi kumbang berpuluh kali

Kupohonkan cempaka

Harum mula terserak……

Melati yang ada

Pandai tergelak…..

Mimpiku seroja terapung di paya

Teratai putih awan angkasa….

Rupanya mawar mengandung lumpur

Kaca piring bunga renungan…..

Igauanku subuh, impianku malam

Kuntum cempaka putih berseri…

Kulihat kumbang keliling berlagu

Kelopakmu terbuka menerima cembu

Kusangka hauri berudung lingkup

Bulumata menyangga panah Asmara

Rupanya merpati jangan dipetik

Kalau dipetik menguku segera.

Ke bawah peduka Indonesia-raya

Ke bawah lebu Ibu-ratu

Ke bawah kaki Sendari-dewi

DEDENG: NYANYIAN UPACARA TURUN KE LADANG ETNIK MELAYU LANGKAT, PESISIR TIMUR SUMATERA UTARA

DEDENG: NYANYIAN UPACARA TURUK KE LADANG ETNIK MELAYU LANGKAT, PESISIR TIMUR SUMATERA UTARA
Muhammad Zulfahmi*

Gambar: Sultan Langkat Abdul Jalil Rahmatshah Al Hajj (tengah kuning) bersama kerabat Kesultanan Langkat. (Foto: Medanmagazine.com)

Gambar: Sultan Langkat Abdul Jalil Rahmatshah Al Hajj (tengah kuning) bersama kerabat Kesultanan Langkat. (Foto: Medanmagazine.com)

Kabupaten Langkat adalah sebuah wilayah yang termaksud ke dalam suatu kawasan budaya etnik Melayu Langkat yang berada di Pesisir Timur Sumatera Utara. Secara budaya, etnik Melayu Langkat memiliki banyak corak dan ragam adat dan budaya termaksud di dalammnya kesenian. Kesenian di wilayah Kabupaten Langkat di antaranya adalah musik Ronggeng Melayu, Senandung, Hadrah, Barzanji, musik Tari Inai untuk Pengantin, Tari Serampang XII dan juga musik vokal yang disebut dengan Dedeng. Musik vokal Dedeng pada awalnya dinyanyikan pada saat kegiatan adat dalam tiga aktifitas agrikultural (Takari: 56, 1996), yaitu pada saat upacara penebangan hutan untuk lahan pertanian, menanam benih di lahan dan pada saat aktifitas musim panen tiba.
Ditinjau dari sudut konteksnya, nyanyian Dedeng dapat dikatagorikan dalam nyanyian yang bersifat sakral dan religi, karena aktifitas bernyanyi ini bagi masyarakat Melayu Langkat pada awalnya dianggap sesuatu yang suci dan ditunjukan kepada roh-roh gaib (Takari: 55, 1996). Menurut Takari, musik vokal Dedeng termakasud dalam katagori musik sebagai bagian dari religi animisme.
Dedeng bermakna bernyanyi, atau aktifitas bernyanyi dari seseorang atau kelompok masyarakat yang ditujukan untuk memberikan suatu perlindungan dan kesuburan, dan hasil yang melimpah dalam bidang pertanian. Walaupun Dedeng merujuk pada aktifitas bernyanyi, tetapi yang dimaksud bukanlah bernyanyi dalam pengertian umum dalam kebudayaan musik masyarakat Melayu lainnya seperti Dendang Melayu, dan Langgam Melayu. Dendang Melayu lebih menekankan kepada fungsinya sebagai hiburan biasa, sedangkan aktifitas berdedeng lebih bermakna kepada sebuah aktifitas yang lebih khusus, yakni bernyanyi dengan harapan untuk mendapatkan hasil pertanian yang melimpah dari kuasa gaib yang dipercaya dapat memberikan perlindungan dari musuh-musuh tanaman baik berupa hama tanaman maupun dari binatang buas dan juga dari binatang peusak tanaman yang tidak tampak secara kasat mata.
Jenis-jenis Dedeng
Bedasarkan bentuk penyajiannya, musik vokal Dedeng pada dasarnya terbagi tiga jenis yaitu, pertama Dedeng yang dinyanyikan pada saat menebang hutan sebagai lahan perladangan baru yang disebut Dedeng Padang Reba. Kedua nyanyian yang dilakukan pada saat menamam benih padi yang disebut dengan Dedeng Mulaka Nukal. Ketiga nyanyian yang dilakukan pada saat padi telah menguning dan telah siap untuk dipanen yang disebut dengan Dedeng Ahoi.
Teks-teks Dedeng pada umumnya berbentuk pantun dan syair yang dinyanyikan oleh seorang pawang atau dukun dan juga para peserta yang ikut berpartisipasi dalam upacara turun ke sawah. Teks Dedeng yang berbentuk pantun dinyanyikan oleh sekelompok orang yang ikut serta dalam proses pembukaan lahan, menanam lahan dan memanen hasil pertanian. Selanjutnya teks-teks Dedeng yang berbentuk syair merupakan teks yang berbentuk mantra, biasanya digunakan oleh seorang pawang atau dukun dalam berkomunikasi dengan kekuatan supernatural dalam aktifitas membuka lahan pertanian baru.
Pantun dan syair dari teks-teks Dedeng berisi tentang himbauan, permohonan, dan harapan yang ditujukan kepada dua hal yakni kepada manusia dan kepada alam (Manurung: 43, 1995). Dedeng yang ditujukan kepada manusia adalah Dedeng yang bersifat himbauan kepada masyarakat Melayu yang berada di sekitar tempat tinggal mereka untuk mencari hutan yang dianggap cocok sebagai lahan pertanian baru. Semakin banyak masyarkat yang berpartisipasi dalam mengerjakan pertanian baru ini, maka semakin luas pula lahan yang dapat dibuka. Oleh karena luasnya lahan yang dibuka, maka tidak hanya melibatkan satu atau dua keluarga saja melainkan melibatkan banyak keluarga dan juga kerabat yang ada di sekitar tempat tinggal masyarakat, bahkan beberapa desa yang mengerjakan lahan secara bergotong royong.
Dedeng yang ditujukan kepada alam adalah Dedeng yang memegang perananan penting dalam hal meminta izin kepada penunggu hutan yang terdiri dari hama-hama tanaman, roh-roh gaib, dan binatang buas agar tidak mengganngu aktifitas atau mengahalangi keinginan mereka baik sewaktu merintis atau ketika mendapatkan lahan pertanian.
Dalam konteks penyajian musik vokal Dedeng pada kebudayaan masyarakat etnik Melayu Langkat, pada dasarnya terdiri dari dua bagian yang terintegrasi. Pertama, yang bersifat sakral dan religi terutama pada bagian baris pantun atau syair yang berisi mantra yang dilakukan oleh seorang pawang hutan. Kemudian yang kedua adalah pada barisan pantun yang dinyanyikan oleh peserta upacara yang justru dianggap sebagai hiburan semata. Walaupun kedua bentuk penyajian syair atau pantun itu berbeda konteksnya namun mereka menganggap keduanya terintegrasi karena tercakup di dalam sebuah aktifitas upacara yang sakral sesuai dengan keperluan upacaranya. Untuk mengetahui bentuk penyajian Dedeng dalam ketiga jenis aktifitas agrikultural tersebut akan diuraikan seperti di bawah ini.
Proses penyajian Dedeng pada reba diawali oleh berkumpulnya para kaum lelaki yang bersepakat untuk pergi ke hutan untuk mencari lahan sebagai perladangan baru dengan beberapa pertimbangan yang cocok sebagai lahan seperti tanah yang subur, mengandung banyak air, dan banyak tumbuhan berbagai macam jenis tumbuhan. Setelah lahan hutan tersebut ditemukan, lalu mereka mendatangi pengetua adat kampung dan melaporkan hasil temuan mereka. Setelah dilaporkan dan dipertimbangkan oleh pengetua adat kampung, lalu mereka bersama masyarakat lainnya meninjau lokasi baru tersebut. Untuk meninjau lokasi baru itu juga tidak boleh secara sembarangan melainkan ditentukan harinya yang menurut mereka hari ini merupakan hari yang baik. Penentuan hari yang baik untuk meninjau lokasi baru tersebut ditentukan pula oleh sang pengetua adat setelah melakukan ‘’menilik hari’’ dan menemukan hari yang tepat.
Selanjutnya setelah hari yang baik ditemukan lalu penengtua adat menghimbau kepada masyarakat dan pemuda setempat untuk meninjau lokasi hutan sebagai lahan pertanian baru itu. Mereka membawa beberapa peralatan menebang hutan seperti kampak dan parang. Selanjutnya mereka mencari pohon yang paling besar sebagai tempat untuk menancapkan beberapa parang dan kampak tesebut ke pohon kayu sambil berkomunikasi dengan roh penunggu kayu tersebut dengan mengungkapkan beberapa kalimat yang berfungsi sebagai mantra seperti di bawah ini.
Kalau hutan ini boleh kami jadikan tempat perladangan kami, tolong diberikan tanda supaya kami tidak mendapat halangan, perkenankan kami mencari nafkah di tempat ini dan berikan rezeki, maka pertanda kampak ini tetap berada di kayu ini. Tetapi seandainya pohon ini tidak boleh kami tebang, berilah tanda kepada kami supaya kami berpindah ke tempat lain, pertandang parang atau kampak ini lepas dari pohon kayu ini.
Rentang waktu antara penancapan kampak dan parang dengan waktu mendapatkan kabar izin dari roh-roh gaib, lamanya adalah satu malam. Hal ini berarti bahwa jika kampak dan parang telah ditancapkan selama satu malam, maka keesokan harinya anggota masyarakat telah mendapatkan kabar izin atau setidaknya lahan tersebut dibuka dari makhluk-makhluk gaib yang ada di sekitar pohon itu. Adakalanya ketika keinginan mereka untuk membuka lahan baru ternyata tidak mendapatkan izin, maka mereka meminta bantuan seorang pawang sebagai mediator untuk memindahkan makhluk gaib yang ada disekitarnya ke tempat lain.
Biasanya untuk mengetahui apakah lahan tersebut mendapat izin atau tidak, dilakukan oleh pengetua adat yang langsung meninjau lokasi lahan baru itu pada waktu pagi hari. Apabila kampak dan parang masih tertancap pada pohon kayu yang besar itu, berarti lahan tersebut mendapat izin untuk dibuka sebagai lahan perladangan baru. Selanjutnya pengetua adat memberi tahu kepada seluruh warga bahwa lahan tersebut telah mendapatkan izin, yang kemudian dilaksanakan sebuah upacara penebangan hutan yang diikuti oleh seorang pawang atau dukun. Pada saat upacara penebangan hutan inilah Dedeng pada reba dinyanyikan oleh seoran dukun atau pengetua adat yang dapat menyanyikan dengan baik sembari menyiapkan beberapa beras kunyit dan kemenyan yang dibakar ditujukan untuk mendapatkan restu dari kuasa-kuasa gaib yang berada di sekitar lahan itu. Upacara dilakukan dengan cara menabur segenggam beras kunyit oleh pengetua adat, sedangkan pawang terus membakar dupa kemenyan sambil menyanyikan nyanyian Dedeng. Adapun teks syair Dedeng yang dinyanyikan adalah seperti yang di bawah ini.
Oi…….dendang di dendang
Dendangku sayang
Dendang di
Denda………..ng
Dendang di
Denda……….ng
Dendang di
Denda………ng
Dendangku sayang
Pada reba padang jalura….an
Dulu ditebas baru ditebang
Udah direbah daun pulona…..an
Baru kunanti hujan dating

Oi…….dendang didendang
Dendangku sayang
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendangku sayang

Padang reba padang
Jalura………………..an
Hendak ditanam padi segumpal
Sudah diradah nanti direba
Nantikan kaum datang menukal
Oi…….dendang didendang
Dendangku sayang
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendangku sayang

Sungguh sedap berpadang reba
Naik batang si turun batang
Alangkah sedap dipandang mata
Kaum kerabat sematanya datang

Oi…….dendang didendang
Dendangku sayang
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendangku sayang

Jika ditinjau dari ilmu Hermeneutika (ilmu tentang simbol), makna yang terkandung dari teks Dedeng Padang Reba menyiratkan tentang tiga hal pokok yaitu, pertama adalah peristiwa pembukaan lahan pertanian baru, yang kedua adalah peristiwa menanam benih baru dan yang ketiga adalah peristiwa kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama yang secara harafiah diartikan kegiatan bergotong royong dalam melaksanakan pekerjaan.
Mulaka Nukal adalah kegiatan yang dilakukan pada saat penabur benih padi di lahan pertanian baru yang dibuka. Dalam pelaksanaan upacara Mulaka Nukal, kegiatannya tidak lagi dilaksanakan secara luas oleh kesatuan dari beberapa kelompok melainkan dilaksanakan hanya oleh para pemilik lahan yang menggarap lahannya masing-masing menurut pembagian keluarga atau kerabatnya. Hal ini terjadi disebabkan setelah lokasi hutan dibersihkan, mereka membagi lahan kepada masing-masing keluarga atau kerabatnya, walaupun dalam proses pengerjaannya aktifitas menanam benih tetap dilakukan secara bersama-sama yang bertujuan untuk membantu setiap kelompojk keluarga.
Sebelum upacara menabur benih dilakukan, biasanya para pemilik lahan mendatangai para tetangga untuk meminta bantuan dalam menabur benih ke lahan barunya. Pemilik ladang menyediakan beraneka makanan untuk disantap oleh para tetangga yang akan membantunya menuai benih. Setelah para tentangga dan kerabat bersedia untuk membantunya, lalu mereka secara bersama-sama turun ke ladang sambil menyiapkan berbagai keperluan untuk menuai benih padi seperti alat-alat untuk melubangi tanah sebagai tempat bibit padi ditaburkan yaitu sebuah kayu berukuran sebesar pergelangan tangan dan panjanganya kira-kira satu setangah meter. Bagian pangkal sari kayu tersebut dikikis diberi ketajaman agar dapt membuat lubang di tanah.
Upacara dimulai dengan menyanyikan beberapa bait teks Dedeng oleh si pemilik lahan atau boleh juga oleh peserta yang dapat menyanyikannya. Nyanyian Dedeng pada upacara Mulaka Nukal syairnya berisi tentang permohonan agar padi yang ditanam dapat tumbuh dengan baik, terhindar dari hama-hama tanaman, dan juga harapan agar mendapatkan hasil panen yang berlimpah roh dari kuasa-kuasa gaib yang diyakini dapat memberikan kebaikan kepada manusia.
Selain itu teks Dedeng juga berisi tentang syair-syair yang ditujukan sebagai rasa penghargaan kepada para peserta yang ikut dalam aktifitas menaman padi seperti di bawah ini.

Oi…….dendang didendang
Dendangku sayang
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendangku sayang

Padang reba padang
Jalura………………..an
Hendak ditanam padi segumpal
Sudah diradah nanti direba
Nantikan kaum datang menukal
Oi…….dendang didendang
Dendangku sayang
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendangku sayang

Sungguh sedap berpadang reba
Naik batang si turun batang
Alangkah sedap dipandang mata
Kaum kerabat sematanya datang

Aktifitas berdedeng dalam upacara Mulaka Nukal tidak berlangsung lama, karena setelah nyanyian Dedeng dilakukan kegiatan menanam padi dapat segera dilaksanakan. Setelah upacara dilakukan kegiatan menyanyi dapat dilanjutkan kembali oleh para peserta yang ikut berpartisipasi dalam menanam benih padi. Pelaksanaan penanam benih padi, umumnya dilakukan para pemuda dan pemudi kampung. Sebelumnya beberapa orang pemuda telah berbaris secara teratur membentuk saf sambil menghujamkan sepasang kayu pembuat lubang ke dalam tanah sebagai tempat bibit atau benih padi. Di belakangnya diikuti oleh para penabur benih, wanita yang berbaris menurut saf sambil meletakan bibit benih padi ke dalam lubang. Kaum pria maupun wanita masing-masing menunjukan kebolehannya dan keterampilannya dalam membuat lubang dengan cepat, begitu juga kaum wanita dengan cegat dan sigap dapat degan cepat pula mengisi benih padi ke dalam lubang. Aktifitas membuat lubang di permukaan tanah ini biasanya disebut dengan istilah. Kaum lelaki biasanya melakukan aktifitas menukal dengan cara beradu cepat diantara mereka, dan saling mendahului. Siapa yang lebih cepat menukal dianggap yang paling terampil dan lebih cekatan. Begitu juga kaum wanita, mereka berlomba-lomba untuk mengisi benih padi ke dalam lubang yang telah dibuat oleh para penukal. Biasanya aktifistas menukal dan menabur benih di lahan pertanian dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin yakni hanya satu hari saja. Bila tanah atau lahan yang dibuka dalam ukuran yang luas sekali, maka pekerjaan ini dapat dilanjutkan keesokan harinya. Dalam kegiatan ini tak jarang di antara mereka ada yang berkomunikasi secara tersirat, dan adanya keinginan untuk mengenal lebih dekat terhadap wanita atau pria yang diidamkannya dalam kegiatan tersebut.
Para pemuda menggunakan kesempatan ini untuk lebih mengenal gadis idamannya dengan cara melantunkan beberapa pantun, berdendang, yang berisi tentang sindiran, sapaan, atau gurauan kepada wanita yang didambakannya. Pantun dedeng disesuaikan dengan isi hatinya dengan harapan mendapat respon dari pasangannnya. Bagi pemuda dan pemudi masyarakat Melayu kegiatan ini merupakan kegiatan yang dianggap yang paling efektif untuk tujuan mengenal antara satu sama lainnya dalam kehidupan pergaualan muda-mudi. Pada zaman dahulu, para pemuda dan pemudi yang bercakap-cakap atau bertemu secara bebas pada masyarakat Melayu dianggap pantang atau tabu.
Setelah sekian lama benih ditabur, selanjutnya padi mulai tumbuh besar, tinggi yang kemudian menghasilkan padi baru siap untuk dipanen. Selanjutnya si empunya ladang akan kembali mengundang warga kampung, terutama kaum muda-mudi dalam kegiatan mengetan padi. Mengetan padi adalah sebuah kegiatan memanen padi dengan menggunakan ketam atau ani-ani yakni pisau pemutus padi dari tangkainya. Sambil mengetan padi para muda-mudi kampung berkomunikasi antara satu sama lainnya dan saling lebih mempererat tali silahturahmi di antara mereka, bahkan ada yang melanjutkan perkenalan di antara mereka, sebagaimana mereka telah merajut tali asmara ketika mereka melaksaknakan aktifias menukal sebelumnya.
Setelah pekerjaan mengetan padi selesai dikerjakan, sebagian di antara muda-mudi tadi ada yang mengikat tangkai-tangkai padi yang baru diketam dan dikumpulkan secara berkelompok-kelompok agar mudah dibawa ke rumah si empunya padi. Setelah kegiatan mengetam padi dan mengangkat padi ke rumah selesai dikerjakan, beberapa hari selanjutnya pemilik padi kembali mengundang para pemuda dan pemudi ke rumahnya untuk melakukan pekerjaan lanjutan.
Kegiatan pemuda-pemudi selanjutnya adalah kegiatan mengirik padi yaitu kegiatan yang bertujuan untuk melepas butir padi dari tangkainya. Lakasi melepas butir padi biasanya berada pada bagian tengah dalam rumah. Posisi para wanita berada di belakang sebuah bilik, sedangkan para pengirik padi lelaki berada di pinggir tumpukan tangkai padi dalam posisi membentuk lingkaran tumpukan padi. Para orang tua biasanya berada di sekitar belakang bagian dapur rumah sambil mengawasi kegiatan mengirik padi ini sampai selesai dikerjakan kaum muda-mudi. Kegiatan mengirik padi adalah kegiatan melepaskan butir padi dari tangkainya yaitu dengan cara menginjak-injak tangkai padi sampai padinya lepas dari tangkainya. Tangkai-tangkai padi taid diinjak, dipilin, diputar dengan menggunakan kedua kadi sehingga padi seluruh butir padi jatuh ke bawah lantai yang diberi alas tikar pandan. Untuk lebih menghangatkan suasana pengirik padi yang berjenis kelamin laki-laki melantumkan beberapa pantun. Mereka bernyanyi dedeng sambil mengucapkan kata-kata ahoi-ahoi secara responsial, untuk lebih menambahkan semangat dalam melakukan aktifitas mengirik padi.
Para pemuda terus menyanyi, berpantun secara bersahut-sahutan dan secara bergiliran bertujuan untuk mengeluarkan cetusan isi hati mereka kepada para wanita idamannya masing-masing. Biasanya pantun terdiri dari beberapa bait sesuai dengan kemampuan masing-masing pemuda dalam membuatnya. Pantun terdiri dari sampiran dan isi yang diucapkan sesirang dengan nada yang sama dan berulang-ulang tapi teksnya berbeda dan isi pantun disesuaikan denagn kehendak dan maksud, pikiran si penyampai pantun. Ketika sampiran dan isi yang teridiri dari empat baris selesai diucapakan, selanjutnya para peserta lainnya langsung menyabut dengan kata Ahoi-ahoi-ahoi. Selanjutnya ketika isi pantun selesai diucapkan seketika itu pula pra peserta lainnya kembali mengucapkan kata-kata Ahoi-ahoi-ahoi, demikian seterusnya. Jika seseorang telah meneyelesaikan pantunnya, maka pantun selanjutnya dapat dilakukan secara bergantian oleh seluruh peserta. Cara pelaksanaannya sama dengan pemantun sebelumnya dan disambut pula oleh peserta lainnya dengan kata Ahoi-ahoi-ahoi. Pantun boleh juga diajukan kepada seseorang wanita yang disenangi. Dalam aktifitas berpantun ini sering terjadi kesalah pahaman di antara mereka ketika pantun dinyanyikan, di mana seseorang merasa bahwa pantun tersebut ditujukan kepada dirinya, tetapi ternyata bukan ditujukan kepada dirinya, sehingga terjadilah gelak tawa yang membahana di antara sesama mereka bahkan para orangtua yang mengawasi mereka. Contohnya pantun seperti di bawah ini.
Tiga petak tiga penjuru
Tiga ekor kumbang diapit
Pantun tidak tertuju padamu
Teruntuk dara berlusung pipit.
Mendengar pantun ditujukan kepadanya, wanita berlesung pipit kemudian tersipu-sipu malu, bahkan di antara para gadis ada yang saling cubit-cubitan. Selanjutnya seorang gadis menjulurkan sekapur siri dengan menggunakan seutas tali kepada seorang pemantun untuk menyabut baik pemantun. Tetapi adakalanya seorang pemuda iseng mengambil jaluran sekapur sirih yang ditujukan kepada pemantun padahal sekapur sirih itu bukan ditujukan kepadanya. Namun jika juluran sekapur sirih itu langsung diambil si pemantun, barulah pemuda iseng tadi tidak mengambilnya. Mereka terus mengirik padi sambil bernyanyi dengan menggunakan pantun yang bervariasi sesuai dengan tujuan diantaranya adalah pantun sekedar perkenalan, pantun nasehat, pantun asmara, pantun semangat dan jenis pantun yang disesuaikan dengan kehendak, hasrat dan pikiran seorang pemantun. Contoh pantun selanjutnya adalah sebagai berikut.
Kalau tidak karena bulan
Mana bintang meninggi hari
Kalau tidak karena tuan
Mana dagang datang ke mari
Ahoi-ahoooi-ahoi
Ahoi-ahooooi-ahoi
Anak daek mudek ke hulu
Hendak mengambil si asam pauh
Biarpun zaman terus berlalu
Budaya kita dipegang teguh
Ahoi-ahoooi-ahoi
Ahoi-ahooooi-ahoi
Kalau ada kaca di pintu
Kaca lama saya pecahkan
Kalau adik kata begitu
Badan dan nyawa saya serahkan
Ahoi-ahoooi-ahoi
Ahoi-aohoooi-ahoi
Pagi hari surya bersinar
Banyak orang menebang kayu
Sudah banyak lagu didengar
Tidak sesedap lagu melayu
Ahoi-ahoooi-ahoi
Ahoi-ahooooi-ahoi
Hitam-hitam si buah manggis
Manis pulak rasa isinya
Biar hitam ku pandang manis
Yang hitam manis siapa namanya.
Ahoi-ahoooi-ahoi
Ahoi-ahooooi-ahoi

Para pemuda maju ke tengah secara bergantian untuk melakukan aktifitas berpantun yang kemudian disambut pula oleh para pemuda lainnya di arena mengirik padi tersebut. Mereka terus beradu pantun sambil melakukan aktifitas mengirik padi hingga tidak terasa hari sudah beranjak larut malam. Setelah mereka lelah mengirik padi barulah beristirahat sambil menikmati beberapa makanan, bahkan ada keluarga yang rela mempersiapkan hidangan untuk makan malam bersama sebelum acara mengirik padi dilaksanakan oleh para anak dara. Bila mereka semua telah merasa lelah, barulah kegiatan mengirik padi dapat dihentikan. Jika seandainya persediaan tangkat padi masih banyak, maka kegiatan mengirik padi dapat dilanjutkan pada malam hari berikutnya.
Dari sekian banyak genre kesenian yang ada, musik vokal Dedeng merupakan musik vokal yang sudah semakin langka dan musik yang semakin tidak terelakan kepunahannya. Padahal dulunya musik vokal ini dianggap musik yang paling esensial dan sangat berperan dalam kehidupan masyarakat etnik Melayu Langkat khususnya dalam kegiatan bercocok tanam. Denagn berubahanya lahan hutan menjadi kawasan industri, apalagi berubahnya peukiman penduduk dari desa menjadi kota, praktis penggunaan dan fungsi Dedeng semakin jarang dan terancam punah. Kemudian dengan berubanhnya sistem sosial pertanian masyrakat dewasa ini yang menggunakan sistem pertanian modern, dan mengabaikan sistem atau konsep-konsep pertanian tradisional, sudah barang tentu salah satu warisan kekayaan budaya dalam bidang agrikultur ini akan hilang.

Diedit oleh Visitlangkat
*Muhammad Zulfahmi adalah dosen Institut Seni Indonesia Padangpanjang, Sumatera Barat. Dikutip dalam Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 14, No.1, Juni 2012.

KAMPUNG ISLAM BESILAM LANGKAT

Pintu Gerbang Masuk Kampung Babussalam

Pintu Gerbang Masuk Kampung Babussalam

Kampung Islam Besilam atau juga dikenal Babussalam, terletak di kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Letak kampung Besilam ini berjarak sekitar 75 kilometer dari kota Medan, ibukota propinsi Sumatera Utara. Sejarah berdirinya kampung Besilam ini sangat erat dengan keberadaan Kesultanan Langkat, di mana sang pendiri kampung Besilam ini adalah guru atau ulama agama Islam bagi kerabat kesultanan dan juga masyarakat Langkat pada waktu itu.
Kampung Basilam atau Babussalam ini didirkan oleh Syekh Abdul Wahab Rokan (1811-1926), seorang penganut Tarekat Naqsabandiyah yang telah memperdalam ilmu agama di tanah jarizah Arab. Sekembalinya ke tanah kelahiran Indonesia, Syehk Abdul Wahab Rokan mengajarkan ilmu Tarekat Naqsabandiyah kepada para murid dan pengikutnya. Pada saat itu Sultan Musa, sultan pertama Langkat, yang menurut kabarnya bersepupu dengan Syekh Abdul Wahab Rokan, dan memberikan beliau sebidang tanah untuk Syekh Abdul Wahab Rokan agar mendirikan sebuah perkampungan Islam, mengingat kesultanan Langkat yang beretnis Melayu memeluk agama Islam begitupun juga masyarakat Melayu pada umumnya. Karena banyak masyarakat yang menganut dan mengamalkan ajaran Syekh Abdul Wahab Rokan, maka saat itu Syekh Abdul Wahab Rokan pun dijuluki gelar oleh para pengikutnya dengan sebutan Tuan Guru Babussalam yang berarti guru keselamatan, maka kampung yang ditempati oleh Tuan Guru Babussalam dinamai dengan Babussalam atau Besilam.
Setelah wafatnya sang Tuan Guru Babussalam Syekh Abdul Wahab Rokan pada hari Jumat 27 Desember 1926, ajaran Tarikat Naqsabandiyah yang diajarkannya kepada para murid dan pengikutnya masih terus diamalkan oleh para murid yang menggantikan peran Syekh Abdul Wahab Rokan sebagai penyiar Islam di tanah Langkat. Maka setelah wafatnya Syekh Abdul Wahab Rokan, kampung Besilam memiliki Tuan Guru Babussalam atau Tuan Guru Besilam lainnya yang terus mengajarkan ajaran Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan dan mendirikan syiar Islam. Begitupun setelah Tuan Guru lainnya wafat, maka akan ditunjuk Tuan Guru lainnya sebagai pemimpin umat.
Keadaan kampung Besilam sangat tenang, berada jauh dari pusat keramaian, dan hanya dikelilingi oleh perkebunan karet dan sawit, membuat kampung ini sangat baik untuk melakukan tarekat dan mendekatkan diri kepada Allah. Sebuah pesantren pun berdiri kokoh di tengah kampung, selain itu terdapat dua buah masjid, satu masjid yang menjadi makam bagi Syekh Abdul Wahab Rokan dan satunya merupakan masjid yang digunakan oleh santri dan warga kampung untuk beribadah. Sementara masyarakat yang tinggal di wilayah Babussalam pun sehari-harinya sangat menjunjung tinggi agama dan norma
Setiap tahunnya ada sebuah hajatan besar yang bernama HUL atau Hari Ulang Tahun untuk mengenang Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan. Pada peringatan HUL ini para jemaah yang berasal di sekitar pesisir pantai timur Sumatera (propinsi Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi), bahkan para jemaah yang datang dari luar negeri juga banyak seperti dari Malaysia, Singapura, Brunei, sampai beberapa negara Asia, berdatangan ke kampung Besilam untuk turut bertarekat. Selain pada HUL tersebut setiap harinya kampung Besilam ini selalu ramai dikunjungi oleh para pejiarah dan jemaah yang datang untuk bertemu dengan Tuan Guru Babussalam. Tidak hanya masyarakat biasa saja yang ramai berjiarah dan mendalami agama ke kampung Besilam ini, bahkan para pejabat dan tokoh masyarakat yang ingin mendapatkan keinginannya dalam hal tertentu seperti posisi publik, datang menemui Tuan Guru Babussalam untuk meminta restu dan doa. Tokoh nasional seperti mantan wakil presiden Jusuf Kalla pernah berkunjung ke kampung Besilam, termaksud juga mantan Panglima TNI Wiranto.
Menuju ke kampung Besilam ini lebih muda dengan menggunakan kendaraan pribadi. Sementara untuk kendaraan umum adalah dengan menggunakan tersedia jika dari Medan adalah bis Pembangunan Semesta (PS) tujuan dari Pinang Baris (Medan) – Pangkalan Berandan. Berhenti sebelum sungai Tanjung Pura, tempat biasa bis menurunkan penumpang, dari situ perjalanan selanjutnya bisa menggunakan RBT atau ojek.
Berikut di bawah ini gambar keadaan wilayah Kampung Islam Babussalam.

Tulisan Peringatan Wajib Berbusana Muslim di Babussalam

Tulisan Peringatan Wajib Berbusana Muslim di Babussalam

Makam Masjid Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan

Makam Masjid Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan

Gambar Masjid Utama Babussalam

Gambar Masjid Utama Babussalam

Gambar Dalam Majid Utama Babussalam

Gambar Dalam Majid Utama Babussalam

Dalam Masjid Babussalam

Dalam Masjid Babussalam

Dalam Masjid Utama Babussalam

Dalam Masjid Utama Babussalam

Suasana Kampung Babussalam

Suasana Kampung Babussalam

Rumah Warga Etnis Melayu Langkat

Rumah Warga Etnis Melayu Langkat

Suasana Kampung Babussalam

Suasana Kampung Babussalam

MASJID AZIZI – JEJAK PENINGGALAN MELAYU LANGKAT

Image

Gambar: Masjid Azizi Dari Halaman Dalam

Visitlangkat – Langkat. Sekitar 75 KM dari Medan, ibukota propinsi Sumatera Utara, tepatnya di kecamatan Tanjung Pura, Langkat, terdapat sebuah bangunan bersejarah dari peninggalan Kesultanan Melayu Langkat. Bukti fisik dari kebesaran Kesultanan Melayu Langkat ini adalah berupa bangunan masjid yang memiliki arsitektur bernilai tinggi, yaitu masjid Azizi Tanjung Pura.

Masjid Azizi Tanjung Pura ini didirikan pada dua generasi kesultanan Langkat. Pembangunan masjid yang pertama dilakukan pada tahun 1899 Masehi atau 1320 Hijriah oleh sultan Langkat pertama Sultan H Musa Almahadamsyah (1840 – 1893). Setelah Sultan Musa wafat pembangunan masjid diteruskan oleh anaknya yaitu Sultan Tengku Abdul Aziz Jalik Rakhmatsyah (1893 – 1912), dan selesai pada 13 Juni 1902 atau 12 Rabiulawal 1320 H, yang kemudian masjid ini dinamai oleh nama sang sultan Abdul Aziz.

 Image

Gambar: Kubah Dalam Masjid Azizi

Pada masa pembangunan masjid Azizi ini, kesultanan Langkat tengah berada dalam masa keemasaan dikarenakan posisi kesultanan Langkat yang strategis. Dilalui oleh jalur sungai Wampu yang membelah Langkat dan menjadi jalur utama perdagangan air yang menghubungkan dengan kesultanan Kedah dan Klantan Malaysia, serta hasil bumi berupa minyak yang terdapat di Pangkalan Berandan. Pembangunan masjid ini pun menghabiskan ratusan ribu ringgit Malaysia, dan semua material bangunannya diimpor dengan puluhan kapal yang diangkut dari Malaysia.

Yang menjadi ciri khas bangunan dari masjid Azizi ini adalah ornamen warna khas Melayu Islam yaitu kuning. Serta arsitektur bangunan fisik kubah dan menara yang dilihat dari luar tampak seperti bangunan masjid Islam di India. Sementara arsitektur dalam masjid tampak seperti bangunan masjid pada masa Ottoman Turki yang dipenuhi tulisan kaligrafi Arab pada dinding-dinging tembok masjid.

Image

Gambar: Pintu masuk Masjid Azizi

Bangunan masjid ini berukuran 25 x 25 meter dan ketinggian yang mencapai 30 meter. Masjid ini memiliki tiga pintu masuk yang menjadi anjungan yang terdapat pada sisi timur, utara dan selatan. Sementara arah ruang shalat masjid ini menghadap ke barat. Pada sisi barat di luar bangunan masjid Azizi terdapat makam para sultan Langkat yaitu Sultan Musa, Sultan Abdul Azizi dan Sultan Mahmud, serta makam guru ngaji para sultan Langkat yaitu Sjech Muhammad Yusuf. Selain itu terdapat juga makam dari pujangga dan pahlawan nasional Tengku Amir Hamzah. Pada sisi timur bagian luar masjid terdapat bangunan madrasah dan perpustakaan Tengku Amir Hamzah yang mengoleksi hasil karya sang pujangga. Di sisi luar bagian selatan masjid adalah pintu masuk yang menghubungkan dengan rumah dari kerabat para Sultan, yang kini bergabung dengan rumah para warga. Sementara sisi luar bagian utara menjadi pintu masuk utama yang menghadap ke jalan besar Tanjung Pura yang menghubungkan propinsi Sumatera Utara dengan Aceh.

Image

Gambar: Pusara Tengku Amir Hamzah (Pahlawan Nasional dan Sastrawan Pendiri Balai Pustaka) yang merupakan keturanan kerabat sultan.

Di masjid Azizi Tanjung Pura setiap tahunnya diadakan perayaan tahunan yang juga bertepatan dengan haul atau ulang tahun Sang Guru Sjech Rokan sang pendiri perkampungan Babasussalam di Tanjung Pura. Selain itu pada bulan ramadhan diadakan acara keagaaman setiap harinya, dan ketika berbuka puasa para pengunjung yang datang ke masjid Azizi akan mendapatkan bubur pedas yang merupakan makanan khas Melayu Langkat.

Maka jika Anda berkunjung ke tanah Berpadu Sekata Berpadu Berjaya ini, singgahkanlah kaki Anda ke masjid Azizi Tanjung Pura. Nikmati pula suasana kehidupan masyarakat Melayu pesisir dan bangunan-bangunan lama dari Tanjung Pura tempo dulu.

Transportasi Dan Biaya

Untuk mencapai ke lokasi masjid ini sangatlah mudah. Dari Medan, anda bisa menaiki bis dari terminal Pinang Baris Medan dengan menggunakan bis dalam propinsi PS (Pembangunan Semesta) tujuan Pangkalan Susu atau Berandan dengan tarif 35.000 rupiah. Atau dengan menggunakan bis mini Timtax dengan tarif 45.000.

Lokasi masjid Azizi Tanjung Pura ini berada di pinggir kiri jalan raya Medan – Tanjung Pura, supir bis akan memberhentikan Anda tepat di pinggir jalan depan masjid Azizi Tanjung Pura.