GURINDAM DUA BELAS

images

 

INILAH GURINDAM DUA BELAS NAMANYA

Segala puji bagi Tuhan seru sekalian alam serta shalawatnya Nabi yang akhirul zaman serta keluarganya dan sahabatnya sekalian adanya. Amma ba’du dari pada itu maka tatkala sampailah Hijratun Nabi 1263 Sunnah kepada dua puluh tiga hari bulan Rajab Selasa mana telah ta’ali kepada kita yaitu Raja Ali Haji mengarang satu gurindam cara Melayu yaitu boleh juga jadi diambil faedah sedikit-sedikit daripada perkataannya gurindam itu hanya dua belas pasal di dalamnya.

“SIMPAN YANG INDAH

IALAH ILMU YANG MEMBERI FAEDAH”

INI GURINDAM PASAL YANG PERTAMA

Barang siapa tiada memegang agama

Segala-gala tiada boleh dibilang nama

Barang siapa mengenal empat

Maka yaitulah orang yang ma’rifat

Barang siapa mengenal Allah

Suruh dan tegaknya tiada ia mengalah

Barang siapa mengenal diri

Maka telah mengenal Tuhan yang bahari

INI GURINDAM PASAL YANG KEDUA

Barang siapa yang mengenal tersebut

Tahulah ia makna takut

Barang siapa meninggalakan sembahyang

Seperti rumah tiada bertiang

Barang siapa meninggalakan puasa

Tidaklah mendapat dua termasa

Barang siapa meninggalakan zakat

Tiadalah hartanya beroleh berkat

Barang siapa meninggalakan haji

Tiadalah ia menyempurnakan janji

INI GURINDAM PASAL YANG KETIGA

Apabila terpelihara mata

Sedikitlah cita-cita

Apabila terpelihara kuping

Khabar yang jahat tiadalah damping

Apabila terpelihara lidah

Niscahaya dapat daripadanya faedah

Bersungguh-sungguh engkau memelihara tangan

Daripada segala berat dan ringan

Apabila perut terlalu penuh

Keluarlah fi’il yang tiada senonoh

Anggota tengah hendaklah ingat

Disitulah banyak orang yang hilang semangat

Hendakalah pelihara kaki

Daripada berjalan yang membawa rugi

INI GURINDAM PASAL YANG KEEMPAT

Hati itu kerajaan di dalam tubuh

Apabila dengki sudah bertanah

Datanglah daripadanya beberapa anak panah

Mengumpat dan memuji hendakalah pikir

Disitulah banyak orang tergelincir

Pekerjaan marah jangan dibela

Nanti hilang akal di kepala

Jika sedikitpun berbuat bohong

Boleh diumpamakan mulutnya itu pekung

Tanda orang yang amat celaka

Aib dirinya tiada ia sangka

Bakhil jangan diberi singgah

Itulah perompak yang amat gagah

Barang siapa yang sudah besar

Janganlah kelakuannya membuat kasar

Barang siapa perkataan kotor

Mulutnya itu umpama ketor

Di mana tahu salah diri

Jika tidak orang lain yang berperi

Pekerjaan takbur jangan direpih

Sebelum mati didapat juga sepih

INI GURINDAM PASAL YANG KELIMA

Jika hendak mengenal orang berbangsa

Lihatlah kepada budi dan bahasa

Jika hendak mengenal orang berbahagia

Sangat memelihara yang sia-sia

Jika hendak mengenal orang yang mulia

Lihatlah kepada kelakuan dia

Jika hendak mengenal orang yang berilmu

Bertanya dan belajar tidaklah jemu

Jika hendak mengenal orang yang berakal

Di dalam dunia mengambil bekal

Jika hendak mengenal orang yang baik perangai

Lihatlah pada ketika bercampur dengan orang ramai

INI GURINDAM PASAL YANG KEENAM

Cahari olehmu akan sahabat

Yang boleh dijadikan obat

Cahari olehmu akan guru

Yang boleh tahukan tiap seteru

Cahari olehmu akan istri

Yang boleh menyerahkan diri

Cahari olehmu akan kawan

Pilih segala orang yang setiawan

Cahari olehmu kan abdi

Yang ada baik sedikit budi

INI GURINDAM PASAL YANG KETUJUH

Apabila banyak berkata-kata

Disitulah jalan masuk dusta

Apabila banyak berlebih-lebihan suka

Itulah tanda hampirkan duka

Apabila kita kurang siasat

Itulah tandah pekerjaan hendak sesaat

Apabila anak tidak dilatih

Jika besar bapaknya letih

Apabila banyak mencela orang

Itulah tanda dirinya kurang

Apabila orang yang banyak tidur

Sia-sia sahajalah umur

Apabila mendengar akan khabar

Menerimanya itu hendaklah sabar

Apabila mendengar akan aduan

Membicarakannya itu hendaklah cemburuan

Apabila perkataan yang lemah lembut

Lekaslah segala orang mengikut

Apabila perkataan yang amat kasar

Lekaslah orang gusar

Apabila pekerjaan yang amat benar

Tidak boleh orang berbuat honar

INI GURINDAM PASAL YANG KEDELAPAN

Barang siapa khianat akan dirinya

Apalagi kepada yang lain

Kepada dirinya ia aniaya

Orang itu jangan engkau percaya

Lidah suka membenarkan dirinya

Daripada yang lain dapat kesalahannya

Daripada memuji diri hendaklah sabar

Biar daripada orang datangnya kabar

Orang yang suka menampakakan jasa

Setengah daripada sirik mengaku kuasa

Kejahatan diri sembunyikan

Kebaikan diri diamkan

Keaiban orang jangan dibuka

Keaiban diri hendaklah sangka

INI GURINDAM PASAL YANG KESEMBILAN

Tahu pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan

Bukannya manusia yaitulah syaitan

Kejahatan seorang perempuan tua

Itulah iblis punya penggawa

Kepada segala hamba-hamba raja

Di situlah syaitan tempatnya manja

Kebanyakan orang yang muda mudi

Di situlah syaitan punya jamuan

Adapun orang tua yang hemat

Syaitan tak suka membuat sahabat

Jika orang muda kuat berguru

Dengan syaitan jadi berseteru

INI GURINDAM PASAL YANG KESEPULUH

Dengan bapak jangan durhaka

Supaya allah tidak murka

Dengan ibu hendaklah hormat

Supaya badan dapat selamat

Dengan anak jagalah lalai

Supaya boleh naik di tengah balai

Dengan kawan hendaknya adil

Supaya tangannya jadi kapil

INI GURINDAM PASAL YANG KESEBELAS

Hendaklah berjasa

Kepada yang sebangsa

Hendaklah jadi kepala

Buang perangai yang cela

Hendaklah memagang amanat

Buanglah khianat

Hendakalah marah

Dahulukan hujjah

Hendak murahkan

INI GURINDAM PASAL YANG KEDUABELAS

Raja mufakat dengan menteri

Seperti kebun berpagar duri

Betul hati kepada raja

Tanda jadi sebarang kerja

Hukum adil di atas rakyat

Tanda raja beroleh inayat

Kasihkan orang yang berilmu

Tanda rahmat atas dirimu

Hormat akan orang yang pandai

Tanda mengenai kasa dan cindai

Ingatkan dirinya mati

Itulah asal berbuat bakti

Akhirat itu terlalu nyata

Kepada hati yang tidak buta

SYAIR PUTRI HIJAU

IMG_20140912_122340

Di Tanah Deli (kini kota Medan), ada sebuah cerita legenda masyarakat Melayu Deli Medan, yang disebut dengan Putri Hijau. Dalam cerita legenda yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu dan bertahan hingga kini, cerita legenda si Putri Hijau masih populer di telinga masyarakat Melayu Sumatera khususnya Deli Medan. Hingga banyak para penulis terdahulu yang telah membuat legenda ini menjadi teks drama, syair dan puisi. Namun di antara para penulis itu, adalah syair karya Abudl Rahman tahun 1955, yang berjudul Syair Putri Hijau: Suatu Cerita yang Benar Terjadi di Tanah Deli, adalah syair yang menarik untuk dibaca sebagai pengetahuan tambahan pembaca tentang legenda Putri Hijau di Tanah Deli.

Adapun syair Abdul Rahman tersebut tim VisitLangkat temukan dalam sebuah laman website berita lenteratimur.com. Untuk kepentingan publikasi dan sebar luas syair Putri Hijau tersebut, maka kembali tim VisitLangka tulis dalam bahasa Melayu-Indonesia saat ini. Silakan pembaca baca dan sebar luaskan legenda Putri Hijau ini, suatu cerita yang benar terjadi di Tanah Deli. Tabik!

SYAIR PUTRI HIJAU

(Suatu Cerita yang Benar Terjadi di Tanah Deli)

Abdul Rahman (1955)

 

  1. Permulaan

Bismillah itu permulaan kata

Dengan nama Allah Tuhan semesta

Saya mengarang satu cerita

Orang dahulu empunya warta.

 

Adapun maksud syair dikarangkan

Bukannya pandai saya tunjukkan

Cerita yang benar saya kabarkan

Lebih dan kurang harap maafkan.

 

Karena saya bukan pengarang

Ilmu tiada faham pun kurang

Hina dan miskin bukan sembarang

Duduk bercinta di negeri orang.

 

Cerita ini nyata terjadi

Di Sumatera Timur, di Tanah Deli

Cerita dulu lama sekali

Hikayat seorang raja asli.

 

Meskipun cerita mustahil rasanya

Kebanyakan orang demikian fahamnya

Hukum akal ada menerimanya

Semuanya ini harus adanya.

 

Jika dikehendaki Tuhan semesta

Yang sulit itu menjadi nyata

Lautan boleh menjadi kota

Gunung yang tinggi menjadi rata.

 

Begitu juga cerita ini

Kodrat Allah Tuhan rabbani

Membenarkannya orang berani

Banyak yang tahu di sana sini.

 

Banyak keterangan sudah didapati

Ataupun tanda-tanda sebagai bukti

Tanda sudah saya lihati

Menjadikan percaya di dalam hati.

 

Tiga keterangan saya tunjukkan

Tuan-tuan pembaca boleh saksikan

Bersama-sama kita pikirkan

Benarkah ia ataupun bukan.

 

Keterangan pertama saya membagi

Suatu pancuran tepian mandi

Sampai sekarang tinggallah sendi

Di Delitua adalah lagi.

 

Di Delitua tempatnya itu

Rupanya hampir seperti batu

Jarang orang sampai ke situ

Karena jalannya tiada bertentu.

 

Keterangan kedua lagi suatu

Meriam puntung asalnya ratu

Di Istana maimun tempatnya itu

Beratapkan ijuk berlantai batu.

 

Keterangan ketiga konon kabarnya

Seekora naga yang amat besarnya

Di Belawandeli tempat lajunya

Sampai sekarang ada bekasnya.

 

Sampai di sini saya berhenti

Keterangan-keterangan sudah terbukti

Dengan cerita baik diganti

Supaya hasil maksud di hati.

 

Beginilah konon mula cerita

Seorang raja di atas tahta

Kerajaan besar sudahlah nyata

Rakyatnya banyak beribut juga

 

Kerajaanya besar nyatalah sudah

Negerinya ramai kotanya indah

Banyaklah dagang ke sana berpindah

Kepada baginda datang merendah.

 

Sultan sulaiman nama baginda

Hukumnya adil cacat tiada

Kaya, miskin, tua dan muda

Dihukum baginda tidak berbeda.

 

II Sultan Sulaiman

Delitua negerinya itu

Kotanya kukuh berpagar batu

Pasarnya ramai bukan suatu

Tiada berbanding di zaman itu.

Baginda berputra tiga orang jua

Laki-laki konon putra yang tua

Putri cantik putra kedua

Parasnya elok jarang tersua.

Putri Hijau disebut namanya

Eloknya tidak dapat disama

Sebagai dewa turun menjelma

Gemilang sebagai bulan purnama.

Wajahnya bercahaya berseri-seri

Laksana paras anakkan peri

Tiada bandinganya di dalam negeri

Mahal didapat sukar dicari.

Putih kuning badannya sedang

Pinggangnya ramping dadanya bidang

Rambutnya hitam terlalu panjang

Memberi asyik siapa memandang.

Putih berseri nyata kelihatan

Giginya berkilat seperti intan

Seumpana sinar bintang selatan

Menjadikan lupa segala ingatan.

Putra yang bungsu laki-laki juga

Parasnya elok tiadalah dua

Menarik hati orang semua

Dikasihi rakyat muda dan tua.

Adapun akan duli baginda

Istrinya lama sudah tiada

Banyak dicari gadis dan randa

Hati baginda penuju tiada.

Tinggallah baginda tiada beristri

Memerintah kota dusun negeri

Banyaklah datang dagang senteri

Kepada baginda perhambakan diri.

Putri hijau baginda peliharakan

Apa kehendaknya baginda turutkan

Tiadalah pernah baginda bantahkan

Kasih dan sayang tiada terperikan.

Beberapa lama demikian itu

Di atas tahta konon sang ratu

Dengan kehendak Tuhan yang satu

Baginda gering suatu waktu.

Baginda nan gering bukan kepalang

Badannya kurus tinggallah tulang

Tabibpun selalu datang berulang

Mengobati baginda raja terbilang.

Tabib berusaha bersungguh hati

Menolong baginda raja berbakti

Sudahlah takdir Rabul’izzati

Penyakit tak dapat lagi diobati.

Pertolongan tabib tiada berfaedah

Semakin payah sultan yang syahdah

Akal baginda hampirlah sudah

Ke negeri yang baka akan berpindah.

Dengan hal yang demikian itu

Penyakit menggoda setiap waktu

Obatnya tiada dapat membantu

Baginda mangkat ketika itu.

Baginda berpulang ke rahmatullah

Tahta kebesaran semua tinggallah

Harta dunia sudah terjumlah

Kepada yang lain diberikan Allah.

Atas kehilangan duli mahkota

Rakyatpun sangat berdukacita

Menteri, hulubalang menangis rata

Istimewa pula putra sang nata.

Ketiga putra raja sangatlah pilu

Bercerai dengan junjungan hulu

Hatinya rawan bertambah pilu

Sebagai diiris dengan sembilu.

Menangislah ia tiga saudara

Hatinya pilu tiada terkira

Sebagai terbuai di hutan dura

Sangat merasai azab sengsara.

Cerita tiada saya panjangkan

Jenazah baginda lalu dimakamkan

Dengan alatnya semua dikerjakan

Adat raja-raja lengkap diadakan.

Setelah selesai pekerjaan itu

Tinggallah putera berhati mutu

Duduk bermenung setiap waktu

Terkenanglah ayahanda paduka ratu.

Akan ganti duli baginda

Putra yang sulut menjadi raja

Hukumnya adil samalah saja

Dengan marhum paduka ayahanda.

Seisi negeri bersenang hati

Melihatkan perintah demikian pekerti

Rakyatpun sangat berbuat bakti

Segala perintah mereka turuti.

III. Raja Aceh

Begitulah konon orang cerita

Delitia mashurlah warta

Sultannya arif alam pendeta

Bijak bestari adalah serta.

Tersebutlah pula kisah suatu

Adalah konon seorang ratu

Di negeri Aceh bercahaya itu

Gagah berani konon sang ratu.

Kerajaan besar bukan kepalang

Banyak mempunyai menteri hulubalang

Gajah dan kuda tiada terbilang

Di pelabuhan banyak kapal pencalang.

Raja Aceh tiada samanya

Di Pulau Sumatera mashur kabarnya

Parasnya elok sukar bandingnya

Serta berani dengan gagahnya.

Pada masa suatu ketika

Semayam di balai Sultan paduka

Dihadap oleh menteri belaka

Hati baginda sangatlah suka.

Menterinya bercerita ini dan itu

Beberapa nasihat adalah tentu

Disembahkan kepada paduka ratu

Baginda suka bukan suatu.

Demikianlah halnya setiap hari

Baginda dihadap hulubalang menteri

Beserta dengan dagang senteri

Serta raja-raja takluknya negeri.

Apabila sudah berkata-kata

Baginda menjamu sekalian rata

Tua muda adalah serta

Menerima karunia raja mahkota

Begitulah selalu pekerjaannya

Kepada rakyat sangat kasihnya

Adil dan murah baik budinya

Sedikitpun tiada dibedakannya.

Rakyatpun cinta kepada rajanya

Apa kehendak diturut saja

Baik tua muda remaja

Tiada seorang bermuram durja.

Suatu masa duli sang ratu

Hari jumat di malam sabtu

Baginda berdiri di muka pintu

Bersenang diri peluang waktu.

Ketika itu bulan pun terang

Seluruh alam terang benderang

Angin bertiup serang meneyerang

Baginda pun suka bukan sembarang

Dengan takdir Allah Ta’ala

Terpandang cahaya di cakrawala

Warnanya hijau menyala-nyala

Sebagai cahaya sebuah kemala.

Baginda pun heran bukan suatu

Melihat cahaya serupa itu

Takjub di hati duli sang ratu

Cahaya apakah gerangan itu.

Melihat hal demikian peri

Ke dalam istana baginda berlari

Menyuruh memanggil hulubalang menteri

Menunjukan cahaya sambil berdiri.

Kepada wazirnya baginda berkata:

“Aduhai mamanda, coba cerita

Cahaya apakan demika nyata,

Belum pernah di pandang mata.

Selama hidup wahai menteri

Tak pernah melihat demikian peri

Keterangan harap segera beri

Cahaya apakah hijau berserit?”

Wazir menjawab dengan segera:

“Ampun tuanku raja negera

Pada patik empunya kira

Itulah cahaya bahtera indera.

Sungguhpun patik berkata begitu

Dalam hati belumlah tentu

Karena jauh bukan suatu

Di negeri asing tempatnya itu.

Cahaya nan bukan di negeri kita

Karena sayup dipandang mata

Jika tuanku hendakkan nyata

Titahlah orang memeriksa serta.

Pada patik empunya hemat

Itulah tentu suatu alamat

Entah dunia hendak kiamat

Baik diperiksa dengan cermat.

Baginda mendengar sembah wazirnya

Merasa berkenan dalam hatinya

Iapun masuk ke dalam istananya

Di atas peraduan membaringkan dirinya.

Tetapi baginda tak dapat lena

Karena hatinya gundah gulana

Terkenang cahaya suatu makna

Belum diketahui dengan sempurna.

Demikian halnya semalam-malam

Tinggal berbaring di atas tilam

Hatinya sagat gundah di dalam

Memikirkan cahaya sebagai nilam.

Setelah siang sudahlah hari

Baginda semayam di balairung sari

Dihadap oleh perdanan menteri

Rupanya lesu tiada terperi.

Wazir melihat paduka ratu

Bermuran durja berhati mutu

Hatinya pilu bukan suatu

Tunduk menyembah ketika itu.

Wazirpun lalu segera berperi:

“ampun tuanku mahkota negeri

Apakah sebab demikian peri,

Tiada sebgai sehari-hari?

Mengapa tuanku berhati pilu

Adakah musuh hendak memalu

Berilah tahu, duli penghulu

Biarlah patik mati dahulu.”

Baginda tersenyum manis berseri

Mendengar sembah wazir bestari

Sukanya tiadak lagi terperi

Dengan perlahan bagian berperi

Lemah lembuh baginda bersabda:

“Aduhai wazirku usul yang syahda

Suruhkan orang jangan tiada

Mencari cahaya di mana ada.

Siapkan kelengkapan mana yang perlu

Supaya mereka segera berlalu

Tanyakan orang hilir dan hulu

Sebelum didapat hatiku pilu.

Apabila cahaya sudah didapati

Hendaklah mereka kembali pasti

Supaya aku bersenang hati

Jika tiada, tentulah mati.”

Tatkala wazir mendengar titah

Iapun tunduk, lalu menyembah:

“Ampun tuanku dulu khalifah

Titah tuanku benarlah sudah.

Biarlah pati pergi sendiri

Bersama dengan seorang menteri

Segenap negeri patik edari

Tiada pati merasa ngeri

Demikian sultan mendengar kata

Hatinya sangat bersuka cita

“Aduhai wazirku susul yang po’ta

Kuserakan kepada Tuhan semesta

IV. Mencari Cahaya Hijau

Segeralah mamanda berjalan pergi

Kudoalan juga petang dan pagi

Jika ada Allah membagi

Beroleh keuntungan jangan merugi.

Setelah sudah demikian itu

Wazirpun menyembah kepada ratu

Berjalan ia menuju pintu

Keluar dari kotanya batu.

Seorang menjadi tolan

Lengkat membawa bekal-bekalan

Sangatlah cepat mereka berjalan

Dengan hati merasa malan

Berjalan mereka dua sekawan

Hatinya sangat pilu dan rawan

Tempat dituju tiada ketahuan

Menyerahkan dirinya kepada Tuhan.

Mereka berjalan sehari-hari

Sehingga sampai malamnya hari

Sambil memandang ke sana ke mari

Maksudnya cahaya hendak dicari.

Dengan kodrat Rabbil’idjali

Nampaklah cahay lagi sekali

Hijau terbentang umpama tali

Letaknya arah di tanah Deli.

Waktu wazir memandang nyata

Cahaya terang sebagai pelita

Kepada menteri dikabarkan serta

Mereka pun sangat bersuka cita.

Lama mereka melihat itu

Herannya bukan lagi suatu

Berdiam diri bsegai batu

Memikirkan kekayaan Tuhan yang satu.

Seketika lagi cahayapun hilang

Tiada bintang gemerlap-gemilang

Bulanpun terbit cahaya cemerlang

Menerangi bumi tiada berselang.

Jauh malam sudahlah hari

Merekapun mengantuk tiada terperi

Pohon yang tindang segera dicari

Keduanya lalu membaringkan diri.

Tatkala hari sudahlah siang

Keduanya bangun lalu sembayang

Dalam hatinya sangatlah riang

Tempah cahaya sudah terbayang.

Setelah sudah sembayang itu

Berjalan kedua mereka itu

Berserah kepada Tuhan yang Satu

Kepadanya mendoa meminta bantu.

Tiadalah saya berpanjang kalam

Mereka berjalan siang dan malam

Beberpa menempuh hutan yang kelam

Gunung yang tinggi lembah yang dalam.

Dengan takdir Rabbi’idjalali

Sampailah mereke ke Labuhan Deli

Ke dalam ngeri langsung sekali

Mereka menyamar sebagai kuli.

Di situlah mereka berhentu keduanya

Karena hendak melepaskan lelahnya

Tambahan hendak bertanyakan halnya

Akan cahaya di mana tempatnya.

Dengan beberapa daya upaya

Dapatlah mereka hikayat cahaya

Di Delitua nyatalah ia

Dalam istana tempat yang mulia.

Itulah cahaya putri ratu

Bukanlah cahaya jin dan hantu

Putri Hijau namanya itu

Putri yang cantik bukan suatu.

Bermufakatlah wazir dan menteri

Hendak pergi ke Delitua negeri

Maksud melihat tuannya putri

Dipersaksikan dengan mata sendiri.

Cerita tidak dilanjutkan lagi

Kedua mereka lalulah pergi

Berjalan mereka duanya hari

Sampailah mereka ke dalam negeri.

Dengan beberapa daya upaya

Ke dalam istana sampailah ia

Menyamarkan diri sebagai sahaja

Tingkah dan laku serta gaja.

Sudahlah untung bagi mereka

Sampailah sudah saat ketika

Dengan tiada disangka-sangka

Putri Hijau nampaklah muka.

Parasnya elok bagai digambar

Memandang putri hati berdebar

Indah putri tak dapat terkabar

Lalu mengucap Allahu Akbar.

Mereka tercengang terlalu lama

Menentang paras putri utama

Cantik majelis dewi menjelma

Tiada banding di mana-mana.

Seteah hati jauhlah malam

Putri pun lalu masuk ke dalam

Wazirpun masih pikirkan kelam

Menentang putri permata nilam.

Ia berkata kepada menteri:

‘sekarang apa bicara diri

Kita nan sudah sampai ke mari

Makdus sampai Allah memberi”

Menteri pun lalu menjawab kata:

‘Aduhai saudara wazir yang po’ata

Jika menurut pikiran beta

Baiklah kita kembali serta’.

Ke negeri Aceh kembali kita

Persembahan kepada duli mahkota

Segala yang sudah dipandang mata

Supaya baginda tiada bercinta’.

Wazir mendengar perkataan itu

Dalam hatinya benarlah tentu

Mereka pun keluar darinya situ

Menyamar kepada penunggu pintu.

Dari dalam istana keluar mereka

Hati keduanya sangatlah suka

Semuanya maksud sampai belaka

Ditolong oleh Tuhan yang baka.

Kedua mereka lalu berangkat

Dengan berjalan terlalu cepat

Perjalanan jauh serasa singkat

Ke ngeri Aceh sudahlah dekat.

Kata orang empunya madah

Ke ngeri Aceh sampailah sudah

Tiada lagi berhati gundah

Ke dalam koat menyampaikan sembah.

Waktu sultan melihat mereka

Hati baginda sangatlah suka

Berseri-seri warnanya muka

Lalu bertitah itu ketika.

Baginda bertitah demikian peri

“Aduhai mamanda wazir menteri

Mengapa segera pulang ke mari

Adakah sampai maksudnya diri?’.

Wazirpun tunduk lalu berkata:

‘Ampun tuanku duli mahkota

Berkat pertolongan Tuhan semesta

Sampailah sudah bagi dicita.

Patik mengembara segenap negeri

Bertanyakan wartanya ke sana ke mari

Dengan pertolongan Khaliku’bahri

Dapatlah warta, kabar dan peri.

Adapun akan cahaya itu

Bukanlah cahaya jin dan hantu

Hanyalah cahaya Putri Hijau

Di Delitua berkota batu.

Gemilang cahaya seorang putri

Di Delitua namanya negeri

Eloknya tidak lagi terperi

Mahal didapat sukar dicari.

Cantik sungguh putri bangsawan

Beserta dengan budi dermawan

Mukanya bujur kilau-kilauan

Memberi asik laki-laki perempuan.

Giginya putih cahaya cemerlang

Umpama dian di dalam pelang

Gaya dan sikap indah terbilang

Jika terpandang semangat hilang.

Ampun tuanku mahkota negeri

Sungguhlan cantik tuan putri

Patutu dihadap hulubalang menteri

Kepada tuanku menjadi suri.

Perempuan begitu sukar didapat

Meski dicari segenap tempat

Cukup padanya segala sifat

Sangat beruntung siapa mendapat’’.

Demi sultan mendengar warta

Baginda diam tiada berkata

Di dalam hati timbullah cinta

Kepada putri indah jelita.

Cinta birahi timbul menggoda

Kepada sultan yang masih muda

Rasanya cinta di dalam dada

Kepada putri muda remaja.

Jika penyakit demikian pekeri

Tentu obatnya sukar didapati

Jika tak dapat cinta di hati

Tentulah badan merana dan mati.

Penyakit cinta kalau terlena

Tentulah badan jadi merana

Karena rindu gundah gulana

Makan tak sedap tidur tak lena.

Tiadalah saya berpandang madah

Karena hati sangatlah gundah

Tambahan mengarang bukannya mudah

Ditulis sekedar yang berfaedah.

Sultan Aceh raja bangsawan

Sehari-hari berhati rawan

Terkenang putri muda rupawan

Maksud hendak dibuat kawan.

V. Meminang Putri Hijau

 

Ditetapkan pikiran di dalam diri

Hendak meminang tuannya putri

Dikabarkan kepada wazir dan menteri

Mujurlah melengkapi kapal sendiri.

Karena baginda hendak berpesan

Ke Delitua mengirim utusan

Memingan putri muda yang sopan

Supaya tiada harap-harapan.

Setelah kapal sudah dihiasi

Semua kurung telah dikemasi

Bekal-bekal lalu diisi

Cukup dengan nakhoda kelasi.

Orang tua-tua adalah serta

Mana yang diharap duli makhota

Ke Delitua membawa warta

Menyampai maksud di dalam cita.

Setelah kelengkapan sedia belaka

Sauh ditarik layar dan jangka

Kapal melancar di Selat Malaka

Hilang dimata dengan seketika.

Kapal berlayar siang dan malam

Menempuh lautan yang amat dalam

Dipukul gelombang timbul tenggelam

Di Selat Malaka sebagai menyelam.

Angin kencang gelombang pun besar

Hari panas seperti dibakar

Temberang bedenggung kemudi berkisar

Banyaklah mabuk segala laskar.

Berlayar tiada berapa antara

Nampaklah pesisir pulau Sumatera

Laskarpun suka tiada terkira

Di dalam pelayaran selamat sejahtera.

Lajunya kapal bukan bautan

Berlayar menyusur tepi daratan

Berkibar bendera haluan buritan

Labuhan Deli jadi tepatan.

Kapal berhenti sauh diturunkan

Gemuruh meriam orang tembakkan

Orang di pasar yang mendengar

Musuh menyerang mereka sangkakan.

Mendengar meriah gemuruh di kuala

Hati syahbandar berdebar pula

Dalam sekoci ia tersila

Beryaung segera jadi kepala.

Beberapa orang ada sertanya

Ke kuala negeri sampai ianya

Dilihatnya kapal sangat besarnya

Sangatlah heran rasa hatinya.

Kepada kapal iapun dekat

Memberi hormat tangant diangkat

Lalulah naik tangga bertingkat

Pergi mendapatkan nakhoda berpangkat.

Kepada nakhoda ia bertanya:

“kapal ini dari mana datangnya

Apakah sebab mula karenaya

Memasang meriam gemuruh bahannya?”.

Nakhoda menjawab lalu berkata:

“Aduhai saudara syahbandar yang po’ta

Kami dari Aceh membawa warta

Bukannya hendak melanggar kota.

Kami ini dititah sultan

Kehadiran sultan Deli denagan kehormatan

Membawa bingkisan emas dan intan

Cahaya memancar berkilat-kilatan.

Kami belajar amatlah jarang

Adat lembaga belumlah terang

Alpa dan khilaf banyak bersarang

Ampun dan maaf janganlah kurang.

Jikalau tuan ada kasihan

Beserta pula dengan kemurahan

Haraplah kami dapat bantuan

Membawa kami masuk pelabuhan”.

Syahbandar mengdengar kata nakhoda

Barulah senang di dalam dada

Takut dan ngeri sudah tiada

Di atas kapal berguran senda.

Setelah petang sudahlah hari

Syahbandar pun lalu bermohon diri

Turun ke dalam sekoci sendiri

Bersama wazir dan menteri.

Kemudian sekoci lalu disurung

Beberapa kelasi duduk berdayung

Soerang tiada berhati murung

Sekocipu laju umpama burung.

Setelah sampai ke dalam kota

Semua utusan dipersilahkan serta

Masuk ke rumah syahbandar kita

Lalu dijamunya sekalian rata.

Sampai pada keesokan hati

Utusan pun lalu bermohon diri

Hendak pergi ke dalam negeri

Menyampaikan pesan raja bestari.

Syahbandar menghormati kurang tiada

Lalu disediakan gajah dan kuda

Makan-makan mana yang ada

Tanda ikhlas di dalam dada.

Syahbandar lalu mengucapkan selamat

Utusan tunduk memberi hormat

Beberpa pujian yang mulia amat

Sebagai bertemu wakil keramat.

Setelah sudah berkata-kata

Utusanpun lalu naik kereta

Syahbandar mengantar dengannya mata

Rasanya hendak bersama serta.

Utusan berjalan ke dalam negeri

Kudanya kencang tidak terperi

Kereta kendaraan sebagai menari

Ditarik kuda sambil berlari.

Berkat keramat sultan makhota

Utusan pun tida mendapat lata

Sampailah ia bersama serta

Ke Delitua di ibu kota.

Merekapun masuk perlahan-lahan

Hendak menghadap raja pilihan

Beberapa banyak membawa persembahan

Umpama pohon beserta dahan.

Setelah sampai ke pintu kota

Penunggu pintu didapat serta

Lalu mengabarkan hal dan warta

Hendak menghadap raja mahkota.

Penunggu pintu mendengar itu

Iapun pergi menghadap ratu

Persembahan warta yang telah tentu

Utusan Aceh datang ke situ.

Baginda mendengar sembah biduanda

Sangat terkejut di dalam dada

Dengan perlahan ia bersabda

Suruhkan kemari jangan tiada.

Penunggu pintu lalulah pergi

Kepada utusan bertemu lagi

Disampaikan tidah raja yang tinggi

Serta keterangan ada dibagi.

Utusan masuk ke dalam istana

Diringkan oleh menteri perdana

Pergi menghadap raja yang gana

Tunduh menyembah dengan sempurna.

Tunduk menyembah merendahkan diri

Di hadapan raja mahkota negeri

Dengan perlahan ia berperi

Menyebut asal dan nama negeri.

Dengan hormat utusan berkata:

“Ampun tuanku duli mahkota

Dari Aceh datangnya beta

Dititah oleh duli mahkota.

Kami dititah oleh baginda

Menyampaikan iklas di dalam dada

Membawa persembahan mana yang ada

Harap diterima jangan tiada.

Persembahanpun tidak dengan seperti

Hanyalah iklas di dalam hati

Kepada tuanku raja yang sakti

Mudah-mudahan Allah berkati.

Adapun maksud raja terbilang

Pada tuan wajah gemilang

Jika tiada suatu menghalang

Memohon mestika cahaya cemerlang.

Mestika yang besar di dalam negeri

Cahanya terang ke sana ke mari

Memberi asik dewa dan peri

Mahal didapat sukar dicari.

Itulah dipohonkan oleh baginda

Pada tuanku usul yang syahda

Tulus dan iklas di dalam dada

Harapkan kurnia jangan tiada.

Demi baginda mendengar kabar

Hatinya guncang darah berdebar

Tetapi baginda raja yang sabar

Dibawa mengucap “Allahu Akbar.”

Baginda bertitah perlahan suara:

“Aduhai utusan Aceh negara

Hatiku suka tiada terkira

Sultan mengaku jadi saudara

Adapun akan kehendaknya itu

Jika ada Allah membantu

Haraplah bersabar sedikit waktu

Maksud baginda terkabulla tentu.

Mestika itu adalah sudah

Mendapat dia tentulah mudah

Jangan baginda berhati gundah

Kepada ia tentu berpindah

Begitulah saja kami berperi

Sabarlah utusan kadar dua hari

Semoga-moga ada Allah memberi

Denan segeranya kami kabari.”

Utusan mendengar titahnya sultan

Hatinya sukan bukan buatan

Sebagai mendapat segunung intan

Mukanya bercahaya nyata kelihatan.

Setelah sudah berkata-kata

Utusanpun lalu bermohon rata

Pada baginda raja mahkota

Hendak berhenti di luar kota.

Apabila utusan sudah berlalu

Hati baginda merasa pilu

Sendi dan tulang rasanya ngilu

Terkenang kehendak Aceh penghulu

Baginda masuk ke dalam puri

Hendak bertemu saudar sendiri

Menceritakan utusan Aceh negeri

Supaya bersama boleh memikiri

Tatkala baginda masuk ke dalam

Putri Hijau sedang menyulam

Wajahnya bersih umpama nilam

Sebagai bulan diwaktu malam.

Apabila putri melihat saudara

Iapun berdiri dengan segera

Hormat tiada lagi terkira

Pada saudaranya raja negara.

Diambil puan lalu disorongkan

Dengan menyembah kepala ditundukkan

Baginda duduk sambil bertelekan

Sirih dipuan lalu dimakan

Lalu bermadah tuan putri

“Ampun kakanda mahkota negeri

Apakah maksud kakanda kemari

Makanya datang begini hari?”

Baginda lalu menjawab kata:

“aduhai adinda usul yang po’ta

Sebabpun maka ke mari beta

Adalah sedikit membawa warta.

Sebelumnya kakanda berkata begitu

Kabar nan sukar bukan suatu

Dari Aceh datangnya itu

Utusan seorang ratu.

Supaya maksud menjadi terang

Baiklah kakanda ceritakan sekarang.

Adindaku sudah dipinang orang

Raja yang besar di tanah seberang.

Utusan Aceh datang ke mari

Ada berhenti di luar negeri

Menanti kabar sehari-hari

Dari kakanda seorang diri.

Oleh sebab itu aduhai adinda

Berilah tahu pada kakanda

Sudikah adinda atau tiada

Bersuamikan sultan yang masih muda.

Harap kakanda bukan seperti

Pada adinda emas sekati

Permintaannya baik kita turuti

Supaya ia bersenang hati.

Karena adinda sudah remaja

Janganlah lagi berhati manja

Kehendak kakanda turutlah saja

Supaya selama sebarang kerja.

Demi putri mendengar cerita

Tunduk diam tiada berkata

Sambil bercucur air mata

Hatinya sebal tiada terderita.

Ia berkata perlahan-lahan

Suranya merdu tertahan-tahan

“Ampun kakanda raja pilihan

Bersuami nan belum ada perasaan.

Nama bersuami ampunlah patik

Karena pengetahuan belum setitik

Belum mengetahui bunga dan putik

Tak dapat membedakan sutera dan batik.

Pengharapan patik selama ini

Kepada Allah tuhan subahani

Bersama hidup bersama fani

Dengan kakanda raja yang gani.

Selama tiada ayahanda dan bunda

Pikiran adinda sangat tergoda

Semoga-moga ada rahim kakanda

Sudi memelihara diri adinda

Nama suami mohonkan dulu

Karena patik bodoh terlalu

Belum mengetahui hilir dan hulu

Akhirnya kakanda mendapat malu.”

Baginda mendengar sembah adiknya

Sangatlah pilu rasa hatinya

Tunduk termenung berdiam dirinya

Tiadalah lagi banyak berkatanya.

Baginda lalu bermohon diri

Berjalan keluar dari dalam puri

Pergi menuju istana sendiri

Hatinnya gundah tiada terperi.

Setelah hari sianglah tentu

Berangkatlah ke balai paduka ratu

Baginda bertitah ketika itu

Utusan Aceh dipersilahkan ke situ.

Utusan datang dengan segera

Menghadap baginda raja negara

Hatinya suka tiada terkira

Disangkanya maksud tiadala cedera.

Baginda berkata merdu suara:

“Aduhai utusan Aceh negara

Pada hamba empunya kira

Baiklah tuan kembali segera.

Baiklah tuan segera kembali

Sampaikan salam ke bawah duli

Akan kehendak raja asli

Tiadalah dapat hamba kabuli.

Semalam sudah hamba iktiarkan

Supaya mestika boleh didapatkan

Tetapi Allah belum mengizinkan

Jadilah maksud tiada tersampaikan

Hendakapun hamba akan memaksa

Takutlah pula jadi binasa

Akhirnya kita sesal merasa

Perbuatan tiada usul periksa.

Dari sebab itu aduhai utusan

Bawalah kembali segala bingkisan

Kepada baginda sampaikan pesan

Jangan kiranya murka dan bosan.

Salam dan sembar dari pada beta

Kepada baginda raja makhota

Jangan kiranya berduka cita

Ataupun murka kepada kita.

Bukanlah kami empunya salah

Sudahlah dengan kehendak Allah

Tiada boleh kersa sebelah

Haruslah setujua kedua belah.”

Mendengar titah sultan paduka

Utusanpun sangat merasa duka

Kelihatan pucah warnya muka

Mendengar begitu ia tak sangka.

Ia berkata sambil berdiri:

“Ampun tuanku mahkota negeri

Jika demikian tuanku berperi

Putuslah harap raja bestari.

Harap baginda bukan sedikit

Tinggi dari gunung dan bukit

Raja umpama kena penyakit

Makin lama tambah menjangkit.

Esoklah patik kembali segera

Kembali menuju Aceh negara

Semoga dijauhkan bala dan mara

Di sanalah patik dapat bicara.”

Setelah sudah berkata-kata

Lalulah utusan bermohon rata

Pergi berjalan ke luar kota

Maksudnya hendak berkemaskan harta.

Mereka berkemas semalam-malam

Menggulung tikar membungkus tilam

Hatinya sangat gundah di dalam

Terkenang perkataan duli syah’alam.

Setelah hari sianglah tentu

Berangkat utusan darinay situ

Ke Labuhan Deli tujunya tentu

Hatinya sebal bukan suatu.

Tiada saja berpandang madah

Ke negeri Labuhan sampailah sudah

Ke dalam kapal mereka berpindah

Layar ditarik kemudian ditatah.

Tiadalah lagi mereka berhenti

Ataupun syahbandar mereka dapati

Karena menurutkan kemurahan hati

Hilang sekalian budi pekerti.

Orang melihat demikian itu

Herannya bukan lagi suatu

Kapal berlayar tiada berwaktu

Kabarnya tiada barang suatu.

Semuanya orang datang mencela

Melihat adat utusan ter’ala

Kelakuan sebagai orang yang gila

Tiadalah patut menjadi kepala.

Sampai di sini kisah berhenti

Dengan yang lain pula diganti

Ke negeri Aceh kita lihati

Cerita sultan muda yang sakit hati.

Sejak utusan berlayar pergi

Bagindapun tiada berduka lagi

Sultan berharap petang dan pagi

Supaya maksudnya Alla membagi

Duduklah baginda dengan bersabar

Menunggu utusan membawa kabar

Darah di dada selalu berdebar

Sebagai bendera sedang berkibar

Adapun sultan suatu hari

Sedang embang cahaya matahari

Ayam berkokok kanan dan kiri

Baginda semacam di balairung sari.

Baginda dihadap wazir bereda

Serta menteri mana yang ada

Besar, kecil, tua dan muda

Berbuat khidmat pada baginda.

Baginda bersabda pada bentera,

Lemab lembut bunyi suara:

“Aduhai mamanda apa bicara

Utusan nan belum kembali segera.

Mereka pergi sudahla lama

Lebih kurang dua purnama

Tiada mendengar warta dan nama

Entahpun aral datang menjelma

Jika begini laku pekerti

Baiklah mamanda pergi lihati

Tiadalah senang di dalam hati

Siang dan malam menanti-nanti

Belum habis baginda berkata

Kedengar meriam gegap gempita

Sekalian yang hadir terkejut rata

Disangkanya musuh melanggar kota.

Semuanya memandang ke sana ke mari

Sambil berkata sama sendiri

Meriam apakah demikian peri

Tiada sebagai sehari-hari

Pada masa ketika itu

Masuk menghadap penunggu pintu

Persembahkan kepada paduka ratu

Kapal Aceh datanglah tentu.

Demi baginda mendengar kata

Terlalu suka di dalam cita

Hilanglah gundah hati bercinta

Berganti dengan bersuka cita.

Baginda bertitah kepada bentara

Lemah lembut bunyi suara

“pergilah mamanda menyambut segera

Supaya diketahui seberang bicara.”

Bentara menjemput lalulah pergi

Tiadalah ia berlambat lagi

Bajunya hitam berkopiah tinggi

Memeganng tongkat hulu bersegi.

Ke kuala negeri sampai ianya

Naik ke kapal dengan segara

Kepada kelasi ia bertanya

“utusan Aceh apa kabarnya?”.

Kelasi menjawab dengan nyata:

“tiadalah hamba tahukan warta

Jika hendak bertemu mata

Marilah hamba bawakan serta!”

Bentara berjalan masuk ke dalam

Bertemu dengan Wazirul’alam

Iapun lalu memberi salam

Menyampaikan titah duli syah’alam

Seketinya lamanya berkata-kata

Merekapun lalu turunlah serta

Berjalan masuk ke dalam kota

Hendak menghadap duli sang nata.

Tiadalah lama berjalan itu

Lalu sampai ke kota batu

Merekapun masuk menghadap ratu

Lakunya hormat sudahla tentu.

Setelah sampai ke dalam kota

Wazir menyembah lalu berkata:

“Ampun tuanku raja mahkota

Tiadalah sampai maksudnya kita.

Pada raja Delitua itu

Telah disampaikan pesan sang ratu

Tetapi Allah belum membantu

Intan bercahaya disangka batu.

Kehendak tuanku ia tolakkan

Berbagai dalih ia sebutkan

Beserta kabar yang bukan-bukan

Patikpun sangat heran memikirkan.

Menyebah pati merendahkan diri

Kepada raja Delitua negeri

Kata-kata yang manis selalu diberi

Tetapi baginda tiada dengari.

Hati patik sangat sebalnya

Melihat hal demikian adanya

Permintaan kita tiada diterimanya

Ia menurutkan kehendak hatinya.

Apatah kita empunya salah

Maka baginda berbuat ulah

Kebesaran tuanku sudah mashurlah

Dengan mereka tiada kalah.

Apa yang kurang kepada kita

Harta benda cukup semata

Uang dan emas beberapa juta

Istimewa pula intan permata.

Jika pikir patik menungkan

Sebal rasanya tidak terperikan

Disangkanya tuanku anak-anakkan

Boleh saja dipermain-mainkan.”

Demi baginda mendengar rencana

Mukanya merah gemilah warna

Lakunya marah terlalu bana

Merasa diri kena bencana.

Lalu bertitah lakunya murka

Merah pada warnanya muka:

“sedikit tiada beta menyangka

Maksud kita ditolak mereka.

Aku sangat merasa malu

Kehendak kita tidalah lalu

Dari pada hidup berhati pilu

Lebih baik mati berkalang hulu.

Dari pada hidup tinggal begini

Maulah aku segera fani

Rindu dendam tiada tertahani

Duduk bercinta selaku ini.

Jika tak dapat kehendak hati

Baiklah aku fana dan mati

Emas dan perah seribu kati

Semuanya itu menyakitkan hati.

Aku hendak pergi sendiri

Akan mengambil tuannya puteri

Himpunkan segela hulubalang menteri

Kita berangkat lagi tiga hari.”

Wazirpun menjawab perlahan suara:

“ampun tuanku mahkota negara

Janganlah tuanku perginya segera

Bairlah pati dahulu mara.

Apa gunanya menteri hulubalang

Patutlah mereka menjadi galang

Jangan tuanku berhati walang

Biarlah patik dahulu hilang.

Patik dahulu tuan titahkan

Putri bolhe patik rampaskan

Dengan hidupnya patik bawakan

Di situlah baru kita balaskan.”

Setelah didengar raja mahkota

Akan wazir empunya kata

Merasa benar di dalam cita

Maulah bersama menentang senjata

Baginda bertitah dengan segera:

“Aduhai mamanda wazir negara

Jangalah banyak pikir dan kira

Himpunkan segera rakyat tentara!”

Setelah sudah berperi-peri

Wazirpun lalu memohon diri

Menghimpun rakyat kanan dan kiri

Banyak tiada lagi terperi

Kapal kenaikan lalu dihiasi

Alat senjata lalu diisi

Hulubalang Aceh serta kelasi

Gagah melebihi bangsa Habsi.

Setelah sampai saat ketika

Sekalian laskar berhimpun belaka

Sangat gembira rupa mereka

Seorangpun tiada berhati duka.

VI. Raja Aceh Menyerang

Lengkaplah sudah alat tentara

Masuk ke kapal mahkota negara

Layar ditarik diputar jentera

Kapal pun melancar di tengah segera.

Kata orang empunya madah

Angkatan itu berangkatlah sudah

Rakyat yang tinggal berhati gundah

Sayangkan sultan paras yang indah.

Selama sultan berangkat itu

Datuk mangkubumi jadi pembantu

Duduk memerintah menggantikan ratu

Menyelesaikan perkara sepeninggal ratu

Tersebut pula kisah angkatan

Beberapa hari menempuh lautan

Kapal melancar dari selatan

Jauhlah sudah dari daratan

Empat hari, cukup kelima

Sampailah angkatan raja utama

Ke Labuhan Deli di kota lama

Turunlah sekalian hulubalang panglima.

Terkejutlah orang hilir dan hulu

Melihat kapal banyak terlalu

Datangnya itu tiada kelulu

Tiada tentu siapa penghulu.

Penghulu pasar pergilah segera

Mendapatkan angkatan Aceh negara

Ia bertanya gemetar suara:

“dari mana datang tuan-tuan saudara?.”

Lalu menjawablah seorang menteri:

“kami datang dari Aceh negeri

Tiada bermaksud suatu peri

Berhenti di sini kadar sehari.

Supaya tuan mengetahui terang

Kami nan hendak pergi berperang

Ke Delitua hendak menyerang

Membawa laskar beribu orang.”

Penghulu pasar mendengar katanya

Rasa tak senang dalam hatinya

Warta dipersembahkan pada rajanya

Kabar angkatan dengan maksudnya.

Kata orang empunya madah

Laskar Aceh naiklah sudah

Barisnya beratur terlalu indah

Orang menonton riuh dan rendah.

Alat senjatanya jangan dikata

Tombak dan pedang, perisai bergenta

Senapan dan meriam lengkap semata

Laskar sebagai semut melata.

Setelah beratur baris semuanya

Lalu berjalan sekalian orangnya

Gegap gempita bunyi bahananya

Seperti guruh konon suaranya.

Berjalan konon sekalian laskar

Menempuh padang hutan belukar

Kayu-kayuan banyak terbongkar

Rumputpun kering bagai dibakar.

Terkejut segala binatang hutan

Semuanya lari berlompat-lompatan

Sekalinya itu dengan ketakutan

Disangkanya suara jin dan setan.

Angkatan berjalan beberapa hari

Menempuh padang hutan berduri

Dengan pertolongan Khalikul Bahri

Sampailah ke Delitua negeri.

Berhentilah laskar diluar negeri

Beberapa chaimah lalu terdiri

Keliling tempat semua dipagari

Supaya sukar musuh menghampiri.

Setelah selesai kerja semuanya

Lalu dikabarkan pada rajanya

Baginda mendengar suka hatinya

Akan kesetiaan segala laskarnya.

Baginda lalu bermusyawarah

Bermaksud hendak berkirim surat

Ke Delitua sampailah hasrat

Supaya tidak kekurangan syarat.

Diperbuat surat diberikan pahlawan

Dititahkan pergi tiga sekawan

Panglima menyembah raja bangsawan

Berjalan bersama teman dan kawan.

Setelah sampai ke pintu kota

Penunggu pintu didapat serta

Dikabarkan maksud dengan warta

Hendak menghadap duli sang nata.

Merekapun dibawa ke balairung sari

Kehadapan raja mahkota negeri

Apabila sampai suratpun diberi

Kepada datuk bentara kiri.

Bentara bertanya suaranya kaku:

“dari mana datang tuan saudaraku

Maka begini tingkah dan laku

Janggal, canggung serta kaku?”

Pahlawan menjawab, seraya berkata:

“dari Aceh datangnya beta

Jika hendak tahukan warta

Bacalah surat, supaya nyata!”

Surat dibuka bentara kiri

Dibaca dihadapan mahkota negeri

Membaca surat sambil berdiri

Suaranya nyaring tiada terperi

Begini konon bunyi suratnya

Pertama memuji kebesaran kerajaanya:

“Raja Aceh besar tahtanya

Datang membawa beribu laskarnya.

Beratus pendekar hulubalang menteri

Laskarpun banyak tiada terperi

Adapun maksud datang ke mari

Hendak merampas tuan puteri.

Waktu dahulu kami meminta

Dengan lemah lembut kami berkata

Beberapa banyak membawa harta

Tiada berhasil juga semata

Disuruh kembali semua utusan

Beserta dengan segala bingkisan

Sekarang ini terima balasan

Putri dimabil dengan kekerasan.

Jika tiada hendak berperang

Baiklah putri serahkan sekarang

Kalau tiada, tentu diserang

Kota dijadikan abu dan arang.

Raja Delitua dua saudara

Gagah berani sudahlah ketara

Silakan keluar dengan segera

Mengadu sekali rakyat tentara.”

Begitulah konon bunyi suratnya

Baginda mendengar sangat marahnya

Merah padam warna mukanya

Tetapi dapat disamarkannya.

Baginda bertitahh gemetar suara:

“Aduhai utusan Aceh negara

Kembalilah engkau dengannya segera

Esok hari mengadu tentara.

Keluar juga aku berperang

Baiklah siap kamu sekarang

Rakyatpun banyak tiadalah kurang

Boleh dilihat mana yang garang.”

Demi mendengar baginda berperi

Pahlawan aceh merasa ngeri

Merekapun lalu bermohon diri

Pergi menghadap raja sendiri.

Setelah sampai ia ketempatnya

Lalu dikabarkan kepada rajanya

Akan jawaban surat dibawanya

Baginda mendengar geram hatinya.

Tersebutlah kisah dalam istana

Baginda mufakat dengan sempurna

Menghimpun laskar di mana-mana

Dengan seketika menderu bahana.

Segala pahlawan bangsa berani

Berkendara di atas kuda semberani

Memakai baju besi kursani

Peluru senapan boleh tertahani.

Setelah hari sianglah tentu

Lengkaplah sudah semuanya itu

Keluarlah laskar dari kota batu

Akan berperang membela ratu.

Apabila sampai ke tengah padang

Kedua pihak sama berpandang

Serunai ditiup dipalu gendang

Masing-masing laskar menghunus pedang

Tempik dan sorak tiada berperi

Segala pahlawan menyeburkan diri

Beramuk-amukan kian kemari

Gajah menderam, kuda berlari.

Merka berperang terlalu amat

Berbunuh-bunuhan tiada terhemat

Banyak terhantar mayatnya umat

Gemuruh sebagai akan kiamat.

Perangnya keras tiada terkira

Banyaklah laskara mendapat cedera

Segala pahlawan Aceh negara

Sebagai harimau kena penjara.

Berperang itu ada seketika

Banyaklah orang mati dan luka

Keduanya pihak bersama murka

Mati dan hidup tiada direka

Setelah hari petanglah pasti

Kedua pihak lalu berhenti

Masing-masing tempat lalu didapati

Dikuburkan segala mana yang mati.

Kata orang empunya peri

Begitulah keadaan setiap hari

Sangatlah susah di dalam negeri

Musuh mengepung kanan dan kiri.

Sungguhpun keadaan serupa itu

Kalah dan menang belumlah tentu

Raja Aceh susah bukan suatu

Karena tiada mendapat bantu.

Setelah genap tiga puluh hari

Raja Aceh menghimpunkan menteri

Tipu muslihat hendak dicari

Supaya kalah Deli negeri.

Setelah berhadir sekaliaanya itu

Lalu bertitah paduka ratu:

“Aduhai wazir, menteri sekutu

Carilah iktibar supaya tentu

Jika keadaan sebagai sekrang

Kalah dan menang belumlah terang

Banyaklah mati panglima perang

Akhirnya kita ditawan orang.

Jika berperang cara begini

Tentu banyak laskar yang fani

Serangan musuh tiada tertahani

Karena mereka sangat berani.

Cobalah cari tipu dan daya

Supaya musuh kena perdaya

Padamu sekalian aku percaya

Asalkan jangan berbuat aniaya”.

Mendengar titah raja sendiri

Masing-masing tunduk berdiam diri

Tipu muslihat juga dipikiri

Akan mengalahkan Delitua negeri.

Ada sekita berdiam diri

Berdatang sembah seorang menteri

“Ampun tuanku mahkota negeri

Suatu ikhtiar patik memberi.

Sebagai tuanku maklumlah sudah

Negeri ini kotanya indah

Pagarnya tinggi bukannya rendah

Memasuki dia tentu tak mudah.

Tambahan laskarnya gagah perkasa

Takut dan gentar tiada merasa

Semuanya perkasa senantiasa

Berani mati atau binasa.

Iktiar patik sebuah saja

Penawan Delitua empunya raja

Tak usah banyak pakai belanja

Ataupun pedang bermata wadja.

Pengaruh uang kita cobakan

Ke dalam meriam kita isikan

Kepada laskarnya kita tembakkan

Tentulah mereka akan memperebutkan.

Baginda mendengar sembah menteri

Hatinya suka tiada terperi

Keliatan mukanya berseri-seri

Iktiar demikian sangat digemari.

Setelah sudah berkata-kata

Baginda menjamu sekalian rata

Tua dan uda adalah serta

Berapa banyak mengeluarkan harta.

Jauh malam sudahlah hari

Masing-masing lalu bermohon diri

Pergi kembali ketempat sendiri

Pekerjaan esok juga dipikiri.

Waktu hari sudahlah terang

Genderangpun lalu dipalu orang

Bersiaplah segalah pahlawan garang

Kepada musuh hendak menyerang.

Ringgit dibawa dalam kereta

Ada kira-kira seperempat juta

Meriam yang besar adalah serta

Karena endak merampas kota.

Apabila sampai ke tengah medan

Kedua pihak lalu berpadan

Berperang seperti orang edan

Tiada sayang nyawa dan badan.

Bedil berbunyi suara menderu

Sebagai hujan datang peluru

Laskar sebagai binatang diburu

Gemuruh bunyinya tempik dan seru.

Waktu orang berperang itu

Raja Aceh ada di situ

Berhenti pada tempat suatu

Empat menteri jadi pembantu.

Meriam yang besar dekat baginda

Beberapa orang sedang menunda

Sepuluh karung ringgpun ada

Dipikul oleh khadam biduanda.

Ke dalam meriam ringgit diisikan

Ke tengah padang lalu dihadapkan

Sumbu ditaruh lalu dibakarkan

Bunyinya dahsyat tiada terperikan.

Di tengah padang ringgit bertebar

Orang melihat hati berdebar

Banyaklah sudah merasa tak sabar

Memegang pedang hatinya hambar.

Sebab melihat demikian pekerti

Datanglah tamak di dalam hati

Tiada lagi pedulikan mati

Asalkan uang boleh didapati.

Laskar Delitua nyata kelihatan

Ke sana ke mari berlompat-lompatan

Memunggut uang berebut-rebutan

Hatinya suka bukan buatan.

Karena mereka tiada melihat

Akan musuhnya punya muslihat

Lagi pikiran belumlah sehat

Tiada memikirkan baik dan jahat.

Begitulah kebanyakan orang sekarang

Melihat uang matanya terang

Meskipun lehernya akan diparang

Berani lenyak setianya kurang.

Orang Aceh melihat begitu

Hatinya suka bukan suatu

Tipunya berhasil sudahlah tentu

Tiadalah perlu meminta bantu.

Demikiranlah hal sehari-hari

Laskar Delitua banyak yang lari

Ada yang masuk ke dalam puri

Persembahkan kepada raja sendiri.

Demi baginda mendengar warta

Iapun sangat berduka cita

Dalam hatinya sudahlah nyata

Tentulah musuh memasuki kota.

Denan hati gundah gulana

Baginda pun masuk ke dalam istana

Berjumpakan saudara muda teruna

Hendak memberi nasihat sempurna.

Setelah sampai ke dalam istananya

Puteri Hijau lalu dipanggilnya

Bersama dengan saudara bungsunya

Lalu berkata dengan mashgulnya:

“Aduhai adinda emas juita

Dengar kiranya kakanda berkata

Jika kalah perangnya kita

Jangan adinda berduka cita.

Serahkan kota bersama diri

Kepada raja Aceh bestari

Moga-moga ditologn Khalikul Bahri

Tiadalah mendapat bahaya ngeri.

Tetapi satu harus dipohonkan

Kepadanya minta buatkan

Sebuah keranda kaca berlapiskan

Ke dalam itu minta masukan.

Apabila sudah samapi ke negerinya

Suruh himpunkan semua rakyatnya

Masing-masing dengan persembahannya

Bertih segenggam sebiji telurnya.

Bila semuanya sudah dikumpulkan

Ke dalam laut suruh buangkan

Bakarlah kemenyan serta doakan

Dengan kakanda minta pertemukan.

Jika ditolong tuhan yang Satu

Bertemulah kita ketika itu

Yang lain dengan harap membantu

Sudahlah permintaan kita begitu.

Baginda berkata dengan masghulnya

Bercucuran dengan air matanya

Kedua saudara dipeluh diciumnya

Sangatlah pilu siapa melihatnya.

Setelah baginda berkata-kata

Keluarlah ia dari dalam kota

Keman tujuannya tiadalah nyata

Seorangpun tiada tahukan warta.

Tingglah putri du saudara

Hatinya pilu tiada terkira

Keduanya menangis perlahan suara

Terkenanglah perkata mahkota negara.

Pada adiknya putri berkata :

“aduhai adinda cahaya mata

Sekrang apa bicara kita

Musuh nan hampir masuk kota.

Pada pikiran kakanda sendiri

Baiklah kita segera lari

Ke dalam hutan menyembunyikan diri

Sebelum musuh sampai ke mari.”

Adinda menjawab suaranya pilu:

“wahai kakanda junjungan hulu

Baiklah kakanda sabar dahulu

Adinda berikhtiar menuntut malu.

Di dalam sitana kakanda menanti

Tetapkan pikiran di dalam hati

Jika adinda tiada mati

Selamatlah kita dengan seperti”.

Putri mendengar kata adiknya

Sangatlah pilu rasa hatinya

Lalu menyapu air matanya

Masuklah ia ke dalam peraduannya.

Menangislah ia tersedu-sedu

Suaranya manis terlalu merdu

Sebagai bunyi buluh perindu

Makin didengar bertambah rindu.

Tinggallah adiknya di tengah istana

Dengan hatinya gundah gulana

Pikirannya melayang ke sini sana

Memikirkan iktiar penolak bencana.

Ia termenung dalam ma’ripat

Pikirannya melayang ke lain tempat

Hendak dipandang tiada sempat

Dengan seketika berubah sipat.

Sudah kehendak tuhan yang Satu

sifatnya berubah ketika itu

menjadi meriam nyatalah tentu

pada laskarnya jadi pembantu.

Ia menembak bersungguh hati

Seketika pun tiada lagi berhenti

Orang Aceh banyaklah mati

Kena peluru meriam yang sakti.

Merekapun undur perlahan-lahan

Karena tiada dapat menahan

Di tengah padang jauh berebahan

Tersiar semacam bahan.

Putri Hijau tersebut kisah

Dalam peraduan berkeluh kesah

Karena hatinya sangatlah susah

Bantala kepalanya habislah basah.

Sangatlah susah rasa hatinya

Memikirkan akan untung nasibnya

Tambahan terkenang ayah bundanya

Bagaikan remuk rasa anggotanya.

Hari malam bulan mengembang

Hatinya makin bertambah bimbang

Terkenang ayah, bunda dan abang

Jika besayap maulah terbang.

Jauh malam sudahlah hari

Ke luarlah ia ke tengah puri

Keliling tempat adiknya dicari

Tiadalah jua bertemu diri.

Herannya ia bukan suatu

Melihat keadaan serupa itu

Saudaranya hilang tiada bertentu

Hanyalah meriam ada di situ.

Iapun lalu kembali ke dalam

Merebahkan diri di atas tilam

Sehinggal sampai semalam-malam

Pikirannya masih merasa kelam.

Kata orang empunya cerita

Waktu hari sianglah nyata

Datanglah musuh mengepung kota

Lengkat dengan alat senjata.

Begitulah juga meriam keramat

Ia menembak terlalu amat

Bagaikan dunia hendak kiamat

Banyaklah musuh tiada selamat.

Dengan kehendak Tuhan yang kaya

Menunjukkan kodrat iradat dia

Meriam itupun habislah daya

Menjadi hina orang yang mulia.

VII. Raja Aceh dengan Putri Hijau

Larasnya putus besinya melayang

Remuk sebagai dimasak loyang

Keliling istan rasa begoyang

Terkejut segala hamba dan dayang.

Bunyi yang dahsyat sudah tiada

Pada musuhnya akan menggoda

Raja Aceh orang yang mudah

Sangatlah suka di dalam dada.

Pinut kota mereka pecahkan

Dengan segera orang hancurkan

Harta rampasan banyak didapatkan

Kepada bendahara semua diberikan.

Tersebutlah perkataan raja Aceh bestari

Sukanya tiada lagi terperi

Masuklah segera ke istana puri

Putri Hijau hendak dicari.

Ke dalam istana sampailah baginda

Bersama menteri mana yang ada

Sangatlah suda di dalam dada

Takut dan ngeri sudah tiada.

Setelah sampai dalam istana

Putri dicarinya ke sini sana

Hatinya suka terlalu bena

Perangnya menang dengan sempurna.

Tetapi putri tiadalah dapat

Rata dicarinya segenap tempat

Karena putri sembunyi cepat

Dalam peraduan bertirai rapat.

Raja Aceh lama mencari

Barulah bertemu dengannya putri

Dalam peraduan membaringkan diri

Wajahnya gemilang berseri-seri.

Demi terpandang oleh baginda

Akan paras putri yang sahda

Iman bergoyang di dalam

Berahinya datang berganda-ganda.

Iapun berdiri dekat peraduan

Peraduannya indah sangat ruapawan

Hatinya geram bercampur rawan

Melihat putri muda perawan.

Waktu putri membuka matanya

Sangatlah terkejut rasa hatinya

Seorang laki-laki masuk ke tempatnya

Belumlah pernah demikian halnya.

Iapun bangun hendakkan lari

Oleh baginda segera dihampiri

Baginda bertanya manis berseri:

“Hendak ke mana adinda putri?

Janganlah tuan bersalah sangka

Pada kakanda orang durhaka

Tiada kakanda gusar dan murka

Adindaku tempat melipurkan duka.

Adinda tempat kakanda bergantung

Mencerahkan nasib bersama untung

Bersama terbenam sama terkatung

Adinda miliki hati dan jantung.

Aduhai adinda rupawan sejati

Janganlah tuan berkecil hati

Kehendak kakanda baik turuti

Menjadi istri dengan seperti.

Sangatlah lama kakanda bercinta

Pada adinda emas juita

Terbayang-bayang diruangan mata

Barulah bertemu tajuk mahkota.

Adindaku tuan muda bestari

Janganlah tuan merasa ngeri

Marilah bersama pulang ke negeri

Adinda kunobatkan menjadi suri.

Haram kakanda akan berdusta

Pada adinda usul yang po’ta

Jika kakanda memungkiri kata

Dikutuk oleh Tuhan Semesta.

Berbagilah pujuk dikatakannya

Beserta dengan lemah lembutnya

Putri mendengar benci hatinya

Tetapi dapat disamarkannya.

Putri menjawab manis berseri:

“Ampun tuanku mahkota negeri

Patik menurut sebarang peri

Nyawa diserahkan bersama diri.

Badan dan jika patik serahkan

Seberang kehendak tuankku lakukan

Menjadi hamba tuanku buatkan

Sedikit tiada patik bantahkan.

Hanyalah sedikit permintaan ada

Pada tuanku usul yang sahda

Jika ada rahim di dada

Harap kabulkan jangan tiada.

Suatu keranda tuanku buatkan

Dari pada kaca tuanku dijadikan

Ke dalamnya itu patik masukkan

Sampai di Aceh baru bukakan.

Sebab permintaan patik begitu

Karena kita belum bersatu

Kulit bersentu harmlah tentu

Hukum syar’a melarang itu.”

Demi baginda mendengar kata

Hatinya sangat bersuka cita

Maksudnya hasil sudahlah nyata

Permintaan putri dikabulkan serta.

Keranda kaca disuruh tempa

Sangatlah elok dipandang rupa

Di masa ini jarang berjumpa

Orang melihat lalai dan alpa.

Tiada saya berpanjang kalam

Setelah hari sudahlah malam

Bagindapun lalu masuk ke dalam

Bertemukan putri muda pualam

Dengan manisnya baginda bermadah:

“aduhai adinda paras yang indah

Keranda itu siaplah sudah

Bilakah waktunya kita berpindah?

Maksud kakan di dalam hati

Jika kiranya adinda turuti

Kita nan baik berangkat mesti

Siap tahun bahaya menanti.

VIII. Putri Hijau Berlayar

Putri menjawab perlahan suara:

“benarlah titah mahkota negara

Jika tiada aral dan amra

Esok hati berangkatlah segera.”

Baginda mendengar kata begitu

Sukanya hati bukan suatu

Kelengkapan disediakan ini dan itu

Inang pengasuhpun siap membantu.

Setelah siang sudahlah hari

Berkemaslah konon tuan putri

Mandi ditanam badan dilangiri

Dalam keranda membaringkan diri.

Setelah musta’id sekaliannya rata
Keranda dimasukkan dalam kereta
Diiringkan laskar sekalian rata
Berdjalan menudju keluar kota.

Angkatan berdjalan dari istana
Alat kebesaran semua terkena
Rakjat mengiringkan semut laksana
Sebagai angkatan maharadja Tjina.

Segala rakjat Deli negeri
Hatinja pilu tiada terperi
Ditinggalkan oleh tuan puteri
Masing-masing duduk berpeluk diri.

Tinggallah negeri tiada beraja
Setiap orang bermenung saja
Laksana puteri bermuram durja
Tiadalah tentu urusan kerja.

Kota dan parit rusaklah sudah
Menjadi belukar taman yang indah
Isi negeri banyak berpindah
Karena hati selalu gundah.

Demikianlah jadinya negeri itu
Bertambah sunyi setiap waktu
Pekan dan pasar rusaklah tentu
Istimewa kota berpagar batu.

Tersebutlah pula kisah angkatan
Beberapa hari melalui hutan
Kemudian berlayar dalam lautan
Jauh dari pada tanah daratan.

Haluan menuju kesebelah utara
Tamberang berdengung, berputar djentera
Kapalnya laju tiada terkira
Sebagai burung atau udara.

Dalam antara beberapa hari
Sampailah kapal ke Aceh negeri
Meriam dipasang kanan dan kiri
Bunjinya terdengar kedalam negeri.

Di Tanjung Jambuair kapal berhenti
Banjak orang datang melihati
Semuanya sangat berbesar hati
Melihat rajanya tiadalah mati.

Pada masa itu ketika
Sabang, Oleleh belum dibuka
Karena masih hutan belaka
Orang melihat belumlah suka.

Itulah sebab mula karena
Makanya kapal berlabuh disana,
Pelabuhan yang lain belum sempurna
Kapalpun banyak dapat bencana.

Adapun akan duli baginda
Menitahkan kelasi yang muda-muda
Menyuruh turunkan sekoci bertenda
Serta kelengkapan mana yang ada.

Setelah musta’id alat semuanya
Bagindapun masuk kedalam biliknya
Pakaian kebesaran lalu dipakainya
Tampan dan gagah akan rupanya.

Pakaian kebesaran setelah dilekatkan
Puteri Hidjau lalu didapatkan
Warta “sampai” baginda kabarkan
Puteripun diam kepala ditundukkan.

Bagindapun lalu mengulang kata:
“Aduhai adinda, puteri juita,
Kenegeri Aceh sampailah kita,
Marilah turun bersama serta!”

Puteri mendjawab suara perlahan:
“Ampun tuanku raja pilihan
jika ada rahim kemurahan
Haraplah patik dapat kasihan.

Kalau tuanku senang dihati
Permintaan patik adalah pesti
Rakyat Aceh hendak kulihati
Supaja patik mengetahui nanti.

Titahkan mereka datang kemari
Ditepi pantai menunjukkan diri
Serta membawa anak dan isteri
Supaya patik melihat sendiri.

Masing-masing membawa persembahannya
Segenggam bertih, sebiji telurnya
Tiap-tiap seorang demikian halnya
Ditepi pantai kumpul semuanya.

Demikian permintaan patik yang leta
Harap dikabulkan oleh sang nata
Jika menolak duli mahkota
Kedarat patik takkan serta!”

Baginda mendengar perkataan puteri
Merasa heran hati sendiri
Belumlah pernah ‘adat dinegeri
Membawa persembahan demikian peri.

Meskipun permintaan luar biasa
Tiada baginda panjang periksa
Dikerjakan orang kota dan desa
Membawa persembahan dengannya paksa.

Berhimpunlah orang dusun dan kota
Membawa persembahan sekalian rata
Seorang sebiji telur yang nyata
Bertih segenggam adalah serta.

Ditepi pantai semua dilonggokkan
Banyaknya tiada lagi terperikan
Apabila semuanja sudah dilengkapkan
Kedalam laut disuruh buangkan.

Telur dan bertih dibuangkan orang
Banyakna tak dapat dikira terang
Memutih sebagai bunganya karang
Berhanyutan sampai ketanah Seberang.

IX. Putri Hijau Dilarikan Naga

 Banyaklah orang heran dihati
Melihat perbuatan demikian pekerti
Karena belum pernah dilihati
Pekerdjaan aneh nyatalah pasti.

Setelah mengerjakan perintah rajanya
Masing-masing orang kembali ke rumahnja
Ada jang bertanya pada sahabatnya
Perbuatan demikian apakah maksudnja.

Puteri Hijau usul yang sahda
Waktu ditinggalkan oleh baginda
Iapun keluar dari dalam keranda
Kemenyan diambil puteri berida.

Kemenyan dibakar dengannya segera
Asapnya mendulang atas udara
Sambil menangis perlahan suara
Disebut-sebutnya nama saudara.

“Aduhai kakanda junjungan hulu
Manalah janji kakanda dahulu
Kita nan sudah mendapat malu
Adinda ditawan Aceh penghulu.

Waktu dahulu janji kakanda
Hendak menolong pada adinda
Sekarang ini beginilah ada
Kita nan sudah porak poranda.

Wahai kakanda raja yang sakti
Dimanakah tempat kakanda menanti
Ambillah adinda kemari pesti
Bersama hidup, bersama mati.

Kakandaku tuan mahkota negeri
Segeralah kakanda datang kemari
Ambil adinda bawalah lari
Hatiku takut masuk ke negeri.

Jika kakanda tiada membantu
Adinda mati sudahlah tentu
Hatiku hancur bukan suatu
Umpama kaca jatuh ke batu.

Dari pada bersuami dengan dipaksa
Relalah adinda jadi binasa
Hidup begini tiada kuasa
Menjadi tawanan di lain desa.”

Dengan kodrat Tuhan semesta
Waktu putri sedang meminta
Haripun jadi gelap gulita
Gelombangpun besar badaipun serta.

Turunlah angin terlalu kencang
Kapal yang besar sampai berguncang
Perahu karam sekoci dan lancang
Maksud baik menjadi pincang.

Langit kelihatan hitam bermega
Angin, gelombang bertambah juga
Banyaklah kapal jadi berlaga
Umpama telur di dalam raga.

Bannaklah kapal jadi terdampar
Ke atas pantai sebagai dilempar
Karena angin datang menampar
Ketika itu sangatlah gempar.

Dalam rebut bukan buatan
Kedengaran menderu dalam lautan
Seekor naga nyata kelihatan
Sangatlah besar menuju buritan.

Naga itu datang menghampiri
Kedekat kapal tuan putri
Orang di kapal habislah lari
Tinggallah putri seorang diri.

Takutnya putri bukan sedikit
Melihat naga umpama bukit
Tiadalah dapat hendak berbangkit
Badannja gemetar merasa sakit.

Waktu naga dekatlah sudah
Putri menangis tunduk tengadah
Hendak lari tiadalah mudah
Ke dalam keranda ia berpindah.

Ia berbaring dalam keranda
Takut dan ngeri semuanya ada
Gemuruh bunyinya darah di dada
Orang menolong haram tiada.

Karena orang sudahlah lari
Masing-masing pergi membawa diri
Begitupun juga raja bestari
Tiadalah ingat kepada puteri.

Puteri berbaring mata dipejamkan
Kepada Allah diri diserahkan
Dari pada bahaya minta lindungkan
Diamlah ia akhir dinantikan.

Nagapun segera datang mendapatkan
Kepada kapal badan dirapatkan
Kepala diangkat ekor dikipaskan
Kapalpun berpusing air diturutkan.

Kepala berpusing umpama roda
Habislah koyak layar dan tenda
Berpelantingan segala barang yang ada
Habislah hilang harta dan benda.

Di tengah lautan naga mengambang
Melihat kapal dipermainkan gelombang
Segala tiangnya habislah tumbang
Orang melihat sangatlah bimbang.

Iapun mengangkat kepalanya tinggi
Kepada kapal mengempas lagi
Dengan ekornya kapal dibagi
Kapalpun hancur umpama ragi.

Ketika itulah kapal binasa
Dikaramkan oleh naga perkasa
Hanyalah keranda aman sentosa
Tempat berbaring putri berbangsa.

Keranda terapung tiadalah tenggelam
Kelihatan puteri berbaring di dalam
Wajahnya bersih umpama nilam
Sebagai bulan diwaktu malam.

Dalam hal macam begitu
Nagapun membawa keranda itu
Dijunjung keranda putri ratu
Berenang segera ujud tak tentu.

Nagapun berenang terlalu cepat
Dipandang mata haram tak sempat
Ditengah lautan sebagai melompat
Cepatnya makin berganda lipat.

Antara tak lama naga menjelam
Bersama keranda lalulah tenggelam
Bagaimana ackirnya wa’llahu ‘alam
Sampai sekarang tinggallah kelam.

Riwayat beralih, berganti cerita
Tidak berapa lama antara
Setelah naga menyelam segara
Hujan dan angin teduhlah segera.

Radja Aceh muda bangsawan
Tinggallah ia berhati rawan
Siang dan malam igau-igauan
Terkenanglah puteri muda rupawan.

Adapun halnya sehari-hari
Duduk bermenung seorang diri
Tiadalah pernah ke balairung sari
Selalu teringat kepada putri.

Sesal hatinya tiada terderita
Karena puteri hilang dimata
Duduklah ia dengan bercinta
Tidur bertilam si air mata.

Sekarang apa hendak dikata
Kehendak Tuhan ‘alam semesta
Sudah ditangan yang dicinta
Karena tak djodoh, lenyap dimata.

X. Syair Akhirulkalam

 Sampai di sini syairpun tamat
Sajaknya banjak tak betul amat
Mengarangkan dia habislah cermat,
Pinggang dan tengkuk rasanja lumat.

Sedikit saja saya pohonkan,
Pada pembaca atau yang mendengarkan

Jikalau ada salah didapatkan
Ampun dan maaf tolong berikan.

Maklumlah saya bukan pengarang
Ilmu didada sangatlah kurang
Hina dan miskin bukan sembarang
Dari dahulu sampai sekarang.

Abdul Rahman namanya saya
Sangatlah da’if tiada upaya
Sedikit tiada mempunyai daya
Harapkan rahim Tuhan jang kaya.

Akhirulkalam saya berperi
Tangan diangkat sepuluh jari
Sembah diaturkan kanan dan kiri
Ampun dan maaf mohon diberi.

  Tamat

SEJARAH KERAJAAN LANGKAT

Teromba Kesultanan Langkat menyatakan bahwa nama leluhur dinasti Langkat yang paling awal adalah Dewa Syahdan. Diperkirakan masa kekuasaannya tahun 1500 sampai 1580. Menurut teromba Langkat, Dewa Syahdan datang dari arah pantai yang berbatasan dengan Kerajaan Aceh. Ia menjadi anak beru dari Sibayak Kota Buluh di Tanah Karo. Kemudian ia dikenal dengan gelar Sibayak Si Pintar Ukum oleh orang-orang Karo, menurut pihak Karo ia marga Perangin-angin Kuta Buluh. Ia mempunyai regalia rantai emas buatan Aceh buatan dan kain Minangkabau. Tiada berapa lama kemudian ia turun ke Deli Tua, kemudian ia pindah ke Guri atau Buluh Cina sekarang.

Dewa Syahdan mempunyai seorang putra bernama Dewa Sakti. Ia bergelar Kejeruan Hitam. Ada pendapat yang menyatakan ialah “Indra Sakti” adiknya Putri Hijau di Deli Tua yang diserang Aceh. Dewa Sakti mangkat digantikan oleh putranya, yang setelah mangkatnya bergelar Marhom Guri (mungki sekali di Merah Milu kepada orang haru yang menentang Sultan Aceh Saidi Mukamil). Dimakamkan di Buluh Cina, Hamparan Perak sekarang. Dewa Sakti hilang raib kemungkinan tewas dalam penyerangan Aceh, peristiwa penyerangan ini diperkirakan pada tahun 1539.

Marhom Guri digantikan oleh putranya Raja Kahar (1673); anak-anaknya yang lain ialah Sutan Husin keturunan bangsawan Bahorok dan seorang putri bernama Dewi Tahrul. Raja Kahar pendiri Kerajaan Langkat dan berpusat di Kota Dalam, daerah antara Stabat dengan Kampung Inai, kira-kira pertengahan abad ke-18. Ia dimakamkan di Buluh Cina juga. Raja Kahar berputra Badiulzaman bergelar Sutan Bendahara, seorang yang berpribadi kuat dan denagn cara damai telah memperluas daerahnya. Ia dimakamkan di Punggai, bergelar Marhom Kaca Puri.

Badiulzaman mempunyai 4 orang anak laki-laki yaitu Kejeruan Tuah Hitam, Raja Wan Jabar yang mendirikan Selesai, Syahban di Punggai dan Indra Bongsu yang tetap bersama Kerjeuran Hitam tinggal di Kota Dalam.

Keempat orang putra ini membantu ayahandanya memerintah dan bolehlah dikatakan masing-masing sebagai Orang-orang Besar. Ketika Badiulzaman meninggal dunia ia digantikan oleh putranya yang tertua Kejeruan Tuah Hitam. Ia menetap di Jentera Malai, sebauh kampung dekat Kota Dalam.

Keempat bersaudara ini memerintah dengan otonomi masing-masing dengan Kejeruan Hitam sebagai pemimpin tertinggi hingga memasuki abad ke-19 (menurut sumber Belanda pada peristiwa Siak menyerang dan menaklukkan Langkat peristiwa itu pada tahun 1815).

Menurut Anderson (1823, Mission to the Eastcoast of Sumatra) Kejeruan Tuan Hitam beberapa bulan yang lalu (1823) bergabung dengan Sultan Panglima Mangedar Alam dari Deli untuk merebut pemerintahan kembali dari tangan Siak dan pergi ke Deli untuk keperluan itu geuna mendapatkan bantuan manusia, senjata dan amunisi. Setelah memperoleh bantuan lalu ia menghilir sungai Deli untuk dibawa ke Langkat. Ia membawanya bersama kawannya bernama Banding. Namun, ketika menghilir membawa bantuan itu setejulah misiu meledak karena diletakkan tidak pada tempatnya. Tatkala itu merekapun sedang asik mandi. Akibat dari ledakan misui itu menewaskan mereka. Putra yang tertua, Raja Bendara (Nobatsyah), seorang pemuda yang cekatan, bertekad merebut pemerintahan denan bantuan Sultan Panglima dari Deli. Oleh karena itu perdagangan di negeri ini banyak terganggu sehingga perkelahian antara Kepala-kepala Daerah pun tetap terjadi.

Setelah Badiulzaman meninggal dunia, mulailah lahir daerah-daerah lain di Langkat, kira-kira pada akhir abad ke-18. Seperti setelah dibentangkan di atas, Langkat ditaklukkan oleh Siak. Untuk jaminan kesetiaan Langkat, 2 orang putra Langkat, yaitu putra dari Kejuruan Tuah Hitam, bernama Nobatsyah, dan seorang putra dari Indra Bongsu, Raja Ahmad, dibawalah ke Siak untuk diindroktrinasi.

Di Siak mereka dikawinkan dengan putri-putri Siak. Nobatsyah kawin dengan Tengku Fatimah dan Raja Ahmad kawin dengan Tengku Kanah. Perkawinan Raja Ahmad inilah melahirkan seorang putra bernama Tengku Musa atau juga disebut Tengku Ngah. Oleh Sultan Siak jelas-jelas ditekankan bahwa yang akan menaiki tahta Langkat haruslah putra dari Nobatsyah dan kelak yang akan memakai gelar Alamsyah. Tiada berapa kemudian Nobatsyah dan Ahmad dikembalikan ke langkat. Mereka bersama-sama memerintah di Langkat, yang pertama dengan gelar Raja Bendahara Kejeruan Jepura Bilad Jentera Malai (Nobatsyah anak pertama Kejeruan Tuah Hitam), sedangkan yang kedua bergelar Kejeruan Muda Wallah Jepura Bilad Langkat (anak Indra Bongsu adik ketiga Kejeruan Tuah Hitam).

Sementara itu salah seorang putra dari Raja Wan Jabar (anak kedua Badiulzaman), saudara sewali dari Raja Bendahara Nobatsyah dan Kejeruan Muda Ahmad, telah menetap di sana Siabat-abat (Stabat) dan menjadi Raja di Stabat. Seperti diketahui anak Raja Wan Jabar (Selesai) antara lain ialah Raja Wan Desan (menetap di Bingai), Tuanku Wan Soapan bergelar Sutan Japura menjadi Raja di Stabat, Wan Syah tinggal di Selesai dan Raja Wan Johor. Tiada berapa lama terjadilah perebutan kekuasaan antara Raja Bendahara Nobatsyah dengan Kejeruan Muda Ahmad pada tahun 1820.

Raja Bendahara Nobatsyah mempunyai saudara Raja Badaruddin, keturunannya antara lain Tengku Mat Isa kelana yang pinda ke Deli, manakala seorang saudara perempuan bernama Tengku Seri Deli yang kawin dengan Tuanku Zainal Abidin (Tengku Besar dari Serdang).

Di dalam perebutan kekuasaan itu, Nobatsyah dibantu oleh saudaranya Badaruddin, Tengku Panglima Besar Syahdan (anak dari Raja Syahdan Pungai), dan dibantu oleh iparnya Tuanku Zainal Abdidin (Serdang). Dipihak Kejeruan Muda Ahmad ialah semua anak-anak dari Raja Wan Punggai dan Selesai. Di dalam pertermpuan yang terjadi antara kedua pihak ini di Punggai, tewaslah Tuanku Zainal Abidin Serdang dengan 40 lebih orang pahlawan-pahlawan dari Serdang sehingga ia digelar “Marhom Mangkat di Punggai”.

Menurut riwayat pertempuan kedua belah pihak ini, sedikit banyaknya adalah atas ‘permainan’ Stabat, yang merasa bahwa bukan Nobatsyah atau Ahmad tetapi Stabatlah yang berhak menjadi raja di Langkat. Kemudian Raja Bendahara Nobatsyah mati terbunuh. Di Bingai Raja Wan Desan bin Raja Wan Jabar menjadi Kejeruan. Ketiak matinya Raja Bendahara Nobatsyah, maka Kejeruan Ahmad-lah satu-satunya yang memimpin Langkat dan diakui oleh Siak.

Pada mulanya ia membuat peraturan-peraturan di mana Raja-raja Selesai, Stabat, Bahorok dan Bingai mendapat otonomi luas. Di Bahorok oleh Kejeruan Muda Ahmad diangkat salah satu seorang anggota keluarganya menjadi Kejeruan, karena dengan mempunyai status kemerdekaannya yang luas di Bahorok adalah meruaka taktik politik karena Langkat terus menerus terancam oleh serangan-serangan dari Gayo dan Alas di wilayah Aceh, dan Bahorok haruslah menjadi buffer state. Kemudian berikut menyusul periode kelahiran sesama Kejeruan yang ingin berpengaruh. Dalam situasi ini Stabat muncul sebagai tokoh yang penting. Bahorok dan Selesai melihat saja tanpa daya akan bertambah pengaruh Stabat. Oleh karena Stabat menjadi begitu penting sehingga dapat menjalankan hegemoni di atas daerah-daerah lain. penduduk-penduduk Jentera Malai, Kota Dalam dan Selesai tidak senang atas perintah Stabat ini dan banyak yang mengungsi ke daerah pesisir di mana mereka membaut kampung-kampung baru dan meminta bantuan dari Siak agar mengamankan kembali keadaan seperti semula.

Dalam pada itu Kejeruan Muda Ahmad telah meninggal dunia termakan racun. Teringatlah orang bahwa di Siak masih tinggal putra dari Nobatsyah, tetapi telah pula meninggal dunia di Siak, dan Sultan Siak pun menetapkan putra Kejeruan Mudah Ahmad bernama Tengku Musa sebagai pengganti Raja Langkat. Tengku Musa kemudian berangkat ke Langkat dan menetap di Kota Dalam.

Kemudian daerah Langkat ini terus menerus menjadi tonil dari pertempuran-pertempuran dengan Aceh. Medan pertempuran itu daerah Besitang. Sejak pertengahan abad ke-18 di Besitang didatangi oleh penduduk orang Aceh, Gayo dan orang-orang melayu dari Malaya yang menetap di sepanjang Sungai Besitang. Adapun kepala daerah yang pertama berasal dari Aceh. Tiada berapa lama Besitang juga berada di bawah pengaruh Langkat.

Datuk Besitang pernah membantu Raja Langkat dalam pertempuran terhadap Stabat. Ini tentu terjadi kira-kira semasa pemerintahan Kejeruan Muda Ahmad di Langkat. Tampaknya perang yang terus menerus dengan Aceh, terutama terhadap Wakil Aceh yang ada di Tamiang menyebabkan bahwa Besitang, yangkemudian juga meliputi Salah Haji dan sekitarnya, makin lama makin kuat menyatukan diri dengan Langkat dan berada di bawah bendera Langkat. Anderson dalam kunjungannya ke Langkat di tahun 1823 itu telah menuliskan bahwa Kejeruan Besitang mengakui Langkat sebagai tuannya. Tiada berapa lama setelah matinya Kejeruan Muda Ahmad, maka Kejeruan Stabat pun meninggal dunia pula. Ia digantian anaknya Sutan Muhammad Syekh alias Matsyekh.

Sutan Matsyekh dapat membujuk Kejerusan Selesai agar Tengku Musa bersedia kawin dengan saudari perempuan Matsyekh. Ia berusaha menyampingkan Tengku Musa dengan menggelarnya Raja Muda. Kejeruan Selesai diberinya gelar Bendahara. Kelihatan maksud ini akan tercapat, tetapi Tengku Musa sadar kembali setelah istrinya itu meninggal berapa lama kemudian. Kemudian ia berusaha keras mengatasi tekanan Matsyekh. Sementara itu Musa dapat mengabil alih pimpinan Langkat dengan bantuan Siak. Tengku Musa ini mempunyai kepribadian yang sangat kuat dan oleh orang Langkat ia dianggap sebagai pembangun daerah Langkat hingga kini. Pada mulanya ia memakai titel Sutan Bendahara. Kemudian kira-kira pada tahun 1840 Tengku Musa mengawini anak Datuk Hamparan Perak dan mendapat titel dari Deli Pangeran Mangku Negara Raja Muda Negeri Langkat.

            Menurut sumber Langkat yang sekarang, Langkat tidak pernah berada di bawah Deli, tetapi menurut sumber lain adapaun gelar Mangku Negara Raja Muda Langkat tadi yang mula-mula dipakai Tengku Musa dan diperolehnya dari Deli itu menyatakan bahwa dalam menghadapi perlawanan-perlawanan di wilayahnya, Tengku Musa tidak lagi dapat mengaharapkan bantuan dari Siak, sebagai di Siak pun sedang kusut keadaannya. Itulah diceritakan bahwa Langkat pernah memimnta bantuan dari Deli dan berada di bawahnya. Peristiwa ini terjadi setelah Tengku Musa kawin denagn putri Datuk Hamparan Perak atau Buluh Cina, yaitu Seri Ahmad satu bagian yang takluk kepada Kesultanan Deli.

Ada alasan untuk percaya bahwa ambisi Matsyekh diperkendor. Oleh karena, Matsyekh pun ada berhubungan keluarga dengan Deli, dan Deli pun menyokong Matsyekh karena ia kawin dengan saudara perempuan Sultan Deli. Sejak semula datangnya Tengku Musa terus menerus bertempur dengan orang-orang Aceh. Ia banyak mendapat bantuan dari Besitang. Pada awal pemerintahan Musa lahirlah Distrik Lepan. Pada waktu itu datanglah ke Langkat seorang Alas dengan beberapa anak buahnya, kedatangan ini rupa-rupanya karena ia menderita kekalahan di dalam perselisihan dengan saudaranya untuk memeperbutkan salah satu daerah di Tanah Alas. Sesampainya di Langkat ia dikenal sebgai salah seorang kepercayaan Tengku Musa.

Alas memohon sebidang tanah untuk menetap, dan Tengku Musa melihat ini suatu kesempatan baik untuk menarik keuntungan dan menyerahkan kepadanya daerah Lepan. Pada waktu itu daerah Lepan belum didiami orang. Di sini orang Alas itu diangkatnya menjadi kepada derah denagn syarat supaya ia sedaya upaya membantu Langkat menangkis serangan-serangan dari orang Aceh. Pada tahun 1854 Aceh kembali kuat sehingga kembali menyerang Langkat dan Tengku Musa terpaksa tunduk mengakui kekuatan Sultan Aceh. Oleh Sultan Aceh, Tengku Musa diberi gelar Pangeran Indra Diraja Amir Pahlawan Sultan Aceh. Hal ini terjadi sampai sekitar tahun 1860. Namun kekuasaan Pangeran Musa atas kepala-kepala Daerah Langkat lainnya lebih banyak dalam siasat daripada kenyataannya. Musa pun terus menerus berperang dengan raja-raja kecil. Bahorok dianggapnya wilayah terkuat sehingga ia terpaksa membuat perjanjian tidak saling serang, Bahorok pun dalam kedudukannya setingkat dengan Langkat.

Hal yang menarik adalah, dalam perjanjian ini dipakainya cap dari Sultan Aceh di atas cap Pangeran Langkat. Bukan tidak mungkin bahwa Pangeran Langkat dalam hal ini bertindak atas suruhan Sultan Aceh dan bukan dengan kehendak sendiri untuk membuat perjanjian, yang justru merendahkan derajatnya yang harus setingkat dengan Bahorok.

Taktik sedemikian tampaknya pernah dipakai Aceh ketika dahulu Kejeruan Muda Ahmad memberikan kemerdekaan kepada Bahorok, yaitu bahwa Aceh membuat daerah Bahorok ini sebagai perisai terhadap rencana-rencana yang membahayakan dari Tengku Mus di masa depan. Stabat pun juga membaut Pangeran Musa tetap dalam kesulitan antara lain dengan Stabat bekerja sama denan Wakil Sultan Aceh di Tamiang, yaitu Tuanku Hasyim, untuk membuat suatu pemberontakan yang kiranya dapat ditundukkan Pangeran Langkat dengan keras. Tuanku Hasyim yang mempunyai pengaruh sampai jauh ke dalam daerah Langkat menetap di Pulau Kampai. Selesai sendiripun tidak mau ketinggalan dan mulai menahan perahu-perahu dagang kepunyaan Pangeran Langkat dan menyita barang-barangnya apabila Pangeran Musa Langkat tidak memberikan konsesi-konsesi yang diinginkannya. Akhirnya setelah tersudut demikian, maka Pangeran Musa Langkat tidak mempunyai jalan selain meminta bantuan dari Siak karena pososnya di Langkat pada waktu itu lemah.

Dalam hal di atas, mesti diketahui bahwa perkembangan situasi disekitar wilayah Tengku Musa/Pangeran Musa di Langkat, sedang dalam musim pancaroba.

Pertama, perebutan kursi kerajaan antara Tengku Musa dengan Matsyekh, sebagai yang sudah disinggung di atas. Kedua, kegiatan beberapa raja kecil lain untuk mendapat atau mempertahankan kedudukannya. Dan ketiga, pergulatan Aceh dan Siak (sesuai kontrak Siak-Belanda tanggal 1 Februari 1858), dari pergulatan itu di mana terjadilah kegiatan masing-masing dalam melancarka siasatnya untuk menguasai perkembangan politik di Langkat. Tengku Musa adalah beribu dari Siak, dibesarkan dan didik di Siak. Tidak mengherankan bahwa ia tidak akan pro Aceh. Peristiwa ini terjadi dalam rangka kegiatan Belanda untuk merongrong wilayah Aceh bagian pantai terjauh di sebeleh Timur Sumatera. Maka terasalah bahwa kekusutan di sana bertalian dengan tujuan itu, dan kesibukan di sanapun tidak berdiri sendiri pula. Serta merta Pangeran Langkat menumpahkan perhatian terhadap Tamiang.

Alasan Pangeran Langkat bahwa ia berkuasa terhadap Tamiang adalah karena seorang kejuruan di Seruwai (bagian hilir Tamiang) berasal dari penduduk Besitang. Sedangkan Besitang adalah wilayah Langkat dengan kata lain, daerah Besitang yang dimiliki oleh Pangeran Langkat itu hendak diperluas wilayahnya sampai ke Seruwai atau Tamiang. Menurut sejarahnya tidaklah benar. Ketika Anderson melawat ke Sumatera Timur (1823) dia telah langsung ke Tamiang. Ketika itu Anderson menemui tiga pemerintahan Kejeruan, yakni pertama Kejeruan Karang terletak di sebelah kanan Sungai Tamiang menghadap mudik, kedua Kejeruan Muda yang teletak di sebelah kiri Sei Tamiang menghadap mudik, dan ketiga Kejeruan Muda yang terletak di sebelah kiri Sei Tamiang menghadp mudik. Maka kata Anderson, puluhan tahun sebelum ke sana, Tamiang pernah ditaklukkan oleh Siak. Namun Siak tak sanggup menguasainya, tidak mendudukkan pembesarnya di sana, sehingga dengan demikian setelah penyerbuan Siak maka Tamiang balik lagi sebagai sediakala berdiri di bawah kedaulatan Aceh.

Mengenai orang yang dimaksud asal Besitang mejadi raja di Seruwai, menurut ceritanya ialah bahwa kira-kira antara tahun 1824 dan 1834 pantai di sebelah kiri Sei Tamiang telah menjadi kampung yang ramai didatangi orang-orang Aceh. Kampung itu ialah Seuwai, masuk bagian Karang. Atas persetujuan Kejeruan Karang penduduk Kampung Seruwai mengangkat kepala mereka seorang terkemuka dari Besitang bernama Panglima Deli. Dalam beberapa waktu telah terjadi persengketaan ini. Panglima Deli membantu Kejeruan Karang. Itulah asalnya maka Panglima Deli diakui oleh Kejeruan Karang dan memebenarkan menjalankan pemerintahan otonomi di Seruwai.

Perkara di atas, tentulah tidak otomatis begitu saja. Pangeran Langkat mengatakan bahwa Tamiang masuk bagiaanya. Bahkan pegangan yang lebih teguh dari itu membuktikan pula sebaliknya, bukan Tamiang masuk Besitang, tetapi Besitanglah yang sudah pernah merupakan bagian dari Raja Tamiang. Pada akhir abad ke-18, ketiak Teuku Cut bagam mejadi raja di Tamiang, dia telah mengahadiahkan Besitang kepada mertuanya yang bernama Mujut, hadiah itu sebagai mas kawin.

Mujut berasal dari Aceh. Sesudah Mujut meninggal dunia, digantikan oleh anaknya bernama Panglima Sijit. Tidak berapa lama kemudian, Tengku Musa pun berhasil menaiki kursi Panglima Langkat. Salah satu usaha untuk menguatkan kedudukannya, Panglima Langkat dibantu oleh adik Panglima Sijit di Besitang, bernama Manja Kaya Jaya, menjadikan Pangeran langkat berhasil melumpuhkan bahaya perlawanan Matsyekh (Stabat). Tidak mengherankan bahwa tidak lama kemudian, setelah Panglima Sijit, Manja Kaya Jaya-lah yang dilantik oleh Pangeran Langkat menggantikan Panglima Sijit menjadi Datuk Besitang.

Telah diceritakan di atas bahwa pada tahun 1854 telah datang ke Sumatera Timur armada Aceh sekitar 200 perahu perang dipimpin oleh Panglima Husin. Panglima ini adalah putra Sultan Mansur Syah sendiri. Kedatangan armada ini untuk memulihkan kekuasaan de facto Aceh kembali dan untuk mengkonsolidasikan negeri-negeri di daerah tersebut, terutama dalam rangka menghadapi kegiatan Belanda yang sedang sibuk merongrong daerah wilayah Aceh di sebelah barat. Selain itu, membuat ketentuan semula tentang wilayah Aceh dibagian Timur hingga Pasir Putih Ayam Denak. Dapat dikatakan bahwa kedatagan Husin adalah sebagai pameran bendera, sebab perlawanan tidak ada. Bahkan sebaliknya, raja-raja di Sumatera Timur kemudian menyetujui kedaulatan Aceh dan Aceh mengangkat Tengku Musa dengan gelaran Pangeran Indra Diraja Amir Pahlawan Aceh. Pangeran dianugerahi cap sembilan (cap sikureing). Selanjutnya dalam ekspedisi ke Deli, Pangeran Husin dapat menginsyafkan Sultan Osman. Osman diakui Aceh sebagai Sultan Deli dan ‘Wakil Sultan Aceh’. Baik Deli maupun Serdang keduanya mendapat cap sembilan. Sultan Basyaruddin Serdang diangkat menjadi ‘Wazir Sultan Aceh’ (1854).

Peristiwa kegiatan Aceh ini didengar dengan penuh gelisah oleh Belanda di Batavia. Rencana perongrongan atas wilayah Aceh dibahagian terjauh di Pantai Timru Sumatera telah menghadapi imbangan. Dalam rangka mengatasi itu, Belanda cepat-cepat mengadakan tekanan kepada Siak, pada waktu itu dalam keadaan lemah untuk mengikat perjanjian politik dengan Belanda (1 Februari 1854). Disamping itu, Siak disuruh menyatakan bahwa wilayahnya ke Barat adalah sampai Tamiang. Muhammad Said, menulis bahwa Pangeran Langkat merasa perlu mendapatkan jaminan kedudukannya di kemudian hari.

Dengan sendirinya, perkembangan di Sumatera Tirmu umumnya dan di Langkat khususnya, mendapat perhatian penuh dari Sultan Ibrahim Mansyur Syah, Sultan Aceh. Setelah Siak menandatangani perjanjian dengan Belanda 1854, Sultan Aceh mengatur persiapan untuk mengatasi persoalan di Sumatera Timur. Seorang pemuda bangsawan yang terkenal gagah dan cakap di Aceh, Tuanku Hasyim, mendapat tugas istimewa dari Sultan Aceh untuk berangkat ke Sumatera Timur menyelesaikan dan menguasai keadaan di sana. Tuanku Hasyim disebut juga Tuanku Rayeu, anak Tuanku Kadir anak Tuanku Cut, dan seterusnya sampai 1795. Nama Tuanku Hasyim mashur dalam perjuangan melawan agresi Belanda di Aceh hingga puluhan tahun kemudian sampai wafatnya pada juni 1897.

Tugas yang diberikan sultan Aceh kepada Tuanku Hasyim ke Sumatera Timur mengandung ketentuan bahwa dia mejadi wakil Sultan Aceh untuk Sumatera Timur dengan wilayah wewenangnya Tamiang, Langkat, Deli, dan Serdang. Seiring dengan ketentuan tersebut ditentutkan pula wewenang untuk Sultan Ahmad Syah Sultan Asahan. Ia adalah wakil untuk Sultan Aceh wilayah Asahan, Panai, Bilai, Kota Pinang, Kualuh, dan Batubara.

Dibagian lain telah disinggung Seruwai diperintah Panglima Deli asal Besitang. Setelah dia meninggal, dia digantikan oleh putranya Raja Bendahara. Raja Bendahara tidak ingin takluk kepada Pangeran Langkat. Ketika itulah Pangeran Langkat mencoba menguasai Seruwai dan menjatuhkan Raja Bendahara. Untuk itu Pangeran Langkat mencoba menguasai Seruwai dan menjatuhkan Raja Bendahara ke Seruwai dengan menjepitnya dari Pulai Kampai. Akhirnya Raja Bendahara dapat ditaklukkan. Dia ditangkap beserta anak laki-lakinya, dan dibawa ke Langkat. Adik Raja Bendahara bernama Sutan Suman diangkat menggantikan kekuasaannya.

Tidak berapa lama Sutan Suman mejadi raja dia pun meninggal, dan digantikan oleh anaknya bernama Sutan Muda yang tentunya sesuai dengan kemauan Pangeran Langkat. Tidak lama Raja Bendahara yang ditahan akhirnya meninggal dunia di Langkat. Untuk menghilangkan kekusutan, Pangeran Langkat mencoba mengatasi denagn jalan mengangkat anak raja Bendahara untuk menjadi raja muda di bawah Sutan Muda yang memerintah di Seruwai.

Peristiwa tersebut merupakan suatu perkembangan baru yang tidak dapat dibiarkan oleh Tuanku Hasyim. Tapi sebelum bertindak tegas, Tuanku Hasyim menggunakan kebijaksanaan. Dia berhasil mengawini putri Pangeran Langkat bernama Tengku Ubang. Dalam situasi seperti ini Pangeran Langkat menjadi mudah terpengaruh, namun kepentingan dirinya dan ambisinya lebih kuat dorongannya. Ini disadari oleh Tuanku Hasyim, dan Tuanku Hasyim mengetahui bahwa sewaktu-waktu ada kemungkinan kelak bahwa mertuanya akan meminta bantuan kepada Siak jika kepentingan Pangeran Langkat menginkan hal itu. Karena itu pula Hasyim memperhatikan gerak-gerik Sutan Muhammad Syekh, Kejeruan Stabat imbangan Pangeran Langkat. Sutan Muhammad Syekh (Matsyekh) dapat pula diinsyafkan untuk jangan mau dijajah oleh Belanda.

Demikianlah sebagai kenyataan dalam perkembangan selanjutnya. Matsyekh telah berjuang mempertahankan Langkat aar jangan sampai jatuh ke tangan Belanda. Pada tahun 1860, Tuanku Hasyim sudah mulai berhasil atas tindakannya di Langkat. Pulau Kampai sebagai pelabuhan yang strategis perlu dipersiapkan dalam menghadapi kemungkinan kemungkinan melawan serangan Belanda. Kebetulan persiapan tersebut berjalan lancar. Kejeruan Pulau Kampai dipegang oleh seorang Aceh yang diangkat oleh Cut Bagam, Raja Tamiang. Setelah dia meninggal, anaknya bernama Nya’Asan menggantikannya. Nya’Asan mendukung Hasyim sepenuhnya.

Di Tamiang, Tuanku Hasyim menjatuhkan Sutan Muda yang pro Pangeran Langkat. Tuanku Hasyim mengangkat anak Raja Bandara menjadi Raja di Seruwai. Suasana sedemikian mudah bagi Tuanku Hasyim yang menguasi Langkat dengan bantuan Matsyekh. Untuk keselamatan diri Pangeran Langkat pergi ke Tamiang. Tamiang diperintahkan oleh 4 Orang Raja, yakni:

  1. Raja Bendahara Seruwai, di tepi pantai sebelah sungai Tamiang menghadap ke Hulu.
  2. Kejeruan Karang memerintah di Hulu sebelah Simpang Kanan.
  3. Sutan Muda memerintah sebelah kiri Tamiang menghadap ke Hulu.
  4. Kejeruan Muda memerintah di Hulu sebelah Simpang kiri.

Suasana ini bagi Pangeran Langkat menunjukkan akibat dari kegiatan Tuanku Hasyim yang sudah tidak sabar lagi. Pada bulan Februari 1862, dengan tiba-tiba dia sudah berada di Batubara menemui Datuk Boga. Menurut sumber Belanda, Pangeran Langkat telah melanjutkan perjalanan ke Bengkalis menemui Asisten Residen Belanda, Arnold, untuk membicarakan soal kedudukannya dan mengenai beberapa mandat (sepanjang sumber Belanda tersebut), penejelasan dari pemberian ini tidak diberikan tapi sumber itu mengatakan bahwa Pangeran Langkat menyediakan Pulau Kampai untuk dijadikan basis oleh Belanda.

Tiga bulan sesudah kunjungannya itu, maka pada bulan Mei datanglah Raja Burhanuddin pegawai Belanda. Kedatangan Raja Burhanuddin untuk menyisat ke Sumatera Timur (Mei 1862). Tiga bulan sesudah itu, Netscher datang pertama kali denagn kapal perang ke Sumatera Timur dan mencoba untuk masuk ke Langkat. Percobaannya gagal karena kekuatan pertahanan Tuanku Hasyim. Penyerbuan dari darat pun tidak dapat dilakukan.

Pada kunjungan kedua Netscher ke Sumatera Timur, berhasil mendapatkan tanda tangan Pangeran Langkat. Keinginan Pangeran untuk berdiri sendiri lepas dari Deli dapat dibantu oleh Belanda. Tidak hanya demikian, Pangeran Langkat bisa pula menjadi Sultan yang berdiri sendiri, sekaligus lepas dari Aceh dan Deli, dan masuk dalam kedaulatan Belanda. Maka yang tinggal menjadi persoalan adalah wilayah saja.

Tamiang tidak mungkin masuk Langkat, apalagi karena Kejeruan-kejeruan yang berkuasa di Tamiang tidak ingin diselewengkan kepada Siak. Walaupun mungkin ada persengketaan antara sesama Kejeruan yang berkuasa di Tamiang, tapi dalam satu hal mereka sendiripun menentang masuknya Belanda.

Sebagaimana telah diceritakan, Tuanku Hasyim telah membuat kubu pertahanan Aceh yang lebih baik. Untuk mendapatkan sesuatu ketegasan mengenai kedudukan, Pangeran Langkat harus melihat dengan kenyataan itu. Atas dasar kenyataan inilah Belanda mempertimbangkan untuk menetapkan suatu Kesultanan yang wilayahnya ketika itu dalah Langkat tanpa Tamiang. Pada kunjungan Netscher ketiga, yaitu tanggap 8 Agustus 1863, Residen Belanda telah mencoba menyelesaikan persoalan Langkat. Sekali ini dia datang dengan kelengkapan tentara sekuat dua buah kapal. Dia berharap dengan memukul Tuanku Hasyim di Pulau Kampai, Belanda akan dapat membantu Langkat. Namun, maksudnya tidak berhasil sama sekali. Angkatan perang yang dibawa residen Netscher tidak sanggup mendekati Pulau Kampai.

Pada kunjungan yang keempat Netscher mencoba lagi, sekali ini denan membawa Raja Burhanuddin pembantu Belanda. Sekali inipun Netscher masih tidak dapat berbuat apa-apa. Netscher dan Raja Burhanuddin mencoba “pamran kekuatan” tapi hanya sanggup meneropong bendera Aceh yang berkibar di Pulau Kampai dan tidak berani masuk pelabuhan walaupun ketika itu armada Aceh sedang berada di Utara. Netscher dan Burhanuddin pulang dengan tangan kosong kembali ke Bengkalis. Sesudan selesai ekspedisi perang Belanda 1865 menyerbu Asahan dan Serdang, barulah Belanda berani menghadapi persoalan di Langkat dengan keputusan yang hanya diambil menurut kemauan Belanda sendiri.

Singkatnya, Langkat masa itu masih dibiarkan Belanda. Persiapan pihak aceh baik Tamiang sendiri maupun di bagian Pulau Kampia, yang begitu giatnya digerakkan, tidak memungkinkan Belanda untuk cepat-cepat merelealikasikan pengakuan Pangeran Langkat kepadanya. Dalam persiapan menghadapai ageresi dengan Belanda, pada bulan juni 1864 timbullah suatu insiden di Tamiang. Dua orang saudagar Tionghoa warga negara Inggris yang datang berkunjung ke Tamiang mati terbunuh di sana. Peristiwa ini telah menimbulkan kehebohan di Penang dan di Singapura. Hal ini tidak disangka oleh Belanda. Tewasnya orang Tionghoa ini telah dituup secara besar-besaran oleh Inggris.

Dikalangan resmi mereka, persoalan inipun telah mendapat perhatian penuh pada satu pihak, karena masyarakat Tionghoa telah menuntut ketegasan dari pemerintahan Inggris atas keselamatan warga negara yang bernaung di bawah benderanya. Dilain pihak, kalangan politisi Inggris sedang mendapat pula suatu jalan yang paling tepat utuk menekankan maksudnya.

Surat kabar Inggris serentak berteriak supaya mendatangkan kapal perangnya ke Tamiang untuk menghukum siapa yang sudah begitu berani menghina kekuatan Inggris melalui pembunuhan Tionghoa itu. Langkah diplomatik dan pers Inggris tidak lupa mengupas bahwa walaupun Siak sudah menandatangani pengakuan bertuan kepada Belanda, namun tidaklah benar wilayahnya sampai ke Tamiang. Diperbesarlah kesangsian tentang sahnya perjanjian Siak-Belanda (1854) dan tentang hak kedaulaltan Belanda atas Sumatera Timur. Kesimpulan seperti, tuntutan yang dilancarkan tertuju kepada satu arus yaitu: kapal perang besar Inggris harus didatangkan ke Tamiang untuk langsung menghukum si pembunuh yang salah.

Kampanye yang dilancarkan oleh Inggris itu membuat Belanda sadar bagaiman seriusnya soal Taming itu. Tidak membuang tempo, kalangan atas Belanda mengadakan hubungan dengan kalangan atas Inggris untuk memimnta supaya Inggris jangan sampai mendatangkan kapal perangnya ke Tamiang. Belanda menyatakan bahwa atas dasar perjanjiannya dengan Siak, Tamiang itu sudah masuk ke dalam kedaulatan Belanda. Oleh sebab itu Belandalah yang mengambil tanggung jawab untuk menghukum si pembunuh tersebut.

Atas pemberitahuan tadi Inggris memberi batas waktu. Oleh Residen Riau telah ditugaskan kepada Kontelir Deli Caets de Raet pergi ke Tamiang. Kontelir ini memberanikan diri datang ke Tamiang. Schadee penulis buku ‘De Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust’ menceritakan ketika Caets de Raet tiba di Seruwai (Tamiang Hilir) dilihatnya bendera Aceh berkibar menunjukan bahwa kedaulatan Aceh. Penduduk selalu dalam keadaan pegang senjata dan siap bertempur. Setiap orang yang dicurigai tidak luput dari pemeriksaan. Disebabkan tumbuh kecurigaan pada dua Tionghoa dari penang itulah yang membuatnya terbunuh, setidaknya provokasi kaki tangan Belanda sudah menimbulkan perhatian istimewa atas keduanya.

Caets de Raet seorang yang lunak rupanya, sebab dia biasa dan mau saja disuruh pergi tourne jauh-jauh ke pedalaman, sebagai pernah dia lakukan ketika pergi ke Samosir (1867). Ketika dia masuk Seruwai sudah mendapat pemeriksaan. Cerita orang yang ketika melihatnya pergi ke Tamiang itu, mengatakan bahwa dia diperiksa oleh orang Aceh. Orang Aceh itu dengan matanya terbelalak dan misai dipintai memeriksa kontelir de Raet mengenai kedatangannya.

De Raet menyatakan ingin bertemu Raja Bendahara untuk menanyakan peristiwa terbunuhnya dua orang Tiaonghoa di atas. Sesudah menunggu lama, Raja Bendahara berkenan menerimanya. Mendengar bahwa de Raet bertanya soal yang diluar wewenang Belanda, Raja Bendahara naik pitam atau marah semarah-marahnya.

Raja Bendahara pun bertanya kepada de Raet, ‘’Jika ada soal hamba rakyat Inggris kenapa Belanda yang datang?’’ tanya Raja Bendahara.

De Raet menjawab, ‘’Kami telah menjanjikan akan berhubungan dengan Tengku’’.

Raja Bendahara, ‘’Kenapa harus Belanda yang urus. Apa Belanda tidak tahu bahwa Aceh sudah ada perjanjian persahabatan dengan Inggris? Tamiang adalah wilayah Aceh. Tamiang tidak kenal Belanda dan Belanda boleh pergi saja’’.

De Raet dalam laporannya menceritakan bahwa dia dibentak-bentak oleh Raja Bendaharan dan pulang dengan tangan kosong. Soal ini dilapor terus ke Batavia. Hasilnya atas desakan Inggris, Belanda menawarkan pembayaran ganti tugi untuk ahli waris dua orang Tionghoa yang telah terbunuh. Belanda terpaksa melakukan ini, sebagab jika tidak demika terbuka kesempatan Inggris untuk langsung berurusan dengan Raja Bendahara. Kalau hal itu terjadi, maka artinya Inggris yang akan mendapat bukti bahwa kedaulatan Belanda di Tamiang memang tidak ada sama sekali. adapun kontrak politik yang ditanda tangani oleh Sulan Siak dengan Belanda pada 1 Februari 1854, hanya memasuk-masukkan begitu saja wilayah Sumatera Timur dan Tamiang menjadi sebahagian wilayah Siak. Itu hanyalah tipuan belaka Belanda dan tidak sah sama sekali baik ditinjau dari sudur de jure maupun de facto

Berdasarkan hukum internasional, perbuatan Belanda itu sudah suatu pelanggaran, suatu agresi yang tidak mempunyai dasar sama sekali. Inggris sendiri dalam siaran dan protesnya pun tidak segan-segan mencap Belanda di Sumatera Timur kira-kira sejak tahun 1854 itu suatu agresi, atau paling tidak disebuat oleh Inggris ‘’Encroachments of the Dutch’’.

Dalam pada itu jelaslah bahwa melalui peristiwa-peristiwa sebagai Tamiang Affair itu, Inggris makin dapat mengadakan tekanan yang terus menerus membingungkan Belanda. Tidak sekali dua kali sebetulnya Inggris menggugat apa yang disebutnya agresi Belanda dan pelanggaran-pelanggaran pasal 6 Perjanjian London 1824, di mana ditentukan bahwa masing-masing pihak harus memberitahukan kepada piha lain apabila pihak tersebut melaksanakan perluasan daerah di Sumatera. Secara langsung pada tingkat atasannya, sudah pernah duta besar Inggris untuk Belanda, Milbanke menyampaikan kepada menteri Luar Negeri Belanda di Den Haag. Sepucuk memori dari Inggris yang isinya mengingatkan bunyi pasal 6 yang harus dipatuhi tapi tidak diperdulikan oleh Belanda. Peringantan kedua dari pihak atasan Inggris disampaikan lagi pada bulan April tahun 1863 juga. Nota ke-3 pada tanggal 11 September 1863 dan ke-4 pada tanggal 29 Oktober 1863.

Kesemuanya diharapi oleh Belanda dengan berulang kali menegaskan hak yang diperolehnya dari Perjanjian Sika 1854. Hingga sampailah kepada peristiwa pembunuhan di Tamiang. Peristiwa tersebut membuat Inggris mendapatkan jalan yang lebih panjang. Sebagai kenyataan kemudian, peristiwa-peristiwa di Sumatera Timur dijadikan oleh Inggris sebagai loncatan untuk menarik keuntungan politik dan ekonomi yang banyak dari Belanda.

Mengetahui peristiwa itu sendiri, begitu sibuknya kalangan atasan Inggris memerintahkan supaya ditetapkan saja kapal perang untuk menyerbu Tamiang. Begitu pula cepatnya kalangan atasan bersangkutan menyuruh tunda pelaksanaannya.

Seperti telah kita bicarakan bahwa Belanda mengirim tentaranya tahun 1865 ekspedisi ke Asahan dan Serdang, dan di dalam kesempatan ini Pangeran Langkat mempergunakannya untuk mengkonsolidir kekuasaanya. Bantuan kapal perang Belanda melawan Tuanku Hasyim dan orang-orang Aceh sehingga dapat diusir dari Pulau Kampai dan Sutan Matsyekh dari Stabat yang terus menerus menentang Pangeran Langkat untuk dapat ditawan dan dibuang ke Jawa (Cianjur) oleh Belanda. Kemudian setelah menyetujui suatu pernyataan di mana ia mengakui Sultan Siak sebagai rajanya di bawah kedaulatan Gubernemen, maka Tengku Musa diakui oleh Pemerintah Belanda sebagai Raja Langkat, Pulau Kampai dan Tamiang dengan gelar ‘’Pangeran Indra Diraja Amir’’.

Pada tahun 1869 pengakuan ini, setelahnya janji-janji diperluas lagi. Kini tiba masa yang baik bagi Pangeran Langkat untuk memperkuat kewibawaannya, terlebih- lebih mengingat letak kedudukannya di muara sungai Langkat, sehingga dapat menguasai jalan keluar masuk perdagangan. Iapun mulai mengambil tindakan terhadap raja-raja kecil. Kejeruan Selesai memperoleh pengangkatan di mana dituliskan batas-batas daerahnya dan antara lain hak menjatuhkan hukuman mati kepadanya dicabut. Selesai tidak merasa senang mengenai situasi ini, barulah pada tahun 1872 turut serta dalam aksi pemberontakan terhadap Belanda bersama-sama Datuk Sunggal. Kejeruan Selesai mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Sunggal. Tatkala Kejeruan Selesai meninggal dunia, maka Pangeran Langkat pada waktu itu mengangkat anak dari almarhum Kejeruan Selesai menjadi Kejeruan yang baru. Pangeran lalu mengambil sebagaian kecil daripada daerahnya. Termaksud Bahorok dipaksa untuk menurut perintah Pangeran Langkat.

Pada tahun 1871 kejeruan Bahorok Tengku Abd Rahman mengibarkan bendera merah-putih dan lalu membuat kubu-kubu pertahanan. Kemudian Pangeran Musa mencontoh Siak dengan membentuk Lembaga Datuk Berempat. Kemudian diangkat pula seorang kemanakannya menjadi ketua Dewan ini yang digelarkannya “Tengku Maharaja”, dan dia ini begitu menjadi kepercayaan Pangeran Musa sehingga memainkan rol seakan-akan Raja Muda.

Para Kejeruan dan kepala-kepala distrik tidak boleh berhubungan langsung dengan Pangeran Musa, tetapi pertama-tama mesti menghadap Tengku Maharaja dulu. Pada tahun 1878, Pangeran Musa menyerahkan haknya atas daerah yang terletak sebelah kanan Sei Tamiang kepada pemerintah Belanda. Mengikuti adat Siak, maka Pangeran Musa membentuk Badan “Datuk Berempat” itu sebagai kawan musyawarah. Di daerah yang diambil Pangeran Musa dari Selesai, dinamakannya daerah Sungai Bingai diangkatnya sebagai kepala di situ seorang yang berasal dari Sunggal, dengan titel Bendahara. Tetapi tidak lama Bendahara ini mulai berselisih dengan Pangeran Musa, dan Pangeran Musa mengirim Tengku Maharaja dengan sepasukan laskar untuk menangkap Bendahara tadi. Tengku Maharaja lalu diangkatnya menggantikan Bendahara menjadi kepada Distrik Sungai Bingai. Untuk membantunya, Pangeran Musa mengangkat salah seorang putra dari salah seorang Datuk Berempat sehingga terdapatlah pemerintahan dwi tunggal di Sei Bingai. Pada tahun 1881 Langkat dibagi atas 2 Onderafdeling, maka Pangeran mengangkat anaknya yang tertua, Tengku Sulung, sebagai wakilnya di Langkat Hulu yang beribukota di Binjai.

Pada tahun 1884 Langkat berada langsung di bawah kedaulatan Hindia Belanda. Pada tahun 1887 Pangeran Musa pribadi dinaikkan derajatnya oleh Belanda dengan memperoleh titel Sultan Al Haji Musa Alhamdainsyah dan berbarengan dengan itu ditetapkan putra yang bungsu Tengku Montel alias Tengku Abdul Aziz (dari putra gahara) sebagai penggantinya.

Sultan mengangkat putranya yang lain, Tengku Hamzah, menjadi Pangeran Langkat Hilir, dan akannya yang lain sebagai wakilnya di Pulau Kampai. Pada tahun 1892, oleh karena usianya yang telah lanjut, Sultan Musa mengadakan abdikasi dan mengangkat Tengku Abdul Azis sebagai penggantinya dengan gelar Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahkmatsyah tahun 1893. Baginda Sultan Musa kemudian bersuluk di Pesantren Naqsabandiyah “Babussalam” yang didirikan oleh Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan karena konon Sultan Musa adalah saudara satu susu dengan Syekh Abdul Wahab itu dari Siak asalnya.

Di dalam pemerintah sehari-hari Sultan Abdul Aziz karena masih muda, tidak dapat bertindak sendiri keccuali dengan persetujuan abang-abangnya Tengku Sulung dan Tengku Hamzah. Pada tahun 1896, barulah Sultan Abdul Azis resmi dilantik oleh Residen dan boleh bertindak sendiri. Oleh karena daerah Pangkalan Berandan makin penting dengan adanya sumber minyak, maka Sultan menganggap perlu menumbuhkan Luhak ketiga yang baru. Diambil dari Luhak Langkat Hilir daerah-daerah Besitang, Pulau kampai, Pangkalan Berandan dan Lepan dan dijadikan masuk Luhak Teluk Haru dengan kedudukan Pangkalan Berandan dan dipimpin oleh putra dari Tengku Sulung. Tengku Sulung sendiri minta berhenti sebagai kepala Luhak Langkat Hulu dan ia digelar Mangkubumi. Sebagai gantinya di Langkat Hulu diangkat Tengku Adil putra dari Tengku Hamzah.

Pada tahun 1899 putra tertua dari Sultan, Tengku Mahmud, ditetapkan sebagai pengganti raja dengan gelar Raja Muda. Tengku Hamzah digantikan oleh putra keduanya Tengku Jambak sebagai Pangeran Langkat Hilir. Berbeda dengan Deli dan Serdang, bentuk otokratis dalam pemerintahan lebih menonjol di Langkat, di mana pemerintahan Kerajaan dibentuk oleh Sultan sendiri. Beda antara Langkat dan Deli dalam bentuk pemerintahan dan posisi Sultan dicerminkan dalam peribahasa: Di Langkat Raja menanti, Orang Besar datang. Di Deli Raja Datang, Orang Besar Menanti, dengan kata lain di Deli kedaulatan Sultan dipikul oleh Datuk Berempat yang juga Raja Urung di daerahnya dan Sultan didak lain daripada primus interpares.

Dalam Acte van Verband dengan pemerintah Hindia Belanda 1893 pasal 5 disebutkan bahwa Sultan Abdul Azis harus berunding dengan Orang Besar menentukan putra mahkota. Jika Sultan sakit, maka Dewan Diraja atau Kerapatan Besar akan mengambil alih sementara kekuasaan.

Pada masa pemerintahan Sultan Musa tahun 1876-1879, baginda mempunyai 4 orang wakilnya, yaitu di Batang Serangan, Tamiang, Besitang, dan Salapian, kemudian seroang Kepala menghimpun Kerapatan, seroang wakil di Sei Lepan dan Datuk Besitang. Pada zaman Sultan Abdul Aziz tidak ada lagi wakil di Batang Serangan, distrik itu disatukan dengan distrik Tanjung Pura di bawah kepala Luhak Langkat Hilir. Wakil di Tamiang dihapus, sejak Tamiang keluar dari Langkat dan masuk residensi Aceh. Wakil di Besitang digantikan Kepala Luhak Teluk Haru. Wakil di Salapian digantikan oleh Datuk Salapian yang bukan Orang Besar. Distrik Pulau Sembilan disatukan dengan Pulau Kampai, dan ditumukna pula Distrik Gebang.

Setelah semua panjang lebar mengenai sejarah kerajaan Langkat, perlu diketahui juga bahwa nama “Langkat” diambil dari sebauh pohon yang buahnya kelat. Pada zaman dahulu pohon ini banyak sekali di sekitar Kota Dalam.

Semua isi dalam tulisan ini dikutip dalam buku karya Sultan Serdang Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Yayasan Kesultanan Serdang. Medan, 2006.

ISTILAH KEKERABATAN BAHASA MELAYU LANGKAT

Suami                                     : mpelay/, /laki/

Istri                                         : mpuan

Anak                                       : anak

Anak laki-laki                       : kulok

Anak perempuan                 : suban

Anak sulung                         : sulon/, /ulon/

Anak kedua                          : tenah/, /nah/

Anak ketiga                           : alan

Anak keemapat                    : uteh

Anak kelima                         : andak

Anak keenam                        : itam

Anak ketujuh                        : uncu

Ayah                                       abah/, /ayah/

Ibu                                          : mak

Abang ayah                           : wak

Kakak ayah                           : wak

Adik ayah (laki-laki)               : pakcik/, /pakcit/

Adik ayah (perempuan)          : makcik/, /makcit

Abang ibu                              : wak

Kakak ibu                              : wak

Adik ibu (laki-laki)                   : pakcik/, /pakcit/

Adik ibu (perempuan)             : pakcik/, /pakcit/

Menantu                                : menantu

Mertua                                   : mentua

Kemanakan                           : anak kemun/, /kemun/

Cucu                                       : cucu

Kakek                                     : atok

Nenek                                    : andong

Ayah kakek                           : datu

Ibu kakek                              : datu

Kakeknya kakek                  : moyang

Neneknya nenek                  : moyang

Abang                                     : abang

Kakak                                     : akak

Adik                                       : adek