JEJAK RITUAL NYEPI DI KAMPUNG BALI LANGKAT

 

Pintu Gerbang Masuk Kampung Bali, Desa Paya Tusam, Kec Wampu, Kab Langkat, Sumut

Pintu Gerbang Masuk Kampung Bali, Desa Paya Tusam, Kec Wampu, Kab Langkat, Sumut

MelayuLangkat. Ledakan Gunung Agung pada februari 1963 akan menjadi peristiwa kelam bagi sejarah Bali. Dalam catatan sejarah, letusan Gunung Agung mengeluarkan 300 juta meter kubik magma, yang membuat cahaya matahari berkurang dan menimbulkan terjadinya gerhana bulan. Dampak lainnnya, tanah pertanian menjadi tandus, dan masyarakat Bali kehilangan sumber pendapatan sehari-hari. Masa-masa itu menjadi periode paling sulit dalam sejarah masyarakat Bali.

Sebagai bentuk tanggung jawab, pemerintah masa itu merencanakan program transmigrasi bagi masyarakat Bali keluar pulau agar mendapat pengganti lahan pekerjaan dan kehidupan yang baik. Setelah menunggu rencana tersebut, akhirnya muncul tawaran dari perusahaan perkebunan karet (PPN Karet) bagi masyarakat korban letusan Gunung Agung, sebuah kontrak kerja selama 6 tahun.

Jalan panjang pun dilalui oleh masyarakat Bali yang melakukan kontrak kerja tersebut. Daratan Bali ditinggalkan dan menempuh perjalanan darat ke Tanjung Priok, Jakarta. Dari Tanjung Priok perjalanan dilanjutkan dengan kapal laut menuju ke Belawan, Medan. Sesampainya di daratan pertama di pulau Sumatera ini, selanjutnya mereka di bawa ke perkebunan karet di Bandar Selamat, Asahan. Selama perjalanan panjang tersebut, ada beberapa dari saudara sesama warga Bali yang meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke tempat tujuan. Tanggal 3 bulan november 1963, adalah kali pertama kelompok warga Bali tersebut tiba di Bandar Selamat. Itulah awal cerita suka duka I Nengah Sambe, ketika mengikuti ayahnya merantau ke Sumatera pada usia 13 tahun. Perjalanan hidupnya tersebut masih terus dia ingat, termaksud tanggal, tahun, dan bulan yang selalu dilihatnya di ukiran papan warung milik ayahnya.

Kedatangan masyarakat Bali ke Sumatera, khususnya Sumatera Utara, menambah ragam suku nusantara yang mendiami provinsi ini. Jejak keberadaan masyarakat Bali di Sumatera Utara dapat dilihat di desa Paya Tusam, kecamatan Wampu, kabupaten Langkat. I Nengah Sambe, merupakan generasi pertama yang mendiami desa Paya Tusam. Di usianya yang memasuki 65 tahun, I Nengah yang juga berposisi Pemangku (kepala adat) suku Bali di Langkat, menceritakan bagaimana awalnya suku Bali mendiami tanah Langkat.

Setelah kontrak pertama selama 6 tahun selesai, sebagian masyarakat Bali yang tinggal di perkebunan Bandar Selamat, memohon untuk mundur dengan hormat sebagai buruh perkebunan, dan kembali ke tanah leluhurnya di Bali. Sementara sebagian yang ingin terus menetap di Sumatera, berencana untuk membentuk suatu perkampungan Bali, di mana masyarakat Bali perantauan ini dapat melakukan ritus dan budayanya persis seperti di Bali dengan sesama masyarakat Bali lainnya. Maka melalui organisasi Parisada Hindu, masyarakat Bali ini diperbantukan untuk dicarikan sebuah lahan kosong yang dapat ditempati oleh masyarakat Bali. Akhirnya pilihan tersebut jatuh ke wilayah hutan belantara yang berstatus Tanah Negara Bebas. Masyarakat Bali yang akan mendiami wilayah ini diharuskan membayar ganti tanah tersebut sebagai milik warga, yang dapat mereka olah sebagai kebun pribadi.

Berdasarkan penuturan I Nengah, awalnya suku Bali yang mendiami hutan belantara tersebut hanya terdiri dari 5 kepala keluarga (KK) saja. Kelima kepala keluarga tersebut adalah generasi pertama yang mendiami wilayah Paya Tusam pada tahun 1974. Dua tahun berikutnya, sebagian masyarakat Bali lainnya yang bekerja sebagai buruh di perkebunan Tanjung Garbus, Deli Serdang, datang dengan jumlah yang lebih besar ke desa ini, maka jumlah penduduk Bali bertambah menjadi 60 KK, akhirnya desa Paya Tusam dikenal sebagai Kampung Bali.

Pintu Pura Agung Masyarakat Hindu Bali di Langkat

Pintu Pura Agung Masyarakat Hindu Bali di Langkat

Kepala dusun Paya Tusam, Nyoman Sumandro, adalah generasi kedua yang mendiami Kampung Bali. Berdasarkan catatannya, Nyoman mengatakan bahwa saat ini suku Bali yang mendiami desa Paya Tusam hanya 36 KK dari 74 KK yang berada di bawah naungannya. Sisa 38 KK lainnya adalah suku Jawa yang datang dalam kurun tahun 1980 sampai 1990-an. Sementara warga Bali yang awalnya mendiami desa tersebut telah pergi meninggalkan kampung dan menjadi perantau di wilayah Riau, Jambi dan Lampung. Meskipun jumlah suku Bali lebih sedikit daripada suku Jawa, namun kedua suku pendatang ini hidup rukun berdampingan. Bahkan pernikahan di antara dua suku ini juga terjadi, seperti pengalaman Nyoman yang berisitrikan perempuan Jawa.

Satu hari menjelang peringatan Nyepi, yang biasa disebut nilem (hari tilem/gelap bulan), para suku Bali seperi I Nengah Sambe, Nyoman Sumandro dan lainnya, berbenah menyiapkan perayaan besar agama Hindu. Pada hari tilem ini diadakan upacara mecaru, yang pada intinya mensucikan alam sekitar tempat tinggal dari gangguan roh jahat (Buthakala) agar tidak mengganggu kehidupan warga. Upacara mecaru dilaksanakan di pintu gerbang masuk kampung Bali, lengkap dengan sebuah sanggah bambu yang digunakan sebagai tempat penampahan dan sejumlah sajen lainnya sebagai pelengkap ritual sembahyang. Segala rupa bahan-bahan sajen ini dipersiapkan secara bersama-sama oleh warga di Pura.

Upacara Mecaru (H-1) sebelum Nyepi

Upacara Mecaru (H-1) sebelum Nyepi

Menjelang sore pukul 5, para warga berkumpul di tempat upacara mecaru, ritual dipimpin oleh I Nengah Sambe dengan khusyuk. Selama pelaksanaan ritual, para warga sekitiar menyaksikan sembahyang umat Hindu Bali ini dengan sikap tertib. Selepas pembacaan mantra, sajen yang telah dipersiapkan sebagai persembahan dihanyutkan oleh jemaah ke aliran sungai sekitar desa. Sungai telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Bali di Langkat. Setelah persembahan tersebut, jemaah dipersilahkan pulang ke rumah masing-masing untuk melakukan ritual keliling rumah sambil membawa dupa pembakaran. Untuk selanjutnya, mereka berkumpul kembali ke Pura untuk melakukan ritual sembahyang Pengrupukan/Pangidaran.

Keesokan harinya, tepat pada hari perayaan Nyepi, maka umat Hindu kampung Bali akan melakukan ritual Nyepi yang bermakna hari tanpa kesibukan (puasa). Selama hari Nyepi ini, kegiatan-kegiatan yang dilarang antara lain amati geni (tidak menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak berpergian), serta amati lelanguan (tidak menghidupkan hiburan). Amalan baik yang bisa dilakukan antara lain membaca kitab Weda. Ketika hari Nyepi ini umat Hindu kampung Bali hanya berdiam diri di rumah, dan perkampungan akan menjadi sepi (kecuali aktifitas yang dilakukan oleh suku lainnya).

Ada korelasi antara perayaan Nyepi dengan keberadaan kampung Bali yang jauh dari pusat keramaian. Perkampungan yang berada di perbukitan ini menjadi tempat yang paling dekat kepada Sang Hyang Widhi, dan suasana perkampungan yang benar-benar sepi. Untuk mencapai ke lokasi ini, kota terdekat bisa melalui Binjai menuju ke kecamatan Selesai, Langkat. Dari Binjai jarak tempuh dengan mobil menghabiskan waktu satu setengah jam. Medan jalan yang bebatuan, dan jalan perbukitan menanjak, serta kebun-kebun karet dan sawit menjadi pemandangan menarik yang menghibur mata. Jika datang musim penghujan, maka medan jalan akan terasa makin berat. Belum lagi, lokasi perkampungan Bali yang terpisahkan oleh aliran sungai Bingai, sehingga membutuhkan penyeberangan getek yang membantu untuk melintasi aliran sungai.

Suasana Kampungan Bali yang Dihuni masyarakat Bali berada pada ketinggian bukit

Suasana Kampungan Bali yang Dihuni masyarakat Bali berada pada ketinggian bukit

Patut dihargai bagaimana suku Bali di Langkat terus mempertahankan tradisi dan budaya luhur mereka di tanah perantauan. Keyakinan untuk terus mempertahankan budaya dan tradisi di manapun mereka berada seperti bunyi pepetah Bali, “tak kering oleh panas, tak basah oleh hujan”. Makna dari pepatah ini bahwa, di manapun suku Bali berada maka budaya dan tradisi luhur mereka terus dijaga. Om Santih santih santih Om, (Om Sang Hyang Widhi anugerahkan kedamaian, kedamaian, kedamaian, selalu).

Banten, tempat ibadah sehari-hari umat Hindu Bali di Langkat

Banten, tempat ibadah sehari-hari umat Hindu Bali di Langkat

Gambar Pura Agung

Gambar Pura Agung

SEJARAH KERAJAAN LANGKAT

Teromba Kesultanan Langkat menyatakan bahwa nama leluhur dinasti Langkat yang paling awal adalah Dewa Syahdan. Diperkirakan masa kekuasaannya tahun 1500 sampai 1580. Menurut teromba Langkat, Dewa Syahdan datang dari arah pantai yang berbatasan dengan Kerajaan Aceh. Ia menjadi anak beru dari Sibayak Kota Buluh di Tanah Karo. Kemudian ia dikenal dengan gelar Sibayak Si Pintar Ukum oleh orang-orang Karo, menurut pihak Karo ia marga Perangin-angin Kuta Buluh. Ia mempunyai regalia rantai emas buatan Aceh buatan dan kain Minangkabau. Tiada berapa lama kemudian ia turun ke Deli Tua, kemudian ia pindah ke Guri atau Buluh Cina sekarang.

Dewa Syahdan mempunyai seorang putra bernama Dewa Sakti. Ia bergelar Kejeruan Hitam. Ada pendapat yang menyatakan ialah “Indra Sakti” adiknya Putri Hijau di Deli Tua yang diserang Aceh. Dewa Sakti mangkat digantikan oleh putranya, yang setelah mangkatnya bergelar Marhom Guri (mungki sekali di Merah Milu kepada orang haru yang menentang Sultan Aceh Saidi Mukamil). Dimakamkan di Buluh Cina, Hamparan Perak sekarang. Dewa Sakti hilang raib kemungkinan tewas dalam penyerangan Aceh, peristiwa penyerangan ini diperkirakan pada tahun 1539.

Marhom Guri digantikan oleh putranya Raja Kahar (1673); anak-anaknya yang lain ialah Sutan Husin keturunan bangsawan Bahorok dan seorang putri bernama Dewi Tahrul. Raja Kahar pendiri Kerajaan Langkat dan berpusat di Kota Dalam, daerah antara Stabat dengan Kampung Inai, kira-kira pertengahan abad ke-18. Ia dimakamkan di Buluh Cina juga. Raja Kahar berputra Badiulzaman bergelar Sutan Bendahara, seorang yang berpribadi kuat dan denagn cara damai telah memperluas daerahnya. Ia dimakamkan di Punggai, bergelar Marhom Kaca Puri.

Badiulzaman mempunyai 4 orang anak laki-laki yaitu Kejeruan Tuah Hitam, Raja Wan Jabar yang mendirikan Selesai, Syahban di Punggai dan Indra Bongsu yang tetap bersama Kerjeuran Hitam tinggal di Kota Dalam.

Keempat orang putra ini membantu ayahandanya memerintah dan bolehlah dikatakan masing-masing sebagai Orang-orang Besar. Ketika Badiulzaman meninggal dunia ia digantikan oleh putranya yang tertua Kejeruan Tuah Hitam. Ia menetap di Jentera Malai, sebauh kampung dekat Kota Dalam.

Keempat bersaudara ini memerintah dengan otonomi masing-masing dengan Kejeruan Hitam sebagai pemimpin tertinggi hingga memasuki abad ke-19 (menurut sumber Belanda pada peristiwa Siak menyerang dan menaklukkan Langkat peristiwa itu pada tahun 1815).

Menurut Anderson (1823, Mission to the Eastcoast of Sumatra) Kejeruan Tuan Hitam beberapa bulan yang lalu (1823) bergabung dengan Sultan Panglima Mangedar Alam dari Deli untuk merebut pemerintahan kembali dari tangan Siak dan pergi ke Deli untuk keperluan itu geuna mendapatkan bantuan manusia, senjata dan amunisi. Setelah memperoleh bantuan lalu ia menghilir sungai Deli untuk dibawa ke Langkat. Ia membawanya bersama kawannya bernama Banding. Namun, ketika menghilir membawa bantuan itu setejulah misiu meledak karena diletakkan tidak pada tempatnya. Tatkala itu merekapun sedang asik mandi. Akibat dari ledakan misui itu menewaskan mereka. Putra yang tertua, Raja Bendara (Nobatsyah), seorang pemuda yang cekatan, bertekad merebut pemerintahan denan bantuan Sultan Panglima dari Deli. Oleh karena itu perdagangan di negeri ini banyak terganggu sehingga perkelahian antara Kepala-kepala Daerah pun tetap terjadi.

Setelah Badiulzaman meninggal dunia, mulailah lahir daerah-daerah lain di Langkat, kira-kira pada akhir abad ke-18. Seperti setelah dibentangkan di atas, Langkat ditaklukkan oleh Siak. Untuk jaminan kesetiaan Langkat, 2 orang putra Langkat, yaitu putra dari Kejuruan Tuah Hitam, bernama Nobatsyah, dan seorang putra dari Indra Bongsu, Raja Ahmad, dibawalah ke Siak untuk diindroktrinasi.

Di Siak mereka dikawinkan dengan putri-putri Siak. Nobatsyah kawin dengan Tengku Fatimah dan Raja Ahmad kawin dengan Tengku Kanah. Perkawinan Raja Ahmad inilah melahirkan seorang putra bernama Tengku Musa atau juga disebut Tengku Ngah. Oleh Sultan Siak jelas-jelas ditekankan bahwa yang akan menaiki tahta Langkat haruslah putra dari Nobatsyah dan kelak yang akan memakai gelar Alamsyah. Tiada berapa kemudian Nobatsyah dan Ahmad dikembalikan ke langkat. Mereka bersama-sama memerintah di Langkat, yang pertama dengan gelar Raja Bendahara Kejeruan Jepura Bilad Jentera Malai (Nobatsyah anak pertama Kejeruan Tuah Hitam), sedangkan yang kedua bergelar Kejeruan Muda Wallah Jepura Bilad Langkat (anak Indra Bongsu adik ketiga Kejeruan Tuah Hitam).

Sementara itu salah seorang putra dari Raja Wan Jabar (anak kedua Badiulzaman), saudara sewali dari Raja Bendahara Nobatsyah dan Kejeruan Muda Ahmad, telah menetap di sana Siabat-abat (Stabat) dan menjadi Raja di Stabat. Seperti diketahui anak Raja Wan Jabar (Selesai) antara lain ialah Raja Wan Desan (menetap di Bingai), Tuanku Wan Soapan bergelar Sutan Japura menjadi Raja di Stabat, Wan Syah tinggal di Selesai dan Raja Wan Johor. Tiada berapa lama terjadilah perebutan kekuasaan antara Raja Bendahara Nobatsyah dengan Kejeruan Muda Ahmad pada tahun 1820.

Raja Bendahara Nobatsyah mempunyai saudara Raja Badaruddin, keturunannya antara lain Tengku Mat Isa kelana yang pinda ke Deli, manakala seorang saudara perempuan bernama Tengku Seri Deli yang kawin dengan Tuanku Zainal Abidin (Tengku Besar dari Serdang).

Di dalam perebutan kekuasaan itu, Nobatsyah dibantu oleh saudaranya Badaruddin, Tengku Panglima Besar Syahdan (anak dari Raja Syahdan Pungai), dan dibantu oleh iparnya Tuanku Zainal Abdidin (Serdang). Dipihak Kejeruan Muda Ahmad ialah semua anak-anak dari Raja Wan Punggai dan Selesai. Di dalam pertermpuan yang terjadi antara kedua pihak ini di Punggai, tewaslah Tuanku Zainal Abidin Serdang dengan 40 lebih orang pahlawan-pahlawan dari Serdang sehingga ia digelar “Marhom Mangkat di Punggai”.

Menurut riwayat pertempuan kedua belah pihak ini, sedikit banyaknya adalah atas ‘permainan’ Stabat, yang merasa bahwa bukan Nobatsyah atau Ahmad tetapi Stabatlah yang berhak menjadi raja di Langkat. Kemudian Raja Bendahara Nobatsyah mati terbunuh. Di Bingai Raja Wan Desan bin Raja Wan Jabar menjadi Kejeruan. Ketiak matinya Raja Bendahara Nobatsyah, maka Kejeruan Ahmad-lah satu-satunya yang memimpin Langkat dan diakui oleh Siak.

Pada mulanya ia membuat peraturan-peraturan di mana Raja-raja Selesai, Stabat, Bahorok dan Bingai mendapat otonomi luas. Di Bahorok oleh Kejeruan Muda Ahmad diangkat salah satu seorang anggota keluarganya menjadi Kejeruan, karena dengan mempunyai status kemerdekaannya yang luas di Bahorok adalah meruaka taktik politik karena Langkat terus menerus terancam oleh serangan-serangan dari Gayo dan Alas di wilayah Aceh, dan Bahorok haruslah menjadi buffer state. Kemudian berikut menyusul periode kelahiran sesama Kejeruan yang ingin berpengaruh. Dalam situasi ini Stabat muncul sebagai tokoh yang penting. Bahorok dan Selesai melihat saja tanpa daya akan bertambah pengaruh Stabat. Oleh karena Stabat menjadi begitu penting sehingga dapat menjalankan hegemoni di atas daerah-daerah lain. penduduk-penduduk Jentera Malai, Kota Dalam dan Selesai tidak senang atas perintah Stabat ini dan banyak yang mengungsi ke daerah pesisir di mana mereka membaut kampung-kampung baru dan meminta bantuan dari Siak agar mengamankan kembali keadaan seperti semula.

Dalam pada itu Kejeruan Muda Ahmad telah meninggal dunia termakan racun. Teringatlah orang bahwa di Siak masih tinggal putra dari Nobatsyah, tetapi telah pula meninggal dunia di Siak, dan Sultan Siak pun menetapkan putra Kejeruan Mudah Ahmad bernama Tengku Musa sebagai pengganti Raja Langkat. Tengku Musa kemudian berangkat ke Langkat dan menetap di Kota Dalam.

Kemudian daerah Langkat ini terus menerus menjadi tonil dari pertempuran-pertempuran dengan Aceh. Medan pertempuran itu daerah Besitang. Sejak pertengahan abad ke-18 di Besitang didatangi oleh penduduk orang Aceh, Gayo dan orang-orang melayu dari Malaya yang menetap di sepanjang Sungai Besitang. Adapun kepala daerah yang pertama berasal dari Aceh. Tiada berapa lama Besitang juga berada di bawah pengaruh Langkat.

Datuk Besitang pernah membantu Raja Langkat dalam pertempuran terhadap Stabat. Ini tentu terjadi kira-kira semasa pemerintahan Kejeruan Muda Ahmad di Langkat. Tampaknya perang yang terus menerus dengan Aceh, terutama terhadap Wakil Aceh yang ada di Tamiang menyebabkan bahwa Besitang, yangkemudian juga meliputi Salah Haji dan sekitarnya, makin lama makin kuat menyatukan diri dengan Langkat dan berada di bawah bendera Langkat. Anderson dalam kunjungannya ke Langkat di tahun 1823 itu telah menuliskan bahwa Kejeruan Besitang mengakui Langkat sebagai tuannya. Tiada berapa lama setelah matinya Kejeruan Muda Ahmad, maka Kejeruan Stabat pun meninggal dunia pula. Ia digantian anaknya Sutan Muhammad Syekh alias Matsyekh.

Sutan Matsyekh dapat membujuk Kejerusan Selesai agar Tengku Musa bersedia kawin dengan saudari perempuan Matsyekh. Ia berusaha menyampingkan Tengku Musa dengan menggelarnya Raja Muda. Kejeruan Selesai diberinya gelar Bendahara. Kelihatan maksud ini akan tercapat, tetapi Tengku Musa sadar kembali setelah istrinya itu meninggal berapa lama kemudian. Kemudian ia berusaha keras mengatasi tekanan Matsyekh. Sementara itu Musa dapat mengabil alih pimpinan Langkat dengan bantuan Siak. Tengku Musa ini mempunyai kepribadian yang sangat kuat dan oleh orang Langkat ia dianggap sebagai pembangun daerah Langkat hingga kini. Pada mulanya ia memakai titel Sutan Bendahara. Kemudian kira-kira pada tahun 1840 Tengku Musa mengawini anak Datuk Hamparan Perak dan mendapat titel dari Deli Pangeran Mangku Negara Raja Muda Negeri Langkat.

            Menurut sumber Langkat yang sekarang, Langkat tidak pernah berada di bawah Deli, tetapi menurut sumber lain adapaun gelar Mangku Negara Raja Muda Langkat tadi yang mula-mula dipakai Tengku Musa dan diperolehnya dari Deli itu menyatakan bahwa dalam menghadapi perlawanan-perlawanan di wilayahnya, Tengku Musa tidak lagi dapat mengaharapkan bantuan dari Siak, sebagai di Siak pun sedang kusut keadaannya. Itulah diceritakan bahwa Langkat pernah memimnta bantuan dari Deli dan berada di bawahnya. Peristiwa ini terjadi setelah Tengku Musa kawin denagn putri Datuk Hamparan Perak atau Buluh Cina, yaitu Seri Ahmad satu bagian yang takluk kepada Kesultanan Deli.

Ada alasan untuk percaya bahwa ambisi Matsyekh diperkendor. Oleh karena, Matsyekh pun ada berhubungan keluarga dengan Deli, dan Deli pun menyokong Matsyekh karena ia kawin dengan saudara perempuan Sultan Deli. Sejak semula datangnya Tengku Musa terus menerus bertempur dengan orang-orang Aceh. Ia banyak mendapat bantuan dari Besitang. Pada awal pemerintahan Musa lahirlah Distrik Lepan. Pada waktu itu datanglah ke Langkat seorang Alas dengan beberapa anak buahnya, kedatangan ini rupa-rupanya karena ia menderita kekalahan di dalam perselisihan dengan saudaranya untuk memeperbutkan salah satu daerah di Tanah Alas. Sesampainya di Langkat ia dikenal sebgai salah seorang kepercayaan Tengku Musa.

Alas memohon sebidang tanah untuk menetap, dan Tengku Musa melihat ini suatu kesempatan baik untuk menarik keuntungan dan menyerahkan kepadanya daerah Lepan. Pada waktu itu daerah Lepan belum didiami orang. Di sini orang Alas itu diangkatnya menjadi kepada derah denagn syarat supaya ia sedaya upaya membantu Langkat menangkis serangan-serangan dari orang Aceh. Pada tahun 1854 Aceh kembali kuat sehingga kembali menyerang Langkat dan Tengku Musa terpaksa tunduk mengakui kekuatan Sultan Aceh. Oleh Sultan Aceh, Tengku Musa diberi gelar Pangeran Indra Diraja Amir Pahlawan Sultan Aceh. Hal ini terjadi sampai sekitar tahun 1860. Namun kekuasaan Pangeran Musa atas kepala-kepala Daerah Langkat lainnya lebih banyak dalam siasat daripada kenyataannya. Musa pun terus menerus berperang dengan raja-raja kecil. Bahorok dianggapnya wilayah terkuat sehingga ia terpaksa membuat perjanjian tidak saling serang, Bahorok pun dalam kedudukannya setingkat dengan Langkat.

Hal yang menarik adalah, dalam perjanjian ini dipakainya cap dari Sultan Aceh di atas cap Pangeran Langkat. Bukan tidak mungkin bahwa Pangeran Langkat dalam hal ini bertindak atas suruhan Sultan Aceh dan bukan dengan kehendak sendiri untuk membuat perjanjian, yang justru merendahkan derajatnya yang harus setingkat dengan Bahorok.

Taktik sedemikian tampaknya pernah dipakai Aceh ketika dahulu Kejeruan Muda Ahmad memberikan kemerdekaan kepada Bahorok, yaitu bahwa Aceh membuat daerah Bahorok ini sebagai perisai terhadap rencana-rencana yang membahayakan dari Tengku Mus di masa depan. Stabat pun juga membaut Pangeran Musa tetap dalam kesulitan antara lain dengan Stabat bekerja sama denan Wakil Sultan Aceh di Tamiang, yaitu Tuanku Hasyim, untuk membuat suatu pemberontakan yang kiranya dapat ditundukkan Pangeran Langkat dengan keras. Tuanku Hasyim yang mempunyai pengaruh sampai jauh ke dalam daerah Langkat menetap di Pulau Kampai. Selesai sendiripun tidak mau ketinggalan dan mulai menahan perahu-perahu dagang kepunyaan Pangeran Langkat dan menyita barang-barangnya apabila Pangeran Musa Langkat tidak memberikan konsesi-konsesi yang diinginkannya. Akhirnya setelah tersudut demikian, maka Pangeran Musa Langkat tidak mempunyai jalan selain meminta bantuan dari Siak karena pososnya di Langkat pada waktu itu lemah.

Dalam hal di atas, mesti diketahui bahwa perkembangan situasi disekitar wilayah Tengku Musa/Pangeran Musa di Langkat, sedang dalam musim pancaroba.

Pertama, perebutan kursi kerajaan antara Tengku Musa dengan Matsyekh, sebagai yang sudah disinggung di atas. Kedua, kegiatan beberapa raja kecil lain untuk mendapat atau mempertahankan kedudukannya. Dan ketiga, pergulatan Aceh dan Siak (sesuai kontrak Siak-Belanda tanggal 1 Februari 1858), dari pergulatan itu di mana terjadilah kegiatan masing-masing dalam melancarka siasatnya untuk menguasai perkembangan politik di Langkat. Tengku Musa adalah beribu dari Siak, dibesarkan dan didik di Siak. Tidak mengherankan bahwa ia tidak akan pro Aceh. Peristiwa ini terjadi dalam rangka kegiatan Belanda untuk merongrong wilayah Aceh bagian pantai terjauh di sebeleh Timur Sumatera. Maka terasalah bahwa kekusutan di sana bertalian dengan tujuan itu, dan kesibukan di sanapun tidak berdiri sendiri pula. Serta merta Pangeran Langkat menumpahkan perhatian terhadap Tamiang.

Alasan Pangeran Langkat bahwa ia berkuasa terhadap Tamiang adalah karena seorang kejuruan di Seruwai (bagian hilir Tamiang) berasal dari penduduk Besitang. Sedangkan Besitang adalah wilayah Langkat dengan kata lain, daerah Besitang yang dimiliki oleh Pangeran Langkat itu hendak diperluas wilayahnya sampai ke Seruwai atau Tamiang. Menurut sejarahnya tidaklah benar. Ketika Anderson melawat ke Sumatera Timur (1823) dia telah langsung ke Tamiang. Ketika itu Anderson menemui tiga pemerintahan Kejeruan, yakni pertama Kejeruan Karang terletak di sebelah kanan Sungai Tamiang menghadap mudik, kedua Kejeruan Muda yang teletak di sebelah kiri Sei Tamiang menghadap mudik, dan ketiga Kejeruan Muda yang terletak di sebelah kiri Sei Tamiang menghadp mudik. Maka kata Anderson, puluhan tahun sebelum ke sana, Tamiang pernah ditaklukkan oleh Siak. Namun Siak tak sanggup menguasainya, tidak mendudukkan pembesarnya di sana, sehingga dengan demikian setelah penyerbuan Siak maka Tamiang balik lagi sebagai sediakala berdiri di bawah kedaulatan Aceh.

Mengenai orang yang dimaksud asal Besitang mejadi raja di Seruwai, menurut ceritanya ialah bahwa kira-kira antara tahun 1824 dan 1834 pantai di sebelah kiri Sei Tamiang telah menjadi kampung yang ramai didatangi orang-orang Aceh. Kampung itu ialah Seuwai, masuk bagian Karang. Atas persetujuan Kejeruan Karang penduduk Kampung Seruwai mengangkat kepala mereka seorang terkemuka dari Besitang bernama Panglima Deli. Dalam beberapa waktu telah terjadi persengketaan ini. Panglima Deli membantu Kejeruan Karang. Itulah asalnya maka Panglima Deli diakui oleh Kejeruan Karang dan memebenarkan menjalankan pemerintahan otonomi di Seruwai.

Perkara di atas, tentulah tidak otomatis begitu saja. Pangeran Langkat mengatakan bahwa Tamiang masuk bagiaanya. Bahkan pegangan yang lebih teguh dari itu membuktikan pula sebaliknya, bukan Tamiang masuk Besitang, tetapi Besitanglah yang sudah pernah merupakan bagian dari Raja Tamiang. Pada akhir abad ke-18, ketiak Teuku Cut bagam mejadi raja di Tamiang, dia telah mengahadiahkan Besitang kepada mertuanya yang bernama Mujut, hadiah itu sebagai mas kawin.

Mujut berasal dari Aceh. Sesudah Mujut meninggal dunia, digantikan oleh anaknya bernama Panglima Sijit. Tidak berapa lama kemudian, Tengku Musa pun berhasil menaiki kursi Panglima Langkat. Salah satu usaha untuk menguatkan kedudukannya, Panglima Langkat dibantu oleh adik Panglima Sijit di Besitang, bernama Manja Kaya Jaya, menjadikan Pangeran langkat berhasil melumpuhkan bahaya perlawanan Matsyekh (Stabat). Tidak mengherankan bahwa tidak lama kemudian, setelah Panglima Sijit, Manja Kaya Jaya-lah yang dilantik oleh Pangeran Langkat menggantikan Panglima Sijit menjadi Datuk Besitang.

Telah diceritakan di atas bahwa pada tahun 1854 telah datang ke Sumatera Timur armada Aceh sekitar 200 perahu perang dipimpin oleh Panglima Husin. Panglima ini adalah putra Sultan Mansur Syah sendiri. Kedatangan armada ini untuk memulihkan kekuasaan de facto Aceh kembali dan untuk mengkonsolidasikan negeri-negeri di daerah tersebut, terutama dalam rangka menghadapi kegiatan Belanda yang sedang sibuk merongrong daerah wilayah Aceh di sebelah barat. Selain itu, membuat ketentuan semula tentang wilayah Aceh dibagian Timur hingga Pasir Putih Ayam Denak. Dapat dikatakan bahwa kedatagan Husin adalah sebagai pameran bendera, sebab perlawanan tidak ada. Bahkan sebaliknya, raja-raja di Sumatera Timur kemudian menyetujui kedaulatan Aceh dan Aceh mengangkat Tengku Musa dengan gelaran Pangeran Indra Diraja Amir Pahlawan Aceh. Pangeran dianugerahi cap sembilan (cap sikureing). Selanjutnya dalam ekspedisi ke Deli, Pangeran Husin dapat menginsyafkan Sultan Osman. Osman diakui Aceh sebagai Sultan Deli dan ‘Wakil Sultan Aceh’. Baik Deli maupun Serdang keduanya mendapat cap sembilan. Sultan Basyaruddin Serdang diangkat menjadi ‘Wazir Sultan Aceh’ (1854).

Peristiwa kegiatan Aceh ini didengar dengan penuh gelisah oleh Belanda di Batavia. Rencana perongrongan atas wilayah Aceh dibahagian terjauh di Pantai Timru Sumatera telah menghadapi imbangan. Dalam rangka mengatasi itu, Belanda cepat-cepat mengadakan tekanan kepada Siak, pada waktu itu dalam keadaan lemah untuk mengikat perjanjian politik dengan Belanda (1 Februari 1854). Disamping itu, Siak disuruh menyatakan bahwa wilayahnya ke Barat adalah sampai Tamiang. Muhammad Said, menulis bahwa Pangeran Langkat merasa perlu mendapatkan jaminan kedudukannya di kemudian hari.

Dengan sendirinya, perkembangan di Sumatera Tirmu umumnya dan di Langkat khususnya, mendapat perhatian penuh dari Sultan Ibrahim Mansyur Syah, Sultan Aceh. Setelah Siak menandatangani perjanjian dengan Belanda 1854, Sultan Aceh mengatur persiapan untuk mengatasi persoalan di Sumatera Timur. Seorang pemuda bangsawan yang terkenal gagah dan cakap di Aceh, Tuanku Hasyim, mendapat tugas istimewa dari Sultan Aceh untuk berangkat ke Sumatera Timur menyelesaikan dan menguasai keadaan di sana. Tuanku Hasyim disebut juga Tuanku Rayeu, anak Tuanku Kadir anak Tuanku Cut, dan seterusnya sampai 1795. Nama Tuanku Hasyim mashur dalam perjuangan melawan agresi Belanda di Aceh hingga puluhan tahun kemudian sampai wafatnya pada juni 1897.

Tugas yang diberikan sultan Aceh kepada Tuanku Hasyim ke Sumatera Timur mengandung ketentuan bahwa dia mejadi wakil Sultan Aceh untuk Sumatera Timur dengan wilayah wewenangnya Tamiang, Langkat, Deli, dan Serdang. Seiring dengan ketentuan tersebut ditentutkan pula wewenang untuk Sultan Ahmad Syah Sultan Asahan. Ia adalah wakil untuk Sultan Aceh wilayah Asahan, Panai, Bilai, Kota Pinang, Kualuh, dan Batubara.

Dibagian lain telah disinggung Seruwai diperintah Panglima Deli asal Besitang. Setelah dia meninggal, dia digantikan oleh putranya Raja Bendahara. Raja Bendahara tidak ingin takluk kepada Pangeran Langkat. Ketika itulah Pangeran Langkat mencoba menguasai Seruwai dan menjatuhkan Raja Bendahara. Untuk itu Pangeran Langkat mencoba menguasai Seruwai dan menjatuhkan Raja Bendahara ke Seruwai dengan menjepitnya dari Pulai Kampai. Akhirnya Raja Bendahara dapat ditaklukkan. Dia ditangkap beserta anak laki-lakinya, dan dibawa ke Langkat. Adik Raja Bendahara bernama Sutan Suman diangkat menggantikan kekuasaannya.

Tidak berapa lama Sutan Suman mejadi raja dia pun meninggal, dan digantikan oleh anaknya bernama Sutan Muda yang tentunya sesuai dengan kemauan Pangeran Langkat. Tidak lama Raja Bendahara yang ditahan akhirnya meninggal dunia di Langkat. Untuk menghilangkan kekusutan, Pangeran Langkat mencoba mengatasi denagn jalan mengangkat anak raja Bendahara untuk menjadi raja muda di bawah Sutan Muda yang memerintah di Seruwai.

Peristiwa tersebut merupakan suatu perkembangan baru yang tidak dapat dibiarkan oleh Tuanku Hasyim. Tapi sebelum bertindak tegas, Tuanku Hasyim menggunakan kebijaksanaan. Dia berhasil mengawini putri Pangeran Langkat bernama Tengku Ubang. Dalam situasi seperti ini Pangeran Langkat menjadi mudah terpengaruh, namun kepentingan dirinya dan ambisinya lebih kuat dorongannya. Ini disadari oleh Tuanku Hasyim, dan Tuanku Hasyim mengetahui bahwa sewaktu-waktu ada kemungkinan kelak bahwa mertuanya akan meminta bantuan kepada Siak jika kepentingan Pangeran Langkat menginkan hal itu. Karena itu pula Hasyim memperhatikan gerak-gerik Sutan Muhammad Syekh, Kejeruan Stabat imbangan Pangeran Langkat. Sutan Muhammad Syekh (Matsyekh) dapat pula diinsyafkan untuk jangan mau dijajah oleh Belanda.

Demikianlah sebagai kenyataan dalam perkembangan selanjutnya. Matsyekh telah berjuang mempertahankan Langkat aar jangan sampai jatuh ke tangan Belanda. Pada tahun 1860, Tuanku Hasyim sudah mulai berhasil atas tindakannya di Langkat. Pulau Kampai sebagai pelabuhan yang strategis perlu dipersiapkan dalam menghadapi kemungkinan kemungkinan melawan serangan Belanda. Kebetulan persiapan tersebut berjalan lancar. Kejeruan Pulau Kampai dipegang oleh seorang Aceh yang diangkat oleh Cut Bagam, Raja Tamiang. Setelah dia meninggal, anaknya bernama Nya’Asan menggantikannya. Nya’Asan mendukung Hasyim sepenuhnya.

Di Tamiang, Tuanku Hasyim menjatuhkan Sutan Muda yang pro Pangeran Langkat. Tuanku Hasyim mengangkat anak Raja Bandara menjadi Raja di Seruwai. Suasana sedemikian mudah bagi Tuanku Hasyim yang menguasi Langkat dengan bantuan Matsyekh. Untuk keselamatan diri Pangeran Langkat pergi ke Tamiang. Tamiang diperintahkan oleh 4 Orang Raja, yakni:

  1. Raja Bendahara Seruwai, di tepi pantai sebelah sungai Tamiang menghadap ke Hulu.
  2. Kejeruan Karang memerintah di Hulu sebelah Simpang Kanan.
  3. Sutan Muda memerintah sebelah kiri Tamiang menghadap ke Hulu.
  4. Kejeruan Muda memerintah di Hulu sebelah Simpang kiri.

Suasana ini bagi Pangeran Langkat menunjukkan akibat dari kegiatan Tuanku Hasyim yang sudah tidak sabar lagi. Pada bulan Februari 1862, dengan tiba-tiba dia sudah berada di Batubara menemui Datuk Boga. Menurut sumber Belanda, Pangeran Langkat telah melanjutkan perjalanan ke Bengkalis menemui Asisten Residen Belanda, Arnold, untuk membicarakan soal kedudukannya dan mengenai beberapa mandat (sepanjang sumber Belanda tersebut), penejelasan dari pemberian ini tidak diberikan tapi sumber itu mengatakan bahwa Pangeran Langkat menyediakan Pulau Kampai untuk dijadikan basis oleh Belanda.

Tiga bulan sesudah kunjungannya itu, maka pada bulan Mei datanglah Raja Burhanuddin pegawai Belanda. Kedatangan Raja Burhanuddin untuk menyisat ke Sumatera Timur (Mei 1862). Tiga bulan sesudah itu, Netscher datang pertama kali denagn kapal perang ke Sumatera Timur dan mencoba untuk masuk ke Langkat. Percobaannya gagal karena kekuatan pertahanan Tuanku Hasyim. Penyerbuan dari darat pun tidak dapat dilakukan.

Pada kunjungan kedua Netscher ke Sumatera Timur, berhasil mendapatkan tanda tangan Pangeran Langkat. Keinginan Pangeran untuk berdiri sendiri lepas dari Deli dapat dibantu oleh Belanda. Tidak hanya demikian, Pangeran Langkat bisa pula menjadi Sultan yang berdiri sendiri, sekaligus lepas dari Aceh dan Deli, dan masuk dalam kedaulatan Belanda. Maka yang tinggal menjadi persoalan adalah wilayah saja.

Tamiang tidak mungkin masuk Langkat, apalagi karena Kejeruan-kejeruan yang berkuasa di Tamiang tidak ingin diselewengkan kepada Siak. Walaupun mungkin ada persengketaan antara sesama Kejeruan yang berkuasa di Tamiang, tapi dalam satu hal mereka sendiripun menentang masuknya Belanda.

Sebagaimana telah diceritakan, Tuanku Hasyim telah membuat kubu pertahanan Aceh yang lebih baik. Untuk mendapatkan sesuatu ketegasan mengenai kedudukan, Pangeran Langkat harus melihat dengan kenyataan itu. Atas dasar kenyataan inilah Belanda mempertimbangkan untuk menetapkan suatu Kesultanan yang wilayahnya ketika itu dalah Langkat tanpa Tamiang. Pada kunjungan Netscher ketiga, yaitu tanggap 8 Agustus 1863, Residen Belanda telah mencoba menyelesaikan persoalan Langkat. Sekali ini dia datang dengan kelengkapan tentara sekuat dua buah kapal. Dia berharap dengan memukul Tuanku Hasyim di Pulau Kampai, Belanda akan dapat membantu Langkat. Namun, maksudnya tidak berhasil sama sekali. Angkatan perang yang dibawa residen Netscher tidak sanggup mendekati Pulau Kampai.

Pada kunjungan yang keempat Netscher mencoba lagi, sekali ini denan membawa Raja Burhanuddin pembantu Belanda. Sekali inipun Netscher masih tidak dapat berbuat apa-apa. Netscher dan Raja Burhanuddin mencoba “pamran kekuatan” tapi hanya sanggup meneropong bendera Aceh yang berkibar di Pulau Kampai dan tidak berani masuk pelabuhan walaupun ketika itu armada Aceh sedang berada di Utara. Netscher dan Burhanuddin pulang dengan tangan kosong kembali ke Bengkalis. Sesudan selesai ekspedisi perang Belanda 1865 menyerbu Asahan dan Serdang, barulah Belanda berani menghadapi persoalan di Langkat dengan keputusan yang hanya diambil menurut kemauan Belanda sendiri.

Singkatnya, Langkat masa itu masih dibiarkan Belanda. Persiapan pihak aceh baik Tamiang sendiri maupun di bagian Pulau Kampia, yang begitu giatnya digerakkan, tidak memungkinkan Belanda untuk cepat-cepat merelealikasikan pengakuan Pangeran Langkat kepadanya. Dalam persiapan menghadapai ageresi dengan Belanda, pada bulan juni 1864 timbullah suatu insiden di Tamiang. Dua orang saudagar Tionghoa warga negara Inggris yang datang berkunjung ke Tamiang mati terbunuh di sana. Peristiwa ini telah menimbulkan kehebohan di Penang dan di Singapura. Hal ini tidak disangka oleh Belanda. Tewasnya orang Tionghoa ini telah dituup secara besar-besaran oleh Inggris.

Dikalangan resmi mereka, persoalan inipun telah mendapat perhatian penuh pada satu pihak, karena masyarakat Tionghoa telah menuntut ketegasan dari pemerintahan Inggris atas keselamatan warga negara yang bernaung di bawah benderanya. Dilain pihak, kalangan politisi Inggris sedang mendapat pula suatu jalan yang paling tepat utuk menekankan maksudnya.

Surat kabar Inggris serentak berteriak supaya mendatangkan kapal perangnya ke Tamiang untuk menghukum siapa yang sudah begitu berani menghina kekuatan Inggris melalui pembunuhan Tionghoa itu. Langkah diplomatik dan pers Inggris tidak lupa mengupas bahwa walaupun Siak sudah menandatangani pengakuan bertuan kepada Belanda, namun tidaklah benar wilayahnya sampai ke Tamiang. Diperbesarlah kesangsian tentang sahnya perjanjian Siak-Belanda (1854) dan tentang hak kedaulaltan Belanda atas Sumatera Timur. Kesimpulan seperti, tuntutan yang dilancarkan tertuju kepada satu arus yaitu: kapal perang besar Inggris harus didatangkan ke Tamiang untuk langsung menghukum si pembunuh yang salah.

Kampanye yang dilancarkan oleh Inggris itu membuat Belanda sadar bagaiman seriusnya soal Taming itu. Tidak membuang tempo, kalangan atas Belanda mengadakan hubungan dengan kalangan atas Inggris untuk memimnta supaya Inggris jangan sampai mendatangkan kapal perangnya ke Tamiang. Belanda menyatakan bahwa atas dasar perjanjiannya dengan Siak, Tamiang itu sudah masuk ke dalam kedaulatan Belanda. Oleh sebab itu Belandalah yang mengambil tanggung jawab untuk menghukum si pembunuh tersebut.

Atas pemberitahuan tadi Inggris memberi batas waktu. Oleh Residen Riau telah ditugaskan kepada Kontelir Deli Caets de Raet pergi ke Tamiang. Kontelir ini memberanikan diri datang ke Tamiang. Schadee penulis buku ‘De Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust’ menceritakan ketika Caets de Raet tiba di Seruwai (Tamiang Hilir) dilihatnya bendera Aceh berkibar menunjukan bahwa kedaulatan Aceh. Penduduk selalu dalam keadaan pegang senjata dan siap bertempur. Setiap orang yang dicurigai tidak luput dari pemeriksaan. Disebabkan tumbuh kecurigaan pada dua Tionghoa dari penang itulah yang membuatnya terbunuh, setidaknya provokasi kaki tangan Belanda sudah menimbulkan perhatian istimewa atas keduanya.

Caets de Raet seorang yang lunak rupanya, sebab dia biasa dan mau saja disuruh pergi tourne jauh-jauh ke pedalaman, sebagai pernah dia lakukan ketika pergi ke Samosir (1867). Ketika dia masuk Seruwai sudah mendapat pemeriksaan. Cerita orang yang ketika melihatnya pergi ke Tamiang itu, mengatakan bahwa dia diperiksa oleh orang Aceh. Orang Aceh itu dengan matanya terbelalak dan misai dipintai memeriksa kontelir de Raet mengenai kedatangannya.

De Raet menyatakan ingin bertemu Raja Bendahara untuk menanyakan peristiwa terbunuhnya dua orang Tiaonghoa di atas. Sesudah menunggu lama, Raja Bendahara berkenan menerimanya. Mendengar bahwa de Raet bertanya soal yang diluar wewenang Belanda, Raja Bendahara naik pitam atau marah semarah-marahnya.

Raja Bendahara pun bertanya kepada de Raet, ‘’Jika ada soal hamba rakyat Inggris kenapa Belanda yang datang?’’ tanya Raja Bendahara.

De Raet menjawab, ‘’Kami telah menjanjikan akan berhubungan dengan Tengku’’.

Raja Bendahara, ‘’Kenapa harus Belanda yang urus. Apa Belanda tidak tahu bahwa Aceh sudah ada perjanjian persahabatan dengan Inggris? Tamiang adalah wilayah Aceh. Tamiang tidak kenal Belanda dan Belanda boleh pergi saja’’.

De Raet dalam laporannya menceritakan bahwa dia dibentak-bentak oleh Raja Bendaharan dan pulang dengan tangan kosong. Soal ini dilapor terus ke Batavia. Hasilnya atas desakan Inggris, Belanda menawarkan pembayaran ganti tugi untuk ahli waris dua orang Tionghoa yang telah terbunuh. Belanda terpaksa melakukan ini, sebagab jika tidak demika terbuka kesempatan Inggris untuk langsung berurusan dengan Raja Bendahara. Kalau hal itu terjadi, maka artinya Inggris yang akan mendapat bukti bahwa kedaulatan Belanda di Tamiang memang tidak ada sama sekali. adapun kontrak politik yang ditanda tangani oleh Sulan Siak dengan Belanda pada 1 Februari 1854, hanya memasuk-masukkan begitu saja wilayah Sumatera Timur dan Tamiang menjadi sebahagian wilayah Siak. Itu hanyalah tipuan belaka Belanda dan tidak sah sama sekali baik ditinjau dari sudur de jure maupun de facto

Berdasarkan hukum internasional, perbuatan Belanda itu sudah suatu pelanggaran, suatu agresi yang tidak mempunyai dasar sama sekali. Inggris sendiri dalam siaran dan protesnya pun tidak segan-segan mencap Belanda di Sumatera Timur kira-kira sejak tahun 1854 itu suatu agresi, atau paling tidak disebuat oleh Inggris ‘’Encroachments of the Dutch’’.

Dalam pada itu jelaslah bahwa melalui peristiwa-peristiwa sebagai Tamiang Affair itu, Inggris makin dapat mengadakan tekanan yang terus menerus membingungkan Belanda. Tidak sekali dua kali sebetulnya Inggris menggugat apa yang disebutnya agresi Belanda dan pelanggaran-pelanggaran pasal 6 Perjanjian London 1824, di mana ditentukan bahwa masing-masing pihak harus memberitahukan kepada piha lain apabila pihak tersebut melaksanakan perluasan daerah di Sumatera. Secara langsung pada tingkat atasannya, sudah pernah duta besar Inggris untuk Belanda, Milbanke menyampaikan kepada menteri Luar Negeri Belanda di Den Haag. Sepucuk memori dari Inggris yang isinya mengingatkan bunyi pasal 6 yang harus dipatuhi tapi tidak diperdulikan oleh Belanda. Peringantan kedua dari pihak atasan Inggris disampaikan lagi pada bulan April tahun 1863 juga. Nota ke-3 pada tanggal 11 September 1863 dan ke-4 pada tanggal 29 Oktober 1863.

Kesemuanya diharapi oleh Belanda dengan berulang kali menegaskan hak yang diperolehnya dari Perjanjian Sika 1854. Hingga sampailah kepada peristiwa pembunuhan di Tamiang. Peristiwa tersebut membuat Inggris mendapatkan jalan yang lebih panjang. Sebagai kenyataan kemudian, peristiwa-peristiwa di Sumatera Timur dijadikan oleh Inggris sebagai loncatan untuk menarik keuntungan politik dan ekonomi yang banyak dari Belanda.

Mengetahui peristiwa itu sendiri, begitu sibuknya kalangan atasan Inggris memerintahkan supaya ditetapkan saja kapal perang untuk menyerbu Tamiang. Begitu pula cepatnya kalangan atasan bersangkutan menyuruh tunda pelaksanaannya.

Seperti telah kita bicarakan bahwa Belanda mengirim tentaranya tahun 1865 ekspedisi ke Asahan dan Serdang, dan di dalam kesempatan ini Pangeran Langkat mempergunakannya untuk mengkonsolidir kekuasaanya. Bantuan kapal perang Belanda melawan Tuanku Hasyim dan orang-orang Aceh sehingga dapat diusir dari Pulau Kampai dan Sutan Matsyekh dari Stabat yang terus menerus menentang Pangeran Langkat untuk dapat ditawan dan dibuang ke Jawa (Cianjur) oleh Belanda. Kemudian setelah menyetujui suatu pernyataan di mana ia mengakui Sultan Siak sebagai rajanya di bawah kedaulatan Gubernemen, maka Tengku Musa diakui oleh Pemerintah Belanda sebagai Raja Langkat, Pulau Kampai dan Tamiang dengan gelar ‘’Pangeran Indra Diraja Amir’’.

Pada tahun 1869 pengakuan ini, setelahnya janji-janji diperluas lagi. Kini tiba masa yang baik bagi Pangeran Langkat untuk memperkuat kewibawaannya, terlebih- lebih mengingat letak kedudukannya di muara sungai Langkat, sehingga dapat menguasai jalan keluar masuk perdagangan. Iapun mulai mengambil tindakan terhadap raja-raja kecil. Kejeruan Selesai memperoleh pengangkatan di mana dituliskan batas-batas daerahnya dan antara lain hak menjatuhkan hukuman mati kepadanya dicabut. Selesai tidak merasa senang mengenai situasi ini, barulah pada tahun 1872 turut serta dalam aksi pemberontakan terhadap Belanda bersama-sama Datuk Sunggal. Kejeruan Selesai mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Sunggal. Tatkala Kejeruan Selesai meninggal dunia, maka Pangeran Langkat pada waktu itu mengangkat anak dari almarhum Kejeruan Selesai menjadi Kejeruan yang baru. Pangeran lalu mengambil sebagaian kecil daripada daerahnya. Termaksud Bahorok dipaksa untuk menurut perintah Pangeran Langkat.

Pada tahun 1871 kejeruan Bahorok Tengku Abd Rahman mengibarkan bendera merah-putih dan lalu membuat kubu-kubu pertahanan. Kemudian Pangeran Musa mencontoh Siak dengan membentuk Lembaga Datuk Berempat. Kemudian diangkat pula seorang kemanakannya menjadi ketua Dewan ini yang digelarkannya “Tengku Maharaja”, dan dia ini begitu menjadi kepercayaan Pangeran Musa sehingga memainkan rol seakan-akan Raja Muda.

Para Kejeruan dan kepala-kepala distrik tidak boleh berhubungan langsung dengan Pangeran Musa, tetapi pertama-tama mesti menghadap Tengku Maharaja dulu. Pada tahun 1878, Pangeran Musa menyerahkan haknya atas daerah yang terletak sebelah kanan Sei Tamiang kepada pemerintah Belanda. Mengikuti adat Siak, maka Pangeran Musa membentuk Badan “Datuk Berempat” itu sebagai kawan musyawarah. Di daerah yang diambil Pangeran Musa dari Selesai, dinamakannya daerah Sungai Bingai diangkatnya sebagai kepala di situ seorang yang berasal dari Sunggal, dengan titel Bendahara. Tetapi tidak lama Bendahara ini mulai berselisih dengan Pangeran Musa, dan Pangeran Musa mengirim Tengku Maharaja dengan sepasukan laskar untuk menangkap Bendahara tadi. Tengku Maharaja lalu diangkatnya menggantikan Bendahara menjadi kepada Distrik Sungai Bingai. Untuk membantunya, Pangeran Musa mengangkat salah seorang putra dari salah seorang Datuk Berempat sehingga terdapatlah pemerintahan dwi tunggal di Sei Bingai. Pada tahun 1881 Langkat dibagi atas 2 Onderafdeling, maka Pangeran mengangkat anaknya yang tertua, Tengku Sulung, sebagai wakilnya di Langkat Hulu yang beribukota di Binjai.

Pada tahun 1884 Langkat berada langsung di bawah kedaulatan Hindia Belanda. Pada tahun 1887 Pangeran Musa pribadi dinaikkan derajatnya oleh Belanda dengan memperoleh titel Sultan Al Haji Musa Alhamdainsyah dan berbarengan dengan itu ditetapkan putra yang bungsu Tengku Montel alias Tengku Abdul Aziz (dari putra gahara) sebagai penggantinya.

Sultan mengangkat putranya yang lain, Tengku Hamzah, menjadi Pangeran Langkat Hilir, dan akannya yang lain sebagai wakilnya di Pulau Kampai. Pada tahun 1892, oleh karena usianya yang telah lanjut, Sultan Musa mengadakan abdikasi dan mengangkat Tengku Abdul Azis sebagai penggantinya dengan gelar Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahkmatsyah tahun 1893. Baginda Sultan Musa kemudian bersuluk di Pesantren Naqsabandiyah “Babussalam” yang didirikan oleh Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan karena konon Sultan Musa adalah saudara satu susu dengan Syekh Abdul Wahab itu dari Siak asalnya.

Di dalam pemerintah sehari-hari Sultan Abdul Aziz karena masih muda, tidak dapat bertindak sendiri keccuali dengan persetujuan abang-abangnya Tengku Sulung dan Tengku Hamzah. Pada tahun 1896, barulah Sultan Abdul Azis resmi dilantik oleh Residen dan boleh bertindak sendiri. Oleh karena daerah Pangkalan Berandan makin penting dengan adanya sumber minyak, maka Sultan menganggap perlu menumbuhkan Luhak ketiga yang baru. Diambil dari Luhak Langkat Hilir daerah-daerah Besitang, Pulau kampai, Pangkalan Berandan dan Lepan dan dijadikan masuk Luhak Teluk Haru dengan kedudukan Pangkalan Berandan dan dipimpin oleh putra dari Tengku Sulung. Tengku Sulung sendiri minta berhenti sebagai kepala Luhak Langkat Hulu dan ia digelar Mangkubumi. Sebagai gantinya di Langkat Hulu diangkat Tengku Adil putra dari Tengku Hamzah.

Pada tahun 1899 putra tertua dari Sultan, Tengku Mahmud, ditetapkan sebagai pengganti raja dengan gelar Raja Muda. Tengku Hamzah digantikan oleh putra keduanya Tengku Jambak sebagai Pangeran Langkat Hilir. Berbeda dengan Deli dan Serdang, bentuk otokratis dalam pemerintahan lebih menonjol di Langkat, di mana pemerintahan Kerajaan dibentuk oleh Sultan sendiri. Beda antara Langkat dan Deli dalam bentuk pemerintahan dan posisi Sultan dicerminkan dalam peribahasa: Di Langkat Raja menanti, Orang Besar datang. Di Deli Raja Datang, Orang Besar Menanti, dengan kata lain di Deli kedaulatan Sultan dipikul oleh Datuk Berempat yang juga Raja Urung di daerahnya dan Sultan didak lain daripada primus interpares.

Dalam Acte van Verband dengan pemerintah Hindia Belanda 1893 pasal 5 disebutkan bahwa Sultan Abdul Azis harus berunding dengan Orang Besar menentukan putra mahkota. Jika Sultan sakit, maka Dewan Diraja atau Kerapatan Besar akan mengambil alih sementara kekuasaan.

Pada masa pemerintahan Sultan Musa tahun 1876-1879, baginda mempunyai 4 orang wakilnya, yaitu di Batang Serangan, Tamiang, Besitang, dan Salapian, kemudian seroang Kepala menghimpun Kerapatan, seroang wakil di Sei Lepan dan Datuk Besitang. Pada zaman Sultan Abdul Aziz tidak ada lagi wakil di Batang Serangan, distrik itu disatukan dengan distrik Tanjung Pura di bawah kepala Luhak Langkat Hilir. Wakil di Tamiang dihapus, sejak Tamiang keluar dari Langkat dan masuk residensi Aceh. Wakil di Besitang digantikan Kepala Luhak Teluk Haru. Wakil di Salapian digantikan oleh Datuk Salapian yang bukan Orang Besar. Distrik Pulau Sembilan disatukan dengan Pulau Kampai, dan ditumukna pula Distrik Gebang.

Setelah semua panjang lebar mengenai sejarah kerajaan Langkat, perlu diketahui juga bahwa nama “Langkat” diambil dari sebauh pohon yang buahnya kelat. Pada zaman dahulu pohon ini banyak sekali di sekitar Kota Dalam.

Semua isi dalam tulisan ini dikutip dalam buku karya Sultan Serdang Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Yayasan Kesultanan Serdang. Medan, 2006.

PASCA “REVOLUSI SOSIAL” 1946 DI SUMATERA UTARA

Tidak Seperti Istana Kesultanan Langkat yang Dibakar Pemberontak, Istana Maimun Deli (Medan) dan Istana Serdang, Selamat dari Pembakaran

Tidak Seperti Istana Kesultanan Langkat yang Dibakar Pemberontak, Istana Maimun Deli (Medan) dan Istana Serdang, Selamat dari Pembakaran

Budi Agustono*

Sumatera Utara masa lampau adalah bekas entitas politik Kesultanan Melayu Sumatera Timur. Sebelum kedatangan bangsa Barat, terdapat kerajaaan Langkat, Deliserdang dan Asahan, kemudian berdiri Kualuh, Kotapinang, Bilah dan Panai. Wilayah kerajaan-kerajaan ini terletak di pesisir pantai dan aktivitas kesehariannya bersandar pada kehidupan pantai. Pada masa itu para pemimpin kerajaan ini untuk menopang denyut kehidupan ekonominya melakukan perdagangan antara satu daerah dengan yang lain.

Perdagangan memerlukan moda transportasi yang kala itu didominasi kapal atau perahu besar. Para pemimpin kerajaan ini memiliki kapal atau perahu besar dan sebagai pemilik kapal mereka menjalankan kegiatan dagangnya menjelajah ke berbagai tempat. Aktivitas perdagangan di pesisir pantai membuka wilayah kerajaan ini bersentuhan dengan penguasa dari kerajaan lain dan mempertemukan pedagang mancanegara seperti India, Arab, China, Persia dan sebagainya dengan budaya lokal. Pertemuan antar budaya ini menghasilkan persilangan budaya. Persilangan budaya ini memerkaya khazanah budaya lokal sehingga budaya yang dibawa beragam pedagang ini didialogkan dan disintesiskan sehingga terjadi saling silang budaya. Saling silang budaya ini memerkaya budaya lokal (pesisir pantai).

Saling silang budaya di antara kerajaan Melayu ini dengan berbagai komunitas mancanegara waktu tercermin dari terbangunnya hubungan ekonomi dan politik dengan Aceh. Aceh di masa abad ke delapan belas Aceh merupakan kerajaan besar dan berpengaruh dalam perdagangan dan politik. Demikian kuat pengaruh Aceh terhadap kerajaan-kerajaan sampai-sampai jika kerajaan-kerajan ini melakukan suksesi kepemimpinan harus mendapat persetujuan Aceh. Begitu juga dengan hubungan dan jaringan keagamaan antara kerajaan ini dengan negeri Islam di Timur Tengah cukup memadai. Jaringan-jaringan intelektual relijius ini dengan Makkah misalnya telah dijalin paruh pertama abad ke sembilan belas.

Kerajaan Kualuh yang merupakan pecahan dari kerajaan Asahan misalnya, ketika berada di bawah pemerintahan Sultan Ishak telah membangun hubungan dengan penyebar agama Islam kesohor Syeh Wahab Rokan, yang kemudian menyebarkan Islam ke wilayah sekitar Kualuh. Sepeninggal Sultan Ishak, pengaruhnya Islam bukannya menyurut, tetapi jalinan jaringan intelektual dengan ulama-ulama besar di Timur Tengah, khususnya Makkah, diteruskan putra Sultan Ishak, Nikmatullah. Seharusnya ketika Sultan Ishak berpulang, Nikmatullah menggantikan ayahnya memerintah Kualuh. Tetapi karena belum cukup umur, pengganti Sultan Ishak diteruskan oleh saudara dekatnya. Namun ketika Nikmatullah beranjak dewasa Nikmatullah belajar agama di Makkah sekaligus mendirikan padepokan agama di kota suci ini.

Jika ada orang dari kerajaan-kerajaan lainnya belajar agama ke Makkah, mereka tinggal di padepokan agama Sultan Nikmatullah. Setelah diarasa cukup belajar agama, Nikmatullah kembali ke Kualuh. Sekembalinya dari Makkah, selang beberapa lama Nikmatullah diangkat menjadi Sultan Kualuh. Sama seperti Kualuh, kerajaan Deli, Serdang, Langkat, Asahan, Kotapinang, dan Bilah mengalami perkembangan yang sama, terutama dalam birokrasi pemerintahan.

Dalam struktur kerajaan, Sultan berada di puncak kekuasaan. Para Sultan itu tidak saja sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin agama, tetapi juga pemimpin adat. Sebagai pemimpin adat Sultan tidak saja sebagai orientasi peradaban tetapi juga sebagai pemilik tanah. Sewaktu berlangsung perubahan struktural dengan runtuhnya jagad maritim (perdagangan) sebagai sumber peradaban bangsa digantikan dengan investor kolonial yang mencengkeram kerajaan Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Kualuh, Kotapinang, Panai dan sebagainya melalui kontrak politik yang menguntungkan sehingga mengubah kerajaan menjadi mitra politik kekuasaan kolonial. Sebagai mitra politik para kerajaan bekerjasama sepenuhnya dengan pemerintah Belanda.

Stigma Politik

Pemerintah Belanda tidak hanya mendelegitimasi Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Kualuh, Kotapinang, Bilah dan Panai, tetapi membawa keberuntungan ekonomi. Tidak lama setelah kerjasama dengan kerajaan-kerajaan yang kemudian dikenal sebagai Kesultanan Melayu, modal asing kolonial Belanda mengalir kencang ke wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan itu. Karena pemimpin adat di wilayah juridiksinya, ketika menggelinding komersialisasi dan investasi Belanda dan negara lainnya dalam perkebunan, para investor dari berbagai negara itu menyewa tanah kepada para Sultan yaitu tanah hak ulayat orang Melayu yang disebut tanah konsesi untuk keperluan ekspansi perkebunan.

Tanah konsesi ini mengalirkan keuntungan ekonomi bagi para Kesultanan Melayu. Di masa inilah istana-istana dibangun, masjid besar yang megah dan membanggakan didirikan, keluarga bangsawan mengecap pendidikan modern di kota-kota besar, pegawai birokrasi kerajaan dan perwakilan pemerintahan Belanda di Sumatera Timur diisi orang Melayu, adat resam dan budaya Melayu menjadi preferensi kultural, kesenian seperti bangsawan dan ronggeng berkembang pesat dan selalu ditampilkan di istana. Sebagai pemimpin agama, kesultanan melindungi agama Islam di wilayahnya. Dalam batas tertentu kawula Melayu karena mendapat keistimewaan ekonomi kehidupan rakyatnya membaik dan “sejahtera”.

Adanya sumber pendapatan baru tidak hanya dimanfaatkan untuk menegakkan kebudayaan, tetapi juga diinvestasikan untuk perbaikan hidup rakyat di wilayah kesultanan. Sultan Serdang misalnya mengembangkan pertanian sawah dengan memerbaiki saluran irigasi untuk perbaikan hidup rakyatnya. Kesultanan Kualuh untuk melindungi warga yang hendak menimba ilmu agama mendirikan pesanggrahan di Makkah. Kesultanan Langkat memproteksi ajaran sufi dengan memberi ruang kepada Syech Abdul Wahab Rokan dan keturunannya mengembangkan tarikat Naqsyabandiah di Babussalam Langkat. Di masa inilah kebesaran, kejayaan dan kebudayaan Melayu sebagai orientasi peradaban mengalami pasang naik.

Namun, kebesaran dan kejayaan kesultanan Melayu mulai mengalami gonjang ganjing politik setelah diaspora nasionalisme menembus Sumatera Timur. Aneka macam ideologi (Islam, sosialisme, dan komunisme) ini didukung kaum pendatang (Jawa, Mandailing, Batak Toba, Minang, dan Aceh) yang bekerja di berbagai sektor kehidupan. Tetapi para pendatang mengalir ke Sumatera Timur ada yang sengaja didatangkan dari tempat lain, tetapi ada juga yang mencari peruntungan hidup di Sumatera Timur yang masa itu menjadi magnit sumber kehidupan karena ekspansi perkebunan Belanda yang sangat berkembang pesat. Para pendatang, migran, tidak saja  menjadi pemimpin partai atau sayap partai yang semakin radikal menggugat bangunan masyarakat Melayu yang relatif “sejahtera” dan tenteram waktu itu, tetapi ada juga yang mendapat kesempatan bekerja di birokrasi kesultanan (swapraja) dan menjadi guru agama.

Kemudian memasuki masa Jepang dan menjelang kemerdekaan situasi politik makin memburuk. Suasana kecemburuan, kebencian dan kemarahan terhadap kesultanan Melayu sangat dirasakan. Ketegangan ideologis yang bertindihan dengan suasana kecemburuan, kebencian, kemarahan dan tentu saja motif perampokan terhadap kesultanan Melayu mengalami puncaknya sewaktu meletup kekerasan politik yang dikenal sebagai revolusi sosial 1946.

Meletupnya “revolusi sosial” Maret 1946 yang menyapu Kesultanan Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Kualuh, Kotapinang, Bilah dan Panai tidak dapat membongkar bangunan masyarakat Melayu yang beradat dan berbudaya yang telah membumi dan berurat berakar di wilayah ini, tetapi hanya memproduksi kekerasan politik. Para Sultan, bangsawan dan kerabatnya disiksa, diperkosa, dibantai dan dibunuh. Harta kekayaan yang tak ternilai harganya itu dijarah dan dirampok.

Istana sebagai pusat orientasi kebudayaan Melayu yang megah itu dibakar. Penjarahan, perampokan, penyiksaan, pemerkosaan, pembantaian dan pembunuhan dilakukan secara terbuka dan terencana, malah para eksekutornya dikenal di kalangan lingkungan kesultanan dan mereka berkhianat kepada kesultanan. Akibat “Revolusi sosial” 1946 ini warisan budaya yang ditegakkan ratusan tahun lalu dihancurkan oleh mereka yang anti kesultanan. Jargon jarah hartanya, bunuh bangsawan, dan perkosa perempuan menunjukkan mengemukanya motif kecemburuan, penjarahan dan perampokan terhadap kesultanan Melayu.

Namun di atas semua itu akibat dari “revolusi sosial” 1946 pertama, menyebabkan hilangnya kaum sekolahan etnik Melayu sehingga tidak mampu berkompetisi dalam pengisian jabatan birokrasi di masa sesudahnya. Kedua, “revolusi sosial” memproduksi rasa traumatik berkepanjangan membuat orang Melayu diselimuti kecemasan dan ketakutan menyatakan diri sebagai orang Melayu. Ketiga, pasca “revolusi sosial” mengakibatkan orang Melayu mengalami peminggiran dan terdiskriminasi di pemerintahan dan perkebunan karena stigma anti republik.

Keempat, situasi politik pascaturbulensi politik itu menyebabkan identitas orang Melayu tercerabut dari akarnya, bahkan meminjam bahasanya Tengku Zainul Abidin Mansyur Syah, pemangku adat kerajaan Kualuh dan Achyar Tambusai, Wakil Ketua Umum Laskar Melayu, orang Melayu mengalami inferioritas diri akibat beban sejarah yang dipanggulnya. Seolah orang Melayu anti republik dan feodal, padahal banyak bangsawan Melayu yang pro republik dan berjuang memertahankan republik.

Stigma politik yang telah melanggar hak asasi manusia ini sangat membebani orang Melayu pasca “revolusi sosial” 1946. “Revolusi sosial” yang berkecamuk saat itu mengalami pembiaran dan bahkan pemerintah republik waktu itu hanya berdiam diri tanpa mengambil tindakan cepat mengatasi kekerasan politik tersebut. Sesungguhnya dalam perspektif hak asasi manusia, telah terjadi pelanggaran kemanusiaan berat di masa itu. “Revolusi sosial” 1946 tidak saja meninggalkan ingatan kolektif tentang kekerasan politik di awal berdirinya republik di wilayah ini, tetapi juga mengikis stigma politik.

Bersamaan dengan perubahan sosio politik Sumatera Utara, stigma politik warisan “revolusi sosial” yang dihadapi orang Melayu perlahan menghilang. Sama seperti kelompok etnik lainnya, orang Melayu yang menjadi bagian masyarakat Indonesia tiada hentinya menata soliditas dan jatinya dirinya dengan berdiaspora ke ruang publik. Inilah modal kultural dalam memerkuat masyarakat majemuk di Sumatera Utara.

*Budi Agustono adalah Sekretaris Program Studi Magister Sejarah FIB USU

Dikutip dari Waspada 22 September 2014

TENGKU AMIR HAMZAH SANG RAJA PENYAIR

Penyair dan Pahlawanan Nasional Asal Langkat, Tengku Amir Hamzah

Penyair dan Pahlawanan Nasional Asal Langkat, Tengku Amir Hamzah

Di lahirkan pada 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, ibukota Kerajaan Kesultanan Langkat, darah bangsawan Melayu mengalir di dalam diri Tengku Amir Hamzah. Meskipun merupakan keturunan bangsawan terhormat pada masanya, namun dalam diri seorang Tengku Amir Hamzah adalah pribadi yang bersahaja, relijius, dan cinta pada persatuan Indonesia.

Sebagai keluarga dari kerabat Sultan, Amir pun dapat meraih pendidikan tinggi yang pada masa penjajahan tidak semua orang dalam meraihnya. Amir sempat bersekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat SMP di Medan, lalu pindah melanjutkan pendidikannya MULO di Jakarta. Setelah lulus MULO Amir masuk ke AMS (Algemeene Middelbare School) sederajat SMA di Solo, dan kembali lagi ke Jakarta melanjutkan (Recht Hogeschool), Sekolah Tinggi Hukum. Di tengah masa perantauanya di Jawa, Amir kehilangan kedua orangtua yang dicintainya. Pertama ia kehilangan sang ibunda, lalu menyusul ayahandanya ketika Amir menempuh studi Recht Hogeschool. Hingga biaya pendidikan Amir pun ditanggung oleh pamannya.

Bersama rekan sesama orang Sumatera lain yaitu Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane, mereka mendirikan sebuah penerbitan majalah bernama Poedjangga Baroe, yang tujuannya adalah memberikan dorongan terhadap terbentuknya kebudayaan Indonesia baru, baik dalam hal budaya maupun sastra. Tengku Amir Hamzah sendiri terlibat dalam bidang sastra khususnya puisi. Dari sinilah namanya semakin dikenal sebagai seorang penyair hebat dalam sejarah modren kesusasteraan Indonesia.

Tengku Amir Hamzah adalah penyair dalam makna sesungguhnya. Ia memiliki pribadi yang halus, santun serta romantis. Itulah mengapa oleh kritikus sastra Indonesia H.B Jassin, Tengku Amir Hamzah dianggap sebagai seorang Raja Penyair Poedjangga Baroe, karena ketekunan dan konsistensi Amir dalam bidang kepenyairan. Dua buku karya puisinya yang terkumpul dalam Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu (1941), masih terus menjadi bahan kajian kesusasteraan Indonesia.

Selain di bidang sastra, Tengku Amir Hamzah adalah seorang nasionalis Indonesia yang turut dalam pergerakan melawan bangsa penjajah. Keterlibatannya dalam gerakan perlawan bermula setelah ia melanjutkan studi di Jawa. Bahkan ketika para pemuda Indonesia bersatu melaksanakan Kongres Pemuda tahun 1928, Amir Hamzah adalah orang yang pertama kali memperkenalkan Peci kepada Bung Karno. Peci adalah songkok kepala khas lelaki Melayu. Namun, karena keterlibatannya yang semakin dalam di pergerakan pemuda, menyebabkan pamannya yang merupakan Sultan Langkat, memanggil Amir kembali ke Langkat dan menikahkannya dengan putri sultan. Amir pun kemudian diangkat menjadi seorang residen (setingkat wakil kepala daerah) yang berkedudukan di Binjai, yang masuk dalam wilayah Kesultanan Langkat.

Ketika terjadi Revolusi Sosial 1946 di Sumatera Timur, yang digerakan oleh kelompok aktifis Komunis dan Sosialis yang anti terhadap kelompok Feodalis (kerajaan/kesultanan) dan berserta kerabatanya, karena tuduhan telah menyengsarakan rakyat dan memeras rakyat yang mengakibatkan kesusahan atas diri mereka. Maka terjadilah tindakan huru-hara dengan menculik para keluarga dan kerabat kesultanan. Amir sendiri yang merupakan residen tidak berlari sembunyi menghadapi penculikan tersebut, hal ini karena keyakinan dalam diri Amir bahwa ia adalah seorang nasionalis sejati dan cinta tanah air Indonesia. Itu telah ia buktikan sejak ikut pergerakan pemuda di Jawa. Meskipun pada akhirnya Amir diculik dan dibawa ke Perkebunan Kuala Begumit, bersama para tawanan dan kerabat kesultanan Amir dibunuh secara keji oleh sesama kaum sebangsa yang ia cintai. Revolusi memakan daging anaknya sendiri.

Pusara Tengku Amir Hamzah di Komplek Masjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat

Pusara Tengku Amir Hamzah di Komplek Masjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat

Atas jasa-jasanya dalam pembangunan kesusasteraan Indonesia, dan perjuangannya terhadap penjajah yang telah digelutinya di pergerakan pemuda, akhirnya Amir mendapat pengakuan dari pemerintah dan mengangkatnya sebagai salah satu pahlawan nasional. Kini pusara Sang Raja Penyair dan Pahlawan Nasional itu, tenang di sebelah Masjid Azizi di Tanjung Pura. Di sebelah masjid itu juga terdapat sebuah museum yang mengumpul koleksi karya sang penyair.

Berikut ini adalah kumpulan puisi Tengku Amir Hamzah yang terkumpul dari dua buku karyanya Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu.

Kumpulan puisi dalam buku Nyanyi Sunyi (1937)

Sunyi itu duka

Sunyi itu kudus

Sunyi itu lupa

Sunyi itu lampus

PADAMU JUA

 Habis kikis

Segela cintaku hilang terbang

Pulang kembali padamu

Seperti dulu

Kaulah kendil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan

Sabar, setia selalu

Satu kekasihku

Aku manusia

Rindu rasa

Rindu rupa

Di mana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata mengkai hati

Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu

Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar

Sayang berulang padamu jua

Engkau pelik menarik ingin

Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

Lalu waktu – bukan giliranku

Mati hari – bukan kawanku…

HANYA SATU

 Timbul niat dalam kalbumu:

Terban hujan, ungkai badai

Terendam karam

Runtuh ripuk tamanmu rampak

Manusia kecil lintang pukang

Lari terbang jatuh duduk

Air naik tetap terus

Tumbang bungkat pokok purba

Teriak riuh dendam terbelam

Dalam gegap gempita guruh

Kilai kilat membelah gelap

Lidah api menjulang tinggi

Terapung naik jung bertudung

Tempat berteduh nuh kekasihmu

Bebas lepas lelang lapang

Di tengah gelisah, swara sentosa

Bersemayam sempana di jemala gembala

Juriat jelita bapaku iberahim

Keturunan intan dua cahaya

Pancaran putera berlainan bunda

Kini kami bertikai pangkai

Di antara dua, mana mutiara

Jauhari ahli lali menilai

Lengah langsung melewat abad

HANYUT AKU

Hanyut aku, kekasihku!

Hanyut aku!

Ulurkan tanganmu, tolong aku.

Sunyinya sekelilingku!

Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati, tiada air

Menolak ngelak.

Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku sebabkan

diammu.

Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam.

Tenggelam dalam malam.

Air di atas mendidih keras.

Bumi di bawah menolak ke atas.

Mati aku, kekasihku, mati aku!

Sunting sanggul melayah rendah

                 Sekali sajak seni sedih

Kumpulan puisi dalam buku Buah Rindu (1941)

Remukkan rindu

Redamkan duka

Rentapkan sendu

       Hari kelana

 

 

KENANG-KENANGAN

 Tambak beriak intan terberai

Kemuncak bambu tunduk melambai

Maskumambang mengisak sampai

Merenangkan mata Kesuma Teratai

Senyap sentosa sebagai sendu

Tunjung melampung merangkum kupu

Hanya bintang cemerlang-mengambang

Di awang terbentang sepanjang pandang

Dalam sunyi kudus mulia

Murka kanda di bibir kesumba

Undung dinda melindung kita

Heran kanda menakjubkan jiwa

Dinda berbisik rapat di telinga

Lengan melengkung memangku kepala

Putus-putus sekata dua:

“Kunang-kunang mengintai kita”…

MALAM

 Daun bergamit berpaling muka

Mengambang tenang di laut cahaya

Tunduk mengurai surai terurai

Kelapa lampai melambai bidai

Nyala pelita menguntum melati

Gelanggang sinar mengembang lemah

Angin mengusap menyayang pipi

Balik-berbalik menyerah-nyerah

Air mengalir mengilau-sinau

Riak bergulung pecah-memecah

Nagasari keluar meninjau

Membanding purnama di langit cerah

Lepas rangkum pandan wangi

Terserak harum pemuja rama

Hinggap mendakap kupu berahi

Berbuai-buai terlayang lena

Adikku sayang berpangku guring

Rambutmu tuan kusut melipu

Aduh bahagia bunga kemuning

Diri dihimpit kucupan rindu

TINGGALLAH

 Tinggallah tuan, tinggallah bonda

Tanah airku Sumatera raya

Anakda berangkat ke pulau Jawa

Memungut bunga suntingan kepala

Pantai Cermin rumu melambai

Selamat tinggal pada anakda

Rasakan iu serta handai

Mengantarkan beta ke pangkalan kita

Telah lenyap pokok segala

Bondaku tuan duduk berselimut

Di balik cindai awan angkasa

Jauh hatipun konon datang meliput

Selat Melaka ombaknya memecah

Memukul kapal pembawa beta

Rasakan swara yang maha ramah

Melengahkan anakda janganlah duka

Layang-layang terbang berlomba-lomba

Menuju pulau kunjunjung tinggi

Dalam hatiku kujadikan duka

Menyampaikan pesan katan hati

Selamat tinggal bondaku Perca

Panjag umur kita bersua

Gobahan cempaka anakda bawa

Jadikan gelang di kaki bonda

Gelang Cempaka pujaan Dewa

Anakda peetik di tanah Jawa

Akan Bonda penambah cahaya

Akan Ibu penambah mulya.

KUSANGKA

 Kusangka cempaka kembang setangkai

Rupanya melur telah diseri…

Hatiku remuk mengenang ini

Wasangka dan was-was silih berganti

Kuharap cempaka baharu kembang

Belum tahu sinar matahari…

Rupanya terati patah kelopak

Dihinggapi kumbang berpuluh kali

Kupohonkan cempaka

Harum mula terserak……

Melati yang ada

Pandai tergelak…..

Mimpiku seroja terapung di paya

Teratai putih awan angkasa….

Rupanya mawar mengandung lumpur

Kaca piring bunga renungan…..

Igauanku subuh, impianku malam

Kuntum cempaka putih berseri…

Kulihat kumbang keliling berlagu

Kelopakmu terbuka menerima cembu

Kusangka hauri berudung lingkup

Bulumata menyangga panah Asmara

Rupanya merpati jangan dipetik

Kalau dipetik menguku segera.

Ke bawah peduka Indonesia-raya

Ke bawah lebu Ibu-ratu

Ke bawah kaki Sendari-dewi

SEJARAH SINGKAT KABUPATEN LANGKAT

Sebelum menjadi sebuah kabupaten seperti sekarang, Langkat dahulunya merupakan salah satu kekuatan di wilayah pesisir pantai timur Sumatera, yang masih di bawah pengaruh kekuasan Kesultanan Deli. Pada tahun 1884 Langkat berdaulat dan menjadi sebuah kerajaan yang berdiri sendiri, kedaulatan Langkat didapat setelah menandatangani kesepakatan dengan Belanda (yang pada saat itu datang sebagai penjajah) yang menandakan Kesultanan Langkat di bawah kedaulatan Hindia Belanda. Maka pada tahun 1887 Pangeran Musa pribadi dinaikkan derajatnya oleh Belanda dengan memperoleh titel Sultan Al Haji Musa Almahadainsyah, sebagai sultan Langkat yang pertama. (Sinar, 2006:113)

Ketika Sultan Musa mangkat, maka jabatanya sebagai sultan Langkat dilanjutkan oleh anaknya bernama Tengku Abdul Azis, yang pada tahun 1893 mendapatkan gelar Sultan Abdul Azis Abdul Jalil Rakhmatsyah.