Tradisi Kesusasteraan di Besilam

Oleh: Abdul Habib Ashary (Peneliti Mandiri)

Artikel ini pertama kali terbit di Analisa Medan 3 Mei 2015.  tim Visitlangkat mengutipnya dan melakukan sedikit editan pada beberapa bagian, dan memasukkannya ke dalam blog ini sebagai sumber pengetahuan pembaca.

Dalam tradisi Dunia Melayu, ada seperti “keharusan” bagi para penyebar ilmu agama, bahwa seorang alim-ulama juga harus memiliki pengetahuan dalam bidang sastra. Beberapa nama alim-ulama dalam Dunia Melayu yang bisa disebutkan memiliki pengetahuan sastra yang cakap seperti Raja Ali Haji, Nurudin Ar-Raniri, dan Hamzah Fansuri. Selain nama-nama tersebut, kiranya patut dipertimbangkan nama ulama terkemuka Langkat, yaitu Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan (1811-1926).

Syekh Abdul Wahab Rokan (SAWR), atau biasa disebut “Tuan Guru Babussalam (Besilam)” adalah cerdik pandai yang memiliki pengetahuan luas. Sumbangan pendidikannya pada umat tidak hanya di bidang agama, namun juga mencakup sastra. Tidak banyak yang menyadari bahwa, sejak pertama kali merambah hutan belantara dan mendirikan perkampungan yang sekarang dikenal Perkampungan Besilam, SAWR juga turut mengembangkan suatu tradisi kesusastraan (syair) yang kini masih terus dilestarikan oleh para murid-muridnya lintas generasi.

Syair adalah salah satu bentuk sastra lama. Di dalamnya ada narasi yang diceritakan. Sebab itu pada syair, rima tersusun sederhana, a-a-b-b atau a-a-a-a dan b-b-b-b. Bagi orang yang membaca dan mendengarkan adalah menangkap dan mengikuti “isi” cerita atau kalimat dari bait ke bait (Goenawan Mohamad, 2011).

Dalam masyarakat nusantara, syair menjadi bagian dari kebudayaan yang bersifat lisan (verbal). Sebelum sampai pada kebudayaan cetak (tulisan), syair pada umumnya dibacakan, diperdengarkan, dan diresapi apa isinya secara terus menerus. Begitupun dengan tradisi kesusasteraan di Besilam, awalnya syair karya SAWR dibacakan sendiri oleh sang Tuan Guru dan didengarkan oleh para murid dan masyarakat di kampung Besilam. Hal ini merupakan cara untuk mengenalkan sastra kepada masyarakat. Dan ketika dikenalnya kebudayaan cetak, syair-syair SAWR ditulis ke dalam aksara Arab-Melayu. Tradisi penulisan aksara Arab-Melayu di Besilam telah berlangsung lama dan masih berlanjut sampai kini. Hingga wafatnya sang Tuan Guru, syair-syair ciptaannya masih terus dibacakan dengan lantunan lagu nan indah, terutama menjelang masuk sholat zuhur.

Syair dalam kesusasteraan Melayu memiliki kedudukan yang saling mengikat satu dan lainnya dengan misi penyebaran agama Islam. Hal ini dikarenakan fakta bahwa bahasa Melayu berperanan sebagai salah satu wahana pengantar agama Islam. Pengaruh Islam yang kuat terhadap sastra Melayu tersebut menggambarkan bahwa konsep “Melayu” sinonim dengan “Muslim” (Sweeney, 1980). Atau dalam perumpamaan lainnya, Islam dan Melayu ibarat gigi dengan gusi.

Maka tidak mengherankan jika seorang alim-ulama juga memiliki kemampuan dalam menciptakan sebuah karya sastra seperti syair, karena syair telah lama menjadi bagian dari kebudayaan kita, sehingga ini dapat memudahkan syiar Islam, dan penerimaan paham ajaran Islam dapat lebih diterima masyarakat.

Sumber dari lingkungan pesantren di Besilam menyebutkan bahwa SAWR menghasilkan banyak karya sastra, namun karena kendala pendokumentasian, banyak dari karya sastra sang Tuan Guru yang tidak dapat diketahui khalayak. Salah satu hasil karya sastra SAWR yang hingga kini terus diamalkan adalah Munajat.

Munajat ini berisikan kumpulan syair-syair yang diciptakan sendiri oleh SAWR, di dalamnya terdapat 45 bagian yang menceritakan pengamatan SAWR terhadap kehidupan, pujian kepada tokoh penyebar agama Islam, terutama para guru SAWR yang telah mengajarkan ilmu tarekat, serta muasal penyebaran tarekat Naqsabandiaah di Besilam.

Jika dilihat berdasarkan proses lahirnya syair karya SAWR, tak lepas berkat pendekatan mesra sang Tuan Guru kepada Sang Khalik melalui tasawuf. Dalam tradisi kesusasteraan Melayu, pandangan hidup, sistem nilai, dan resepsi, telah menjadi tema dalam karya-karya sastra Melayu yang paralel dengan tradisi tasawuf Islam (Barginsky, 1998). Berikut adalah bait syair SAWR.

                        Kamilah ini orang berdagang

                        Dosa kami banyak amal kami kurang

                        Asyikkan dunia pagi dan petang

                        Haraplah diampuni ya Allah Tuhan Penyayang

Bagian syair ini menunjukkan pengamatan SAWR sebagai “anak dagang” dalam menjalankan kehidupan sebagai manusia di dunia, di mana pokok permasalah manusia (pada umumnya) di dunia: terlalu sibuk mengejar dunia (pagi dan petang).

Bait pada syair di atas masih relevan dengan kehidupan masyarakat kita hari ini, bahwa banyak dari kita masih menganggap dunia dan akhirat adalah dua hal yang berpolarisasi atau saling bertentangan. Orang khawatir menghadapi dunia hingga mengejar dunia habis-habisan, karena mengira kalau akhirat yang dikejar dunia tak didapatkan. Akan hal seperti ini, para alim-ulama punya pertanyaan; Apakah hidup ini untuk mengejar dunia atau akhirat? Jika jawabnya dunia, maka kesalahan ada pada diri manusia tersebut, karena telah menjadikan dunia sebagai tujuan. Kalau jawabnya akhirat, maka sepantasnya manusia tak perlu berkeluh kesah tentang dunia.

Lantas apa yang menjadi resep agar selamat di dunia dan di akhirat? Adalah ridha dan rahmat serta syafaat Nabi Muhammad yang akan memberikan jalan keselamatan bagi manusia. SAWR berujar dalam syairnya.

                        Haraplah hambamu dikurnia selamat

                        Berkat syafaat Nabi Muhammad

                        Siang dan malam beroleh keridhaan dan rahmat

                        Sehingga sampai hari kiamat

Memperoleh syafaat juga bisa didapatkan dari orang-orang yang sepanjang hidupnya terus menanam kebaikan, terutama para guru yang telah berjasa mengajarkan banyak ilmu pengetahuan. Penghargaan SAWR kepada gurunya (Syekh Sulaiman Zuhdi) yang telah mengajarkan ilmu tarekat Naqsabandiah juga disampaikan dalam syairnya ketika merintis perkampungan Besilam. Bait syair tersebut seperti berikut.

                         Ya Haiyu ya Qaiyum ya Allah

                        Jauhkan bala hampirkan nikmah

                        Kampong kami ini diamankanlah

                        Berkat Tuan Syekh Sulaiman Zuhdi wali yang megah

Dalam sebuah karangan tentang riwayat SAWR yang ditulis Ahmad Fuad Said (1976), SAWR berujar tentang penghormatan kepada guru bahwa, “barang siapa hormat kepada guru, rezekinya murah, umur panjang, mendapat sesuatu pekerjaan dan selamat dunia dan akhirat. Sebaliknya siapa yang durhaka kepada guru, hidupnya susah, ilmu tiada berkat, bermacam-macam bala akan menimpa dan mudah mati tanggal iman”.

Tradisi kesusasteraan di Besilam, tentu juga tidak bisa dilepaskan dari kehidupan maktab (pesantren) yang dirintis oleh SAWR, yang juga turut mempengaruhi geliat sastra kepada para murid-muridnya. Kesusasteraan Melayu di lingkungan pesantren di Besilam pada hakikatnya bersumber dari sastra Islam yang bahannya adalah bahasa Arab. Sementara tulisan Arab diserap menjadi tulisan bahasa Melayu karena peran sosialnya, sebagai lambang bahwa teks yang bersangkutan termasuk peradaban yang ideologi sentralnya adalah agama Islam, dengan kitab dan Nabi-nya (Rodinson, 2005). Belum lagi sinomim “Melayu” sama dengan “Muslim” seperti yang disebutkan di atas, semakin memudahkan kesusasteraan Arab diterima oleh masyarakat Melayu, yang pada gilirannya karya-karya sastra Arab seperti novel, drama, baik fiksi dan nonfiksi diterima di lingkungan pesantren (Fadlil, 2011).

Geliat sastra di kalangan murid pesantren di Besilam dicerminkan dalam muqaddimah sebelum sholat Jum’at dimulai, di mana setelah pembacaan Munajat  selesai, dilanjutkan dengan adzan, maka sebelum masuk adzan yang kedua, bilal menyampaikan nasehat tentang faedah sholat Jum’at dan nasehat-nasehat baik lainnya. Nasehat-nasehat tersebut berbentuk syair yang akan menjadi “narasi pembuka” dari tema khutbah sholat Jumat. Misalnya seperti bunyi syair berikut.

             Aku ini rumah yang kelam

            Tikar tiada apalagi tilam

            Aku ini rumah pendosa

            Kau sembuhkan dengan bismillah

Makna pada syair di atas menunjukkan bahwa manusia tidak ada apa-apanya, manusia bagai “rumah kelam” yang bahkan tidak memiliki isi di dalamnya “tikar tiada apalagi tilam”, karena manusia (rumah pendosa) adalah tempatnya berbuat dosa yang segala kesembuhan hanya bisa dengan lafaz  “bismillah”. Tak jarang selama khutbah Jum’at berlangsung, khotib juga merujuk sumber-sumber kitab tasawuf yang bercorak sastra Arab seperti Bidâyatul-Hidâyah karangan Al-Ghazaly, Barzanjy, Kasidah Burdah, yang membuat khutbah semakin menarik didengar.

Dewasa ini, karya sastra berbahasa Melayu memang jarang dihasilkan (untuk tidak disebut hilang) oleh masyarakat sastra. Salah satu penyebabnya ialah sastra Melayu dianggap tidak memenuhi kebutuhan masa kini, baik sebagai hiburan atau pengetahuan, terlebih Indonesia telah dibanjiri oleh produk-produk sastra yang datang dari luar. Itulah kenapa kesusasteraan Melayu tidak lagi dihiraukan oleh khalayak Indonesia pada masa kini  (Chambert-Loir, 2014).

Berbeda dengan yang terjadi di Besilam, meskipun produksi sastra Melayu tidak dalam jumlah banyak, namun institusi atau lembaga pendidikan di Besilam masih terus melakukan tradisi sastra dengan membacakan syair-syair karya SAWR. Sesungguhnya para murid di Besilam telah mempertahankan dan melestarikan tradisi sastra yang telah dilakukan tuan guru pertama. Semoga tradisi kesusasteraan yang terus berlangsung di Besilam, bukanlah suatu nada terakhir dari kesusasteraan Melayu yang termasuk kebudayaan Indonesia.

https://d19tqk5t6qcjac.cloudfront.net/i/412.htmlhttps://d19tqk5t6qcjac.cloudfront.net/i/412.html

Leave a comment