SEJARAH KERAJAAN LANGKAT

Teromba Kesultanan Langkat menyatakan bahwa nama leluhur dinasti Langkat yang paling awal adalah Dewa Syahdan. Diperkirakan masa kekuasaannya tahun 1500 sampai 1580. Menurut teromba Langkat, Dewa Syahdan datang dari arah pantai yang berbatasan dengan Kerajaan Aceh. Ia menjadi anak beru dari Sibayak Kota Buluh di Tanah Karo. Kemudian ia dikenal dengan gelar Sibayak Si Pintar Ukum oleh orang-orang Karo, menurut pihak Karo ia marga Perangin-angin Kuta Buluh. Ia mempunyai regalia rantai emas buatan Aceh buatan dan kain Minangkabau. Tiada berapa lama kemudian ia turun ke Deli Tua, kemudian ia pindah ke Guri atau Buluh Cina sekarang.

Dewa Syahdan mempunyai seorang putra bernama Dewa Sakti. Ia bergelar Kejeruan Hitam. Ada pendapat yang menyatakan ialah “Indra Sakti” adiknya Putri Hijau di Deli Tua yang diserang Aceh. Dewa Sakti mangkat digantikan oleh putranya, yang setelah mangkatnya bergelar Marhom Guri (mungki sekali di Merah Milu kepada orang haru yang menentang Sultan Aceh Saidi Mukamil). Dimakamkan di Buluh Cina, Hamparan Perak sekarang. Dewa Sakti hilang raib kemungkinan tewas dalam penyerangan Aceh, peristiwa penyerangan ini diperkirakan pada tahun 1539.

Marhom Guri digantikan oleh putranya Raja Kahar (1673); anak-anaknya yang lain ialah Sutan Husin keturunan bangsawan Bahorok dan seorang putri bernama Dewi Tahrul. Raja Kahar pendiri Kerajaan Langkat dan berpusat di Kota Dalam, daerah antara Stabat dengan Kampung Inai, kira-kira pertengahan abad ke-18. Ia dimakamkan di Buluh Cina juga. Raja Kahar berputra Badiulzaman bergelar Sutan Bendahara, seorang yang berpribadi kuat dan denagn cara damai telah memperluas daerahnya. Ia dimakamkan di Punggai, bergelar Marhom Kaca Puri.

Badiulzaman mempunyai 4 orang anak laki-laki yaitu Kejeruan Tuah Hitam, Raja Wan Jabar yang mendirikan Selesai, Syahban di Punggai dan Indra Bongsu yang tetap bersama Kerjeuran Hitam tinggal di Kota Dalam.

Keempat orang putra ini membantu ayahandanya memerintah dan bolehlah dikatakan masing-masing sebagai Orang-orang Besar. Ketika Badiulzaman meninggal dunia ia digantikan oleh putranya yang tertua Kejeruan Tuah Hitam. Ia menetap di Jentera Malai, sebauh kampung dekat Kota Dalam.

Keempat bersaudara ini memerintah dengan otonomi masing-masing dengan Kejeruan Hitam sebagai pemimpin tertinggi hingga memasuki abad ke-19 (menurut sumber Belanda pada peristiwa Siak menyerang dan menaklukkan Langkat peristiwa itu pada tahun 1815).

Menurut Anderson (1823, Mission to the Eastcoast of Sumatra) Kejeruan Tuan Hitam beberapa bulan yang lalu (1823) bergabung dengan Sultan Panglima Mangedar Alam dari Deli untuk merebut pemerintahan kembali dari tangan Siak dan pergi ke Deli untuk keperluan itu geuna mendapatkan bantuan manusia, senjata dan amunisi. Setelah memperoleh bantuan lalu ia menghilir sungai Deli untuk dibawa ke Langkat. Ia membawanya bersama kawannya bernama Banding. Namun, ketika menghilir membawa bantuan itu setejulah misiu meledak karena diletakkan tidak pada tempatnya. Tatkala itu merekapun sedang asik mandi. Akibat dari ledakan misui itu menewaskan mereka. Putra yang tertua, Raja Bendara (Nobatsyah), seorang pemuda yang cekatan, bertekad merebut pemerintahan denan bantuan Sultan Panglima dari Deli. Oleh karena itu perdagangan di negeri ini banyak terganggu sehingga perkelahian antara Kepala-kepala Daerah pun tetap terjadi.

Setelah Badiulzaman meninggal dunia, mulailah lahir daerah-daerah lain di Langkat, kira-kira pada akhir abad ke-18. Seperti setelah dibentangkan di atas, Langkat ditaklukkan oleh Siak. Untuk jaminan kesetiaan Langkat, 2 orang putra Langkat, yaitu putra dari Kejuruan Tuah Hitam, bernama Nobatsyah, dan seorang putra dari Indra Bongsu, Raja Ahmad, dibawalah ke Siak untuk diindroktrinasi.

Di Siak mereka dikawinkan dengan putri-putri Siak. Nobatsyah kawin dengan Tengku Fatimah dan Raja Ahmad kawin dengan Tengku Kanah. Perkawinan Raja Ahmad inilah melahirkan seorang putra bernama Tengku Musa atau juga disebut Tengku Ngah. Oleh Sultan Siak jelas-jelas ditekankan bahwa yang akan menaiki tahta Langkat haruslah putra dari Nobatsyah dan kelak yang akan memakai gelar Alamsyah. Tiada berapa kemudian Nobatsyah dan Ahmad dikembalikan ke langkat. Mereka bersama-sama memerintah di Langkat, yang pertama dengan gelar Raja Bendahara Kejeruan Jepura Bilad Jentera Malai (Nobatsyah anak pertama Kejeruan Tuah Hitam), sedangkan yang kedua bergelar Kejeruan Muda Wallah Jepura Bilad Langkat (anak Indra Bongsu adik ketiga Kejeruan Tuah Hitam).

Sementara itu salah seorang putra dari Raja Wan Jabar (anak kedua Badiulzaman), saudara sewali dari Raja Bendahara Nobatsyah dan Kejeruan Muda Ahmad, telah menetap di sana Siabat-abat (Stabat) dan menjadi Raja di Stabat. Seperti diketahui anak Raja Wan Jabar (Selesai) antara lain ialah Raja Wan Desan (menetap di Bingai), Tuanku Wan Soapan bergelar Sutan Japura menjadi Raja di Stabat, Wan Syah tinggal di Selesai dan Raja Wan Johor. Tiada berapa lama terjadilah perebutan kekuasaan antara Raja Bendahara Nobatsyah dengan Kejeruan Muda Ahmad pada tahun 1820.

Raja Bendahara Nobatsyah mempunyai saudara Raja Badaruddin, keturunannya antara lain Tengku Mat Isa kelana yang pinda ke Deli, manakala seorang saudara perempuan bernama Tengku Seri Deli yang kawin dengan Tuanku Zainal Abidin (Tengku Besar dari Serdang).

Di dalam perebutan kekuasaan itu, Nobatsyah dibantu oleh saudaranya Badaruddin, Tengku Panglima Besar Syahdan (anak dari Raja Syahdan Pungai), dan dibantu oleh iparnya Tuanku Zainal Abdidin (Serdang). Dipihak Kejeruan Muda Ahmad ialah semua anak-anak dari Raja Wan Punggai dan Selesai. Di dalam pertermpuan yang terjadi antara kedua pihak ini di Punggai, tewaslah Tuanku Zainal Abidin Serdang dengan 40 lebih orang pahlawan-pahlawan dari Serdang sehingga ia digelar “Marhom Mangkat di Punggai”.

Menurut riwayat pertempuan kedua belah pihak ini, sedikit banyaknya adalah atas ‘permainan’ Stabat, yang merasa bahwa bukan Nobatsyah atau Ahmad tetapi Stabatlah yang berhak menjadi raja di Langkat. Kemudian Raja Bendahara Nobatsyah mati terbunuh. Di Bingai Raja Wan Desan bin Raja Wan Jabar menjadi Kejeruan. Ketiak matinya Raja Bendahara Nobatsyah, maka Kejeruan Ahmad-lah satu-satunya yang memimpin Langkat dan diakui oleh Siak.

Pada mulanya ia membuat peraturan-peraturan di mana Raja-raja Selesai, Stabat, Bahorok dan Bingai mendapat otonomi luas. Di Bahorok oleh Kejeruan Muda Ahmad diangkat salah satu seorang anggota keluarganya menjadi Kejeruan, karena dengan mempunyai status kemerdekaannya yang luas di Bahorok adalah meruaka taktik politik karena Langkat terus menerus terancam oleh serangan-serangan dari Gayo dan Alas di wilayah Aceh, dan Bahorok haruslah menjadi buffer state. Kemudian berikut menyusul periode kelahiran sesama Kejeruan yang ingin berpengaruh. Dalam situasi ini Stabat muncul sebagai tokoh yang penting. Bahorok dan Selesai melihat saja tanpa daya akan bertambah pengaruh Stabat. Oleh karena Stabat menjadi begitu penting sehingga dapat menjalankan hegemoni di atas daerah-daerah lain. penduduk-penduduk Jentera Malai, Kota Dalam dan Selesai tidak senang atas perintah Stabat ini dan banyak yang mengungsi ke daerah pesisir di mana mereka membaut kampung-kampung baru dan meminta bantuan dari Siak agar mengamankan kembali keadaan seperti semula.

Dalam pada itu Kejeruan Muda Ahmad telah meninggal dunia termakan racun. Teringatlah orang bahwa di Siak masih tinggal putra dari Nobatsyah, tetapi telah pula meninggal dunia di Siak, dan Sultan Siak pun menetapkan putra Kejeruan Mudah Ahmad bernama Tengku Musa sebagai pengganti Raja Langkat. Tengku Musa kemudian berangkat ke Langkat dan menetap di Kota Dalam.

Kemudian daerah Langkat ini terus menerus menjadi tonil dari pertempuran-pertempuran dengan Aceh. Medan pertempuran itu daerah Besitang. Sejak pertengahan abad ke-18 di Besitang didatangi oleh penduduk orang Aceh, Gayo dan orang-orang melayu dari Malaya yang menetap di sepanjang Sungai Besitang. Adapun kepala daerah yang pertama berasal dari Aceh. Tiada berapa lama Besitang juga berada di bawah pengaruh Langkat.

Datuk Besitang pernah membantu Raja Langkat dalam pertempuran terhadap Stabat. Ini tentu terjadi kira-kira semasa pemerintahan Kejeruan Muda Ahmad di Langkat. Tampaknya perang yang terus menerus dengan Aceh, terutama terhadap Wakil Aceh yang ada di Tamiang menyebabkan bahwa Besitang, yangkemudian juga meliputi Salah Haji dan sekitarnya, makin lama makin kuat menyatukan diri dengan Langkat dan berada di bawah bendera Langkat. Anderson dalam kunjungannya ke Langkat di tahun 1823 itu telah menuliskan bahwa Kejeruan Besitang mengakui Langkat sebagai tuannya. Tiada berapa lama setelah matinya Kejeruan Muda Ahmad, maka Kejeruan Stabat pun meninggal dunia pula. Ia digantian anaknya Sutan Muhammad Syekh alias Matsyekh.

Sutan Matsyekh dapat membujuk Kejerusan Selesai agar Tengku Musa bersedia kawin dengan saudari perempuan Matsyekh. Ia berusaha menyampingkan Tengku Musa dengan menggelarnya Raja Muda. Kejeruan Selesai diberinya gelar Bendahara. Kelihatan maksud ini akan tercapat, tetapi Tengku Musa sadar kembali setelah istrinya itu meninggal berapa lama kemudian. Kemudian ia berusaha keras mengatasi tekanan Matsyekh. Sementara itu Musa dapat mengabil alih pimpinan Langkat dengan bantuan Siak. Tengku Musa ini mempunyai kepribadian yang sangat kuat dan oleh orang Langkat ia dianggap sebagai pembangun daerah Langkat hingga kini. Pada mulanya ia memakai titel Sutan Bendahara. Kemudian kira-kira pada tahun 1840 Tengku Musa mengawini anak Datuk Hamparan Perak dan mendapat titel dari Deli Pangeran Mangku Negara Raja Muda Negeri Langkat.

            Menurut sumber Langkat yang sekarang, Langkat tidak pernah berada di bawah Deli, tetapi menurut sumber lain adapaun gelar Mangku Negara Raja Muda Langkat tadi yang mula-mula dipakai Tengku Musa dan diperolehnya dari Deli itu menyatakan bahwa dalam menghadapi perlawanan-perlawanan di wilayahnya, Tengku Musa tidak lagi dapat mengaharapkan bantuan dari Siak, sebagai di Siak pun sedang kusut keadaannya. Itulah diceritakan bahwa Langkat pernah memimnta bantuan dari Deli dan berada di bawahnya. Peristiwa ini terjadi setelah Tengku Musa kawin denagn putri Datuk Hamparan Perak atau Buluh Cina, yaitu Seri Ahmad satu bagian yang takluk kepada Kesultanan Deli.

Ada alasan untuk percaya bahwa ambisi Matsyekh diperkendor. Oleh karena, Matsyekh pun ada berhubungan keluarga dengan Deli, dan Deli pun menyokong Matsyekh karena ia kawin dengan saudara perempuan Sultan Deli. Sejak semula datangnya Tengku Musa terus menerus bertempur dengan orang-orang Aceh. Ia banyak mendapat bantuan dari Besitang. Pada awal pemerintahan Musa lahirlah Distrik Lepan. Pada waktu itu datanglah ke Langkat seorang Alas dengan beberapa anak buahnya, kedatangan ini rupa-rupanya karena ia menderita kekalahan di dalam perselisihan dengan saudaranya untuk memeperbutkan salah satu daerah di Tanah Alas. Sesampainya di Langkat ia dikenal sebgai salah seorang kepercayaan Tengku Musa.

Alas memohon sebidang tanah untuk menetap, dan Tengku Musa melihat ini suatu kesempatan baik untuk menarik keuntungan dan menyerahkan kepadanya daerah Lepan. Pada waktu itu daerah Lepan belum didiami orang. Di sini orang Alas itu diangkatnya menjadi kepada derah denagn syarat supaya ia sedaya upaya membantu Langkat menangkis serangan-serangan dari orang Aceh. Pada tahun 1854 Aceh kembali kuat sehingga kembali menyerang Langkat dan Tengku Musa terpaksa tunduk mengakui kekuatan Sultan Aceh. Oleh Sultan Aceh, Tengku Musa diberi gelar Pangeran Indra Diraja Amir Pahlawan Sultan Aceh. Hal ini terjadi sampai sekitar tahun 1860. Namun kekuasaan Pangeran Musa atas kepala-kepala Daerah Langkat lainnya lebih banyak dalam siasat daripada kenyataannya. Musa pun terus menerus berperang dengan raja-raja kecil. Bahorok dianggapnya wilayah terkuat sehingga ia terpaksa membuat perjanjian tidak saling serang, Bahorok pun dalam kedudukannya setingkat dengan Langkat.

Hal yang menarik adalah, dalam perjanjian ini dipakainya cap dari Sultan Aceh di atas cap Pangeran Langkat. Bukan tidak mungkin bahwa Pangeran Langkat dalam hal ini bertindak atas suruhan Sultan Aceh dan bukan dengan kehendak sendiri untuk membuat perjanjian, yang justru merendahkan derajatnya yang harus setingkat dengan Bahorok.

Taktik sedemikian tampaknya pernah dipakai Aceh ketika dahulu Kejeruan Muda Ahmad memberikan kemerdekaan kepada Bahorok, yaitu bahwa Aceh membuat daerah Bahorok ini sebagai perisai terhadap rencana-rencana yang membahayakan dari Tengku Mus di masa depan. Stabat pun juga membaut Pangeran Musa tetap dalam kesulitan antara lain dengan Stabat bekerja sama denan Wakil Sultan Aceh di Tamiang, yaitu Tuanku Hasyim, untuk membuat suatu pemberontakan yang kiranya dapat ditundukkan Pangeran Langkat dengan keras. Tuanku Hasyim yang mempunyai pengaruh sampai jauh ke dalam daerah Langkat menetap di Pulau Kampai. Selesai sendiripun tidak mau ketinggalan dan mulai menahan perahu-perahu dagang kepunyaan Pangeran Langkat dan menyita barang-barangnya apabila Pangeran Musa Langkat tidak memberikan konsesi-konsesi yang diinginkannya. Akhirnya setelah tersudut demikian, maka Pangeran Musa Langkat tidak mempunyai jalan selain meminta bantuan dari Siak karena pososnya di Langkat pada waktu itu lemah.

Dalam hal di atas, mesti diketahui bahwa perkembangan situasi disekitar wilayah Tengku Musa/Pangeran Musa di Langkat, sedang dalam musim pancaroba.

Pertama, perebutan kursi kerajaan antara Tengku Musa dengan Matsyekh, sebagai yang sudah disinggung di atas. Kedua, kegiatan beberapa raja kecil lain untuk mendapat atau mempertahankan kedudukannya. Dan ketiga, pergulatan Aceh dan Siak (sesuai kontrak Siak-Belanda tanggal 1 Februari 1858), dari pergulatan itu di mana terjadilah kegiatan masing-masing dalam melancarka siasatnya untuk menguasai perkembangan politik di Langkat. Tengku Musa adalah beribu dari Siak, dibesarkan dan didik di Siak. Tidak mengherankan bahwa ia tidak akan pro Aceh. Peristiwa ini terjadi dalam rangka kegiatan Belanda untuk merongrong wilayah Aceh bagian pantai terjauh di sebeleh Timur Sumatera. Maka terasalah bahwa kekusutan di sana bertalian dengan tujuan itu, dan kesibukan di sanapun tidak berdiri sendiri pula. Serta merta Pangeran Langkat menumpahkan perhatian terhadap Tamiang.

Alasan Pangeran Langkat bahwa ia berkuasa terhadap Tamiang adalah karena seorang kejuruan di Seruwai (bagian hilir Tamiang) berasal dari penduduk Besitang. Sedangkan Besitang adalah wilayah Langkat dengan kata lain, daerah Besitang yang dimiliki oleh Pangeran Langkat itu hendak diperluas wilayahnya sampai ke Seruwai atau Tamiang. Menurut sejarahnya tidaklah benar. Ketika Anderson melawat ke Sumatera Timur (1823) dia telah langsung ke Tamiang. Ketika itu Anderson menemui tiga pemerintahan Kejeruan, yakni pertama Kejeruan Karang terletak di sebelah kanan Sungai Tamiang menghadap mudik, kedua Kejeruan Muda yang teletak di sebelah kiri Sei Tamiang menghadap mudik, dan ketiga Kejeruan Muda yang terletak di sebelah kiri Sei Tamiang menghadp mudik. Maka kata Anderson, puluhan tahun sebelum ke sana, Tamiang pernah ditaklukkan oleh Siak. Namun Siak tak sanggup menguasainya, tidak mendudukkan pembesarnya di sana, sehingga dengan demikian setelah penyerbuan Siak maka Tamiang balik lagi sebagai sediakala berdiri di bawah kedaulatan Aceh.

Mengenai orang yang dimaksud asal Besitang mejadi raja di Seruwai, menurut ceritanya ialah bahwa kira-kira antara tahun 1824 dan 1834 pantai di sebelah kiri Sei Tamiang telah menjadi kampung yang ramai didatangi orang-orang Aceh. Kampung itu ialah Seuwai, masuk bagian Karang. Atas persetujuan Kejeruan Karang penduduk Kampung Seruwai mengangkat kepala mereka seorang terkemuka dari Besitang bernama Panglima Deli. Dalam beberapa waktu telah terjadi persengketaan ini. Panglima Deli membantu Kejeruan Karang. Itulah asalnya maka Panglima Deli diakui oleh Kejeruan Karang dan memebenarkan menjalankan pemerintahan otonomi di Seruwai.

Perkara di atas, tentulah tidak otomatis begitu saja. Pangeran Langkat mengatakan bahwa Tamiang masuk bagiaanya. Bahkan pegangan yang lebih teguh dari itu membuktikan pula sebaliknya, bukan Tamiang masuk Besitang, tetapi Besitanglah yang sudah pernah merupakan bagian dari Raja Tamiang. Pada akhir abad ke-18, ketiak Teuku Cut bagam mejadi raja di Tamiang, dia telah mengahadiahkan Besitang kepada mertuanya yang bernama Mujut, hadiah itu sebagai mas kawin.

Mujut berasal dari Aceh. Sesudah Mujut meninggal dunia, digantikan oleh anaknya bernama Panglima Sijit. Tidak berapa lama kemudian, Tengku Musa pun berhasil menaiki kursi Panglima Langkat. Salah satu usaha untuk menguatkan kedudukannya, Panglima Langkat dibantu oleh adik Panglima Sijit di Besitang, bernama Manja Kaya Jaya, menjadikan Pangeran langkat berhasil melumpuhkan bahaya perlawanan Matsyekh (Stabat). Tidak mengherankan bahwa tidak lama kemudian, setelah Panglima Sijit, Manja Kaya Jaya-lah yang dilantik oleh Pangeran Langkat menggantikan Panglima Sijit menjadi Datuk Besitang.

Telah diceritakan di atas bahwa pada tahun 1854 telah datang ke Sumatera Timur armada Aceh sekitar 200 perahu perang dipimpin oleh Panglima Husin. Panglima ini adalah putra Sultan Mansur Syah sendiri. Kedatangan armada ini untuk memulihkan kekuasaan de facto Aceh kembali dan untuk mengkonsolidasikan negeri-negeri di daerah tersebut, terutama dalam rangka menghadapi kegiatan Belanda yang sedang sibuk merongrong daerah wilayah Aceh di sebelah barat. Selain itu, membuat ketentuan semula tentang wilayah Aceh dibagian Timur hingga Pasir Putih Ayam Denak. Dapat dikatakan bahwa kedatagan Husin adalah sebagai pameran bendera, sebab perlawanan tidak ada. Bahkan sebaliknya, raja-raja di Sumatera Timur kemudian menyetujui kedaulatan Aceh dan Aceh mengangkat Tengku Musa dengan gelaran Pangeran Indra Diraja Amir Pahlawan Aceh. Pangeran dianugerahi cap sembilan (cap sikureing). Selanjutnya dalam ekspedisi ke Deli, Pangeran Husin dapat menginsyafkan Sultan Osman. Osman diakui Aceh sebagai Sultan Deli dan ‘Wakil Sultan Aceh’. Baik Deli maupun Serdang keduanya mendapat cap sembilan. Sultan Basyaruddin Serdang diangkat menjadi ‘Wazir Sultan Aceh’ (1854).

Peristiwa kegiatan Aceh ini didengar dengan penuh gelisah oleh Belanda di Batavia. Rencana perongrongan atas wilayah Aceh dibahagian terjauh di Pantai Timru Sumatera telah menghadapi imbangan. Dalam rangka mengatasi itu, Belanda cepat-cepat mengadakan tekanan kepada Siak, pada waktu itu dalam keadaan lemah untuk mengikat perjanjian politik dengan Belanda (1 Februari 1854). Disamping itu, Siak disuruh menyatakan bahwa wilayahnya ke Barat adalah sampai Tamiang. Muhammad Said, menulis bahwa Pangeran Langkat merasa perlu mendapatkan jaminan kedudukannya di kemudian hari.

Dengan sendirinya, perkembangan di Sumatera Tirmu umumnya dan di Langkat khususnya, mendapat perhatian penuh dari Sultan Ibrahim Mansyur Syah, Sultan Aceh. Setelah Siak menandatangani perjanjian dengan Belanda 1854, Sultan Aceh mengatur persiapan untuk mengatasi persoalan di Sumatera Timur. Seorang pemuda bangsawan yang terkenal gagah dan cakap di Aceh, Tuanku Hasyim, mendapat tugas istimewa dari Sultan Aceh untuk berangkat ke Sumatera Timur menyelesaikan dan menguasai keadaan di sana. Tuanku Hasyim disebut juga Tuanku Rayeu, anak Tuanku Kadir anak Tuanku Cut, dan seterusnya sampai 1795. Nama Tuanku Hasyim mashur dalam perjuangan melawan agresi Belanda di Aceh hingga puluhan tahun kemudian sampai wafatnya pada juni 1897.

Tugas yang diberikan sultan Aceh kepada Tuanku Hasyim ke Sumatera Timur mengandung ketentuan bahwa dia mejadi wakil Sultan Aceh untuk Sumatera Timur dengan wilayah wewenangnya Tamiang, Langkat, Deli, dan Serdang. Seiring dengan ketentuan tersebut ditentutkan pula wewenang untuk Sultan Ahmad Syah Sultan Asahan. Ia adalah wakil untuk Sultan Aceh wilayah Asahan, Panai, Bilai, Kota Pinang, Kualuh, dan Batubara.

Dibagian lain telah disinggung Seruwai diperintah Panglima Deli asal Besitang. Setelah dia meninggal, dia digantikan oleh putranya Raja Bendahara. Raja Bendahara tidak ingin takluk kepada Pangeran Langkat. Ketika itulah Pangeran Langkat mencoba menguasai Seruwai dan menjatuhkan Raja Bendahara. Untuk itu Pangeran Langkat mencoba menguasai Seruwai dan menjatuhkan Raja Bendahara ke Seruwai dengan menjepitnya dari Pulai Kampai. Akhirnya Raja Bendahara dapat ditaklukkan. Dia ditangkap beserta anak laki-lakinya, dan dibawa ke Langkat. Adik Raja Bendahara bernama Sutan Suman diangkat menggantikan kekuasaannya.

Tidak berapa lama Sutan Suman mejadi raja dia pun meninggal, dan digantikan oleh anaknya bernama Sutan Muda yang tentunya sesuai dengan kemauan Pangeran Langkat. Tidak lama Raja Bendahara yang ditahan akhirnya meninggal dunia di Langkat. Untuk menghilangkan kekusutan, Pangeran Langkat mencoba mengatasi denagn jalan mengangkat anak raja Bendahara untuk menjadi raja muda di bawah Sutan Muda yang memerintah di Seruwai.

Peristiwa tersebut merupakan suatu perkembangan baru yang tidak dapat dibiarkan oleh Tuanku Hasyim. Tapi sebelum bertindak tegas, Tuanku Hasyim menggunakan kebijaksanaan. Dia berhasil mengawini putri Pangeran Langkat bernama Tengku Ubang. Dalam situasi seperti ini Pangeran Langkat menjadi mudah terpengaruh, namun kepentingan dirinya dan ambisinya lebih kuat dorongannya. Ini disadari oleh Tuanku Hasyim, dan Tuanku Hasyim mengetahui bahwa sewaktu-waktu ada kemungkinan kelak bahwa mertuanya akan meminta bantuan kepada Siak jika kepentingan Pangeran Langkat menginkan hal itu. Karena itu pula Hasyim memperhatikan gerak-gerik Sutan Muhammad Syekh, Kejeruan Stabat imbangan Pangeran Langkat. Sutan Muhammad Syekh (Matsyekh) dapat pula diinsyafkan untuk jangan mau dijajah oleh Belanda.

Demikianlah sebagai kenyataan dalam perkembangan selanjutnya. Matsyekh telah berjuang mempertahankan Langkat aar jangan sampai jatuh ke tangan Belanda. Pada tahun 1860, Tuanku Hasyim sudah mulai berhasil atas tindakannya di Langkat. Pulau Kampai sebagai pelabuhan yang strategis perlu dipersiapkan dalam menghadapi kemungkinan kemungkinan melawan serangan Belanda. Kebetulan persiapan tersebut berjalan lancar. Kejeruan Pulau Kampai dipegang oleh seorang Aceh yang diangkat oleh Cut Bagam, Raja Tamiang. Setelah dia meninggal, anaknya bernama Nya’Asan menggantikannya. Nya’Asan mendukung Hasyim sepenuhnya.

Di Tamiang, Tuanku Hasyim menjatuhkan Sutan Muda yang pro Pangeran Langkat. Tuanku Hasyim mengangkat anak Raja Bandara menjadi Raja di Seruwai. Suasana sedemikian mudah bagi Tuanku Hasyim yang menguasi Langkat dengan bantuan Matsyekh. Untuk keselamatan diri Pangeran Langkat pergi ke Tamiang. Tamiang diperintahkan oleh 4 Orang Raja, yakni:

  1. Raja Bendahara Seruwai, di tepi pantai sebelah sungai Tamiang menghadap ke Hulu.
  2. Kejeruan Karang memerintah di Hulu sebelah Simpang Kanan.
  3. Sutan Muda memerintah sebelah kiri Tamiang menghadap ke Hulu.
  4. Kejeruan Muda memerintah di Hulu sebelah Simpang kiri.

Suasana ini bagi Pangeran Langkat menunjukkan akibat dari kegiatan Tuanku Hasyim yang sudah tidak sabar lagi. Pada bulan Februari 1862, dengan tiba-tiba dia sudah berada di Batubara menemui Datuk Boga. Menurut sumber Belanda, Pangeran Langkat telah melanjutkan perjalanan ke Bengkalis menemui Asisten Residen Belanda, Arnold, untuk membicarakan soal kedudukannya dan mengenai beberapa mandat (sepanjang sumber Belanda tersebut), penejelasan dari pemberian ini tidak diberikan tapi sumber itu mengatakan bahwa Pangeran Langkat menyediakan Pulau Kampai untuk dijadikan basis oleh Belanda.

Tiga bulan sesudah kunjungannya itu, maka pada bulan Mei datanglah Raja Burhanuddin pegawai Belanda. Kedatangan Raja Burhanuddin untuk menyisat ke Sumatera Timur (Mei 1862). Tiga bulan sesudah itu, Netscher datang pertama kali denagn kapal perang ke Sumatera Timur dan mencoba untuk masuk ke Langkat. Percobaannya gagal karena kekuatan pertahanan Tuanku Hasyim. Penyerbuan dari darat pun tidak dapat dilakukan.

Pada kunjungan kedua Netscher ke Sumatera Timur, berhasil mendapatkan tanda tangan Pangeran Langkat. Keinginan Pangeran untuk berdiri sendiri lepas dari Deli dapat dibantu oleh Belanda. Tidak hanya demikian, Pangeran Langkat bisa pula menjadi Sultan yang berdiri sendiri, sekaligus lepas dari Aceh dan Deli, dan masuk dalam kedaulatan Belanda. Maka yang tinggal menjadi persoalan adalah wilayah saja.

Tamiang tidak mungkin masuk Langkat, apalagi karena Kejeruan-kejeruan yang berkuasa di Tamiang tidak ingin diselewengkan kepada Siak. Walaupun mungkin ada persengketaan antara sesama Kejeruan yang berkuasa di Tamiang, tapi dalam satu hal mereka sendiripun menentang masuknya Belanda.

Sebagaimana telah diceritakan, Tuanku Hasyim telah membuat kubu pertahanan Aceh yang lebih baik. Untuk mendapatkan sesuatu ketegasan mengenai kedudukan, Pangeran Langkat harus melihat dengan kenyataan itu. Atas dasar kenyataan inilah Belanda mempertimbangkan untuk menetapkan suatu Kesultanan yang wilayahnya ketika itu dalah Langkat tanpa Tamiang. Pada kunjungan Netscher ketiga, yaitu tanggap 8 Agustus 1863, Residen Belanda telah mencoba menyelesaikan persoalan Langkat. Sekali ini dia datang dengan kelengkapan tentara sekuat dua buah kapal. Dia berharap dengan memukul Tuanku Hasyim di Pulau Kampai, Belanda akan dapat membantu Langkat. Namun, maksudnya tidak berhasil sama sekali. Angkatan perang yang dibawa residen Netscher tidak sanggup mendekati Pulau Kampai.

Pada kunjungan yang keempat Netscher mencoba lagi, sekali ini denan membawa Raja Burhanuddin pembantu Belanda. Sekali inipun Netscher masih tidak dapat berbuat apa-apa. Netscher dan Raja Burhanuddin mencoba “pamran kekuatan” tapi hanya sanggup meneropong bendera Aceh yang berkibar di Pulau Kampai dan tidak berani masuk pelabuhan walaupun ketika itu armada Aceh sedang berada di Utara. Netscher dan Burhanuddin pulang dengan tangan kosong kembali ke Bengkalis. Sesudan selesai ekspedisi perang Belanda 1865 menyerbu Asahan dan Serdang, barulah Belanda berani menghadapi persoalan di Langkat dengan keputusan yang hanya diambil menurut kemauan Belanda sendiri.

Singkatnya, Langkat masa itu masih dibiarkan Belanda. Persiapan pihak aceh baik Tamiang sendiri maupun di bagian Pulau Kampia, yang begitu giatnya digerakkan, tidak memungkinkan Belanda untuk cepat-cepat merelealikasikan pengakuan Pangeran Langkat kepadanya. Dalam persiapan menghadapai ageresi dengan Belanda, pada bulan juni 1864 timbullah suatu insiden di Tamiang. Dua orang saudagar Tionghoa warga negara Inggris yang datang berkunjung ke Tamiang mati terbunuh di sana. Peristiwa ini telah menimbulkan kehebohan di Penang dan di Singapura. Hal ini tidak disangka oleh Belanda. Tewasnya orang Tionghoa ini telah dituup secara besar-besaran oleh Inggris.

Dikalangan resmi mereka, persoalan inipun telah mendapat perhatian penuh pada satu pihak, karena masyarakat Tionghoa telah menuntut ketegasan dari pemerintahan Inggris atas keselamatan warga negara yang bernaung di bawah benderanya. Dilain pihak, kalangan politisi Inggris sedang mendapat pula suatu jalan yang paling tepat utuk menekankan maksudnya.

Surat kabar Inggris serentak berteriak supaya mendatangkan kapal perangnya ke Tamiang untuk menghukum siapa yang sudah begitu berani menghina kekuatan Inggris melalui pembunuhan Tionghoa itu. Langkah diplomatik dan pers Inggris tidak lupa mengupas bahwa walaupun Siak sudah menandatangani pengakuan bertuan kepada Belanda, namun tidaklah benar wilayahnya sampai ke Tamiang. Diperbesarlah kesangsian tentang sahnya perjanjian Siak-Belanda (1854) dan tentang hak kedaulaltan Belanda atas Sumatera Timur. Kesimpulan seperti, tuntutan yang dilancarkan tertuju kepada satu arus yaitu: kapal perang besar Inggris harus didatangkan ke Tamiang untuk langsung menghukum si pembunuh yang salah.

Kampanye yang dilancarkan oleh Inggris itu membuat Belanda sadar bagaiman seriusnya soal Taming itu. Tidak membuang tempo, kalangan atas Belanda mengadakan hubungan dengan kalangan atas Inggris untuk memimnta supaya Inggris jangan sampai mendatangkan kapal perangnya ke Tamiang. Belanda menyatakan bahwa atas dasar perjanjiannya dengan Siak, Tamiang itu sudah masuk ke dalam kedaulatan Belanda. Oleh sebab itu Belandalah yang mengambil tanggung jawab untuk menghukum si pembunuh tersebut.

Atas pemberitahuan tadi Inggris memberi batas waktu. Oleh Residen Riau telah ditugaskan kepada Kontelir Deli Caets de Raet pergi ke Tamiang. Kontelir ini memberanikan diri datang ke Tamiang. Schadee penulis buku ‘De Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust’ menceritakan ketika Caets de Raet tiba di Seruwai (Tamiang Hilir) dilihatnya bendera Aceh berkibar menunjukan bahwa kedaulatan Aceh. Penduduk selalu dalam keadaan pegang senjata dan siap bertempur. Setiap orang yang dicurigai tidak luput dari pemeriksaan. Disebabkan tumbuh kecurigaan pada dua Tionghoa dari penang itulah yang membuatnya terbunuh, setidaknya provokasi kaki tangan Belanda sudah menimbulkan perhatian istimewa atas keduanya.

Caets de Raet seorang yang lunak rupanya, sebab dia biasa dan mau saja disuruh pergi tourne jauh-jauh ke pedalaman, sebagai pernah dia lakukan ketika pergi ke Samosir (1867). Ketika dia masuk Seruwai sudah mendapat pemeriksaan. Cerita orang yang ketika melihatnya pergi ke Tamiang itu, mengatakan bahwa dia diperiksa oleh orang Aceh. Orang Aceh itu dengan matanya terbelalak dan misai dipintai memeriksa kontelir de Raet mengenai kedatangannya.

De Raet menyatakan ingin bertemu Raja Bendahara untuk menanyakan peristiwa terbunuhnya dua orang Tiaonghoa di atas. Sesudah menunggu lama, Raja Bendahara berkenan menerimanya. Mendengar bahwa de Raet bertanya soal yang diluar wewenang Belanda, Raja Bendahara naik pitam atau marah semarah-marahnya.

Raja Bendahara pun bertanya kepada de Raet, ‘’Jika ada soal hamba rakyat Inggris kenapa Belanda yang datang?’’ tanya Raja Bendahara.

De Raet menjawab, ‘’Kami telah menjanjikan akan berhubungan dengan Tengku’’.

Raja Bendahara, ‘’Kenapa harus Belanda yang urus. Apa Belanda tidak tahu bahwa Aceh sudah ada perjanjian persahabatan dengan Inggris? Tamiang adalah wilayah Aceh. Tamiang tidak kenal Belanda dan Belanda boleh pergi saja’’.

De Raet dalam laporannya menceritakan bahwa dia dibentak-bentak oleh Raja Bendaharan dan pulang dengan tangan kosong. Soal ini dilapor terus ke Batavia. Hasilnya atas desakan Inggris, Belanda menawarkan pembayaran ganti tugi untuk ahli waris dua orang Tionghoa yang telah terbunuh. Belanda terpaksa melakukan ini, sebagab jika tidak demika terbuka kesempatan Inggris untuk langsung berurusan dengan Raja Bendahara. Kalau hal itu terjadi, maka artinya Inggris yang akan mendapat bukti bahwa kedaulatan Belanda di Tamiang memang tidak ada sama sekali. adapun kontrak politik yang ditanda tangani oleh Sulan Siak dengan Belanda pada 1 Februari 1854, hanya memasuk-masukkan begitu saja wilayah Sumatera Timur dan Tamiang menjadi sebahagian wilayah Siak. Itu hanyalah tipuan belaka Belanda dan tidak sah sama sekali baik ditinjau dari sudur de jure maupun de facto

Berdasarkan hukum internasional, perbuatan Belanda itu sudah suatu pelanggaran, suatu agresi yang tidak mempunyai dasar sama sekali. Inggris sendiri dalam siaran dan protesnya pun tidak segan-segan mencap Belanda di Sumatera Timur kira-kira sejak tahun 1854 itu suatu agresi, atau paling tidak disebuat oleh Inggris ‘’Encroachments of the Dutch’’.

Dalam pada itu jelaslah bahwa melalui peristiwa-peristiwa sebagai Tamiang Affair itu, Inggris makin dapat mengadakan tekanan yang terus menerus membingungkan Belanda. Tidak sekali dua kali sebetulnya Inggris menggugat apa yang disebutnya agresi Belanda dan pelanggaran-pelanggaran pasal 6 Perjanjian London 1824, di mana ditentukan bahwa masing-masing pihak harus memberitahukan kepada piha lain apabila pihak tersebut melaksanakan perluasan daerah di Sumatera. Secara langsung pada tingkat atasannya, sudah pernah duta besar Inggris untuk Belanda, Milbanke menyampaikan kepada menteri Luar Negeri Belanda di Den Haag. Sepucuk memori dari Inggris yang isinya mengingatkan bunyi pasal 6 yang harus dipatuhi tapi tidak diperdulikan oleh Belanda. Peringantan kedua dari pihak atasan Inggris disampaikan lagi pada bulan April tahun 1863 juga. Nota ke-3 pada tanggal 11 September 1863 dan ke-4 pada tanggal 29 Oktober 1863.

Kesemuanya diharapi oleh Belanda dengan berulang kali menegaskan hak yang diperolehnya dari Perjanjian Sika 1854. Hingga sampailah kepada peristiwa pembunuhan di Tamiang. Peristiwa tersebut membuat Inggris mendapatkan jalan yang lebih panjang. Sebagai kenyataan kemudian, peristiwa-peristiwa di Sumatera Timur dijadikan oleh Inggris sebagai loncatan untuk menarik keuntungan politik dan ekonomi yang banyak dari Belanda.

Mengetahui peristiwa itu sendiri, begitu sibuknya kalangan atasan Inggris memerintahkan supaya ditetapkan saja kapal perang untuk menyerbu Tamiang. Begitu pula cepatnya kalangan atasan bersangkutan menyuruh tunda pelaksanaannya.

Seperti telah kita bicarakan bahwa Belanda mengirim tentaranya tahun 1865 ekspedisi ke Asahan dan Serdang, dan di dalam kesempatan ini Pangeran Langkat mempergunakannya untuk mengkonsolidir kekuasaanya. Bantuan kapal perang Belanda melawan Tuanku Hasyim dan orang-orang Aceh sehingga dapat diusir dari Pulau Kampai dan Sutan Matsyekh dari Stabat yang terus menerus menentang Pangeran Langkat untuk dapat ditawan dan dibuang ke Jawa (Cianjur) oleh Belanda. Kemudian setelah menyetujui suatu pernyataan di mana ia mengakui Sultan Siak sebagai rajanya di bawah kedaulatan Gubernemen, maka Tengku Musa diakui oleh Pemerintah Belanda sebagai Raja Langkat, Pulau Kampai dan Tamiang dengan gelar ‘’Pangeran Indra Diraja Amir’’.

Pada tahun 1869 pengakuan ini, setelahnya janji-janji diperluas lagi. Kini tiba masa yang baik bagi Pangeran Langkat untuk memperkuat kewibawaannya, terlebih- lebih mengingat letak kedudukannya di muara sungai Langkat, sehingga dapat menguasai jalan keluar masuk perdagangan. Iapun mulai mengambil tindakan terhadap raja-raja kecil. Kejeruan Selesai memperoleh pengangkatan di mana dituliskan batas-batas daerahnya dan antara lain hak menjatuhkan hukuman mati kepadanya dicabut. Selesai tidak merasa senang mengenai situasi ini, barulah pada tahun 1872 turut serta dalam aksi pemberontakan terhadap Belanda bersama-sama Datuk Sunggal. Kejeruan Selesai mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Sunggal. Tatkala Kejeruan Selesai meninggal dunia, maka Pangeran Langkat pada waktu itu mengangkat anak dari almarhum Kejeruan Selesai menjadi Kejeruan yang baru. Pangeran lalu mengambil sebagaian kecil daripada daerahnya. Termaksud Bahorok dipaksa untuk menurut perintah Pangeran Langkat.

Pada tahun 1871 kejeruan Bahorok Tengku Abd Rahman mengibarkan bendera merah-putih dan lalu membuat kubu-kubu pertahanan. Kemudian Pangeran Musa mencontoh Siak dengan membentuk Lembaga Datuk Berempat. Kemudian diangkat pula seorang kemanakannya menjadi ketua Dewan ini yang digelarkannya “Tengku Maharaja”, dan dia ini begitu menjadi kepercayaan Pangeran Musa sehingga memainkan rol seakan-akan Raja Muda.

Para Kejeruan dan kepala-kepala distrik tidak boleh berhubungan langsung dengan Pangeran Musa, tetapi pertama-tama mesti menghadap Tengku Maharaja dulu. Pada tahun 1878, Pangeran Musa menyerahkan haknya atas daerah yang terletak sebelah kanan Sei Tamiang kepada pemerintah Belanda. Mengikuti adat Siak, maka Pangeran Musa membentuk Badan “Datuk Berempat” itu sebagai kawan musyawarah. Di daerah yang diambil Pangeran Musa dari Selesai, dinamakannya daerah Sungai Bingai diangkatnya sebagai kepala di situ seorang yang berasal dari Sunggal, dengan titel Bendahara. Tetapi tidak lama Bendahara ini mulai berselisih dengan Pangeran Musa, dan Pangeran Musa mengirim Tengku Maharaja dengan sepasukan laskar untuk menangkap Bendahara tadi. Tengku Maharaja lalu diangkatnya menggantikan Bendahara menjadi kepada Distrik Sungai Bingai. Untuk membantunya, Pangeran Musa mengangkat salah seorang putra dari salah seorang Datuk Berempat sehingga terdapatlah pemerintahan dwi tunggal di Sei Bingai. Pada tahun 1881 Langkat dibagi atas 2 Onderafdeling, maka Pangeran mengangkat anaknya yang tertua, Tengku Sulung, sebagai wakilnya di Langkat Hulu yang beribukota di Binjai.

Pada tahun 1884 Langkat berada langsung di bawah kedaulatan Hindia Belanda. Pada tahun 1887 Pangeran Musa pribadi dinaikkan derajatnya oleh Belanda dengan memperoleh titel Sultan Al Haji Musa Alhamdainsyah dan berbarengan dengan itu ditetapkan putra yang bungsu Tengku Montel alias Tengku Abdul Aziz (dari putra gahara) sebagai penggantinya.

Sultan mengangkat putranya yang lain, Tengku Hamzah, menjadi Pangeran Langkat Hilir, dan akannya yang lain sebagai wakilnya di Pulau Kampai. Pada tahun 1892, oleh karena usianya yang telah lanjut, Sultan Musa mengadakan abdikasi dan mengangkat Tengku Abdul Azis sebagai penggantinya dengan gelar Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahkmatsyah tahun 1893. Baginda Sultan Musa kemudian bersuluk di Pesantren Naqsabandiyah “Babussalam” yang didirikan oleh Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan karena konon Sultan Musa adalah saudara satu susu dengan Syekh Abdul Wahab itu dari Siak asalnya.

Di dalam pemerintah sehari-hari Sultan Abdul Aziz karena masih muda, tidak dapat bertindak sendiri keccuali dengan persetujuan abang-abangnya Tengku Sulung dan Tengku Hamzah. Pada tahun 1896, barulah Sultan Abdul Azis resmi dilantik oleh Residen dan boleh bertindak sendiri. Oleh karena daerah Pangkalan Berandan makin penting dengan adanya sumber minyak, maka Sultan menganggap perlu menumbuhkan Luhak ketiga yang baru. Diambil dari Luhak Langkat Hilir daerah-daerah Besitang, Pulau kampai, Pangkalan Berandan dan Lepan dan dijadikan masuk Luhak Teluk Haru dengan kedudukan Pangkalan Berandan dan dipimpin oleh putra dari Tengku Sulung. Tengku Sulung sendiri minta berhenti sebagai kepala Luhak Langkat Hulu dan ia digelar Mangkubumi. Sebagai gantinya di Langkat Hulu diangkat Tengku Adil putra dari Tengku Hamzah.

Pada tahun 1899 putra tertua dari Sultan, Tengku Mahmud, ditetapkan sebagai pengganti raja dengan gelar Raja Muda. Tengku Hamzah digantikan oleh putra keduanya Tengku Jambak sebagai Pangeran Langkat Hilir. Berbeda dengan Deli dan Serdang, bentuk otokratis dalam pemerintahan lebih menonjol di Langkat, di mana pemerintahan Kerajaan dibentuk oleh Sultan sendiri. Beda antara Langkat dan Deli dalam bentuk pemerintahan dan posisi Sultan dicerminkan dalam peribahasa: Di Langkat Raja menanti, Orang Besar datang. Di Deli Raja Datang, Orang Besar Menanti, dengan kata lain di Deli kedaulatan Sultan dipikul oleh Datuk Berempat yang juga Raja Urung di daerahnya dan Sultan didak lain daripada primus interpares.

Dalam Acte van Verband dengan pemerintah Hindia Belanda 1893 pasal 5 disebutkan bahwa Sultan Abdul Azis harus berunding dengan Orang Besar menentukan putra mahkota. Jika Sultan sakit, maka Dewan Diraja atau Kerapatan Besar akan mengambil alih sementara kekuasaan.

Pada masa pemerintahan Sultan Musa tahun 1876-1879, baginda mempunyai 4 orang wakilnya, yaitu di Batang Serangan, Tamiang, Besitang, dan Salapian, kemudian seroang Kepala menghimpun Kerapatan, seroang wakil di Sei Lepan dan Datuk Besitang. Pada zaman Sultan Abdul Aziz tidak ada lagi wakil di Batang Serangan, distrik itu disatukan dengan distrik Tanjung Pura di bawah kepala Luhak Langkat Hilir. Wakil di Tamiang dihapus, sejak Tamiang keluar dari Langkat dan masuk residensi Aceh. Wakil di Besitang digantikan Kepala Luhak Teluk Haru. Wakil di Salapian digantikan oleh Datuk Salapian yang bukan Orang Besar. Distrik Pulau Sembilan disatukan dengan Pulau Kampai, dan ditumukna pula Distrik Gebang.

Setelah semua panjang lebar mengenai sejarah kerajaan Langkat, perlu diketahui juga bahwa nama “Langkat” diambil dari sebauh pohon yang buahnya kelat. Pada zaman dahulu pohon ini banyak sekali di sekitar Kota Dalam.

Semua isi dalam tulisan ini dikutip dalam buku karya Sultan Serdang Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Yayasan Kesultanan Serdang. Medan, 2006.

ISTILAH KEKERABATAN BAHASA MELAYU LANGKAT

Suami                                     : mpelay/, /laki/

Istri                                         : mpuan

Anak                                       : anak

Anak laki-laki                       : kulok

Anak perempuan                 : suban

Anak sulung                         : sulon/, /ulon/

Anak kedua                          : tenah/, /nah/

Anak ketiga                           : alan

Anak keemapat                    : uteh

Anak kelima                         : andak

Anak keenam                        : itam

Anak ketujuh                        : uncu

Ayah                                       abah/, /ayah/

Ibu                                          : mak

Abang ayah                           : wak

Kakak ayah                           : wak

Adik ayah (laki-laki)               : pakcik/, /pakcit/

Adik ayah (perempuan)          : makcik/, /makcit

Abang ibu                              : wak

Kakak ibu                              : wak

Adik ibu (laki-laki)                   : pakcik/, /pakcit/

Adik ibu (perempuan)             : pakcik/, /pakcit/

Menantu                                : menantu

Mertua                                   : mentua

Kemanakan                           : anak kemun/, /kemun/

Cucu                                       : cucu

Kakek                                     : atok

Nenek                                    : andong

Ayah kakek                           : datu

Ibu kakek                              : datu

Kakeknya kakek                  : moyang

Neneknya nenek                  : moyang

Abang                                     : abang

Kakak                                     : akak

Adik                                       : adek

DEDENG: NYANYIAN UPACARA TURUN KE LADANG ETNIK MELAYU LANGKAT, PESISIR TIMUR SUMATERA UTARA

DEDENG: NYANYIAN UPACARA TURUK KE LADANG ETNIK MELAYU LANGKAT, PESISIR TIMUR SUMATERA UTARA
Muhammad Zulfahmi*

Gambar: Sultan Langkat Abdul Jalil Rahmatshah Al Hajj (tengah kuning) bersama kerabat Kesultanan Langkat. (Foto: Medanmagazine.com)

Gambar: Sultan Langkat Abdul Jalil Rahmatshah Al Hajj (tengah kuning) bersama kerabat Kesultanan Langkat. (Foto: Medanmagazine.com)

Kabupaten Langkat adalah sebuah wilayah yang termaksud ke dalam suatu kawasan budaya etnik Melayu Langkat yang berada di Pesisir Timur Sumatera Utara. Secara budaya, etnik Melayu Langkat memiliki banyak corak dan ragam adat dan budaya termaksud di dalammnya kesenian. Kesenian di wilayah Kabupaten Langkat di antaranya adalah musik Ronggeng Melayu, Senandung, Hadrah, Barzanji, musik Tari Inai untuk Pengantin, Tari Serampang XII dan juga musik vokal yang disebut dengan Dedeng. Musik vokal Dedeng pada awalnya dinyanyikan pada saat kegiatan adat dalam tiga aktifitas agrikultural (Takari: 56, 1996), yaitu pada saat upacara penebangan hutan untuk lahan pertanian, menanam benih di lahan dan pada saat aktifitas musim panen tiba.
Ditinjau dari sudut konteksnya, nyanyian Dedeng dapat dikatagorikan dalam nyanyian yang bersifat sakral dan religi, karena aktifitas bernyanyi ini bagi masyarakat Melayu Langkat pada awalnya dianggap sesuatu yang suci dan ditunjukan kepada roh-roh gaib (Takari: 55, 1996). Menurut Takari, musik vokal Dedeng termakasud dalam katagori musik sebagai bagian dari religi animisme.
Dedeng bermakna bernyanyi, atau aktifitas bernyanyi dari seseorang atau kelompok masyarakat yang ditujukan untuk memberikan suatu perlindungan dan kesuburan, dan hasil yang melimpah dalam bidang pertanian. Walaupun Dedeng merujuk pada aktifitas bernyanyi, tetapi yang dimaksud bukanlah bernyanyi dalam pengertian umum dalam kebudayaan musik masyarakat Melayu lainnya seperti Dendang Melayu, dan Langgam Melayu. Dendang Melayu lebih menekankan kepada fungsinya sebagai hiburan biasa, sedangkan aktifitas berdedeng lebih bermakna kepada sebuah aktifitas yang lebih khusus, yakni bernyanyi dengan harapan untuk mendapatkan hasil pertanian yang melimpah dari kuasa gaib yang dipercaya dapat memberikan perlindungan dari musuh-musuh tanaman baik berupa hama tanaman maupun dari binatang buas dan juga dari binatang peusak tanaman yang tidak tampak secara kasat mata.
Jenis-jenis Dedeng
Bedasarkan bentuk penyajiannya, musik vokal Dedeng pada dasarnya terbagi tiga jenis yaitu, pertama Dedeng yang dinyanyikan pada saat menebang hutan sebagai lahan perladangan baru yang disebut Dedeng Padang Reba. Kedua nyanyian yang dilakukan pada saat menamam benih padi yang disebut dengan Dedeng Mulaka Nukal. Ketiga nyanyian yang dilakukan pada saat padi telah menguning dan telah siap untuk dipanen yang disebut dengan Dedeng Ahoi.
Teks-teks Dedeng pada umumnya berbentuk pantun dan syair yang dinyanyikan oleh seorang pawang atau dukun dan juga para peserta yang ikut berpartisipasi dalam upacara turun ke sawah. Teks Dedeng yang berbentuk pantun dinyanyikan oleh sekelompok orang yang ikut serta dalam proses pembukaan lahan, menanam lahan dan memanen hasil pertanian. Selanjutnya teks-teks Dedeng yang berbentuk syair merupakan teks yang berbentuk mantra, biasanya digunakan oleh seorang pawang atau dukun dalam berkomunikasi dengan kekuatan supernatural dalam aktifitas membuka lahan pertanian baru.
Pantun dan syair dari teks-teks Dedeng berisi tentang himbauan, permohonan, dan harapan yang ditujukan kepada dua hal yakni kepada manusia dan kepada alam (Manurung: 43, 1995). Dedeng yang ditujukan kepada manusia adalah Dedeng yang bersifat himbauan kepada masyarakat Melayu yang berada di sekitar tempat tinggal mereka untuk mencari hutan yang dianggap cocok sebagai lahan pertanian baru. Semakin banyak masyarkat yang berpartisipasi dalam mengerjakan pertanian baru ini, maka semakin luas pula lahan yang dapat dibuka. Oleh karena luasnya lahan yang dibuka, maka tidak hanya melibatkan satu atau dua keluarga saja melainkan melibatkan banyak keluarga dan juga kerabat yang ada di sekitar tempat tinggal masyarakat, bahkan beberapa desa yang mengerjakan lahan secara bergotong royong.
Dedeng yang ditujukan kepada alam adalah Dedeng yang memegang perananan penting dalam hal meminta izin kepada penunggu hutan yang terdiri dari hama-hama tanaman, roh-roh gaib, dan binatang buas agar tidak mengganngu aktifitas atau mengahalangi keinginan mereka baik sewaktu merintis atau ketika mendapatkan lahan pertanian.
Dalam konteks penyajian musik vokal Dedeng pada kebudayaan masyarakat etnik Melayu Langkat, pada dasarnya terdiri dari dua bagian yang terintegrasi. Pertama, yang bersifat sakral dan religi terutama pada bagian baris pantun atau syair yang berisi mantra yang dilakukan oleh seorang pawang hutan. Kemudian yang kedua adalah pada barisan pantun yang dinyanyikan oleh peserta upacara yang justru dianggap sebagai hiburan semata. Walaupun kedua bentuk penyajian syair atau pantun itu berbeda konteksnya namun mereka menganggap keduanya terintegrasi karena tercakup di dalam sebuah aktifitas upacara yang sakral sesuai dengan keperluan upacaranya. Untuk mengetahui bentuk penyajian Dedeng dalam ketiga jenis aktifitas agrikultural tersebut akan diuraikan seperti di bawah ini.
Proses penyajian Dedeng pada reba diawali oleh berkumpulnya para kaum lelaki yang bersepakat untuk pergi ke hutan untuk mencari lahan sebagai perladangan baru dengan beberapa pertimbangan yang cocok sebagai lahan seperti tanah yang subur, mengandung banyak air, dan banyak tumbuhan berbagai macam jenis tumbuhan. Setelah lahan hutan tersebut ditemukan, lalu mereka mendatangi pengetua adat kampung dan melaporkan hasil temuan mereka. Setelah dilaporkan dan dipertimbangkan oleh pengetua adat kampung, lalu mereka bersama masyarakat lainnya meninjau lokasi baru tersebut. Untuk meninjau lokasi baru itu juga tidak boleh secara sembarangan melainkan ditentukan harinya yang menurut mereka hari ini merupakan hari yang baik. Penentuan hari yang baik untuk meninjau lokasi baru tersebut ditentukan pula oleh sang pengetua adat setelah melakukan ‘’menilik hari’’ dan menemukan hari yang tepat.
Selanjutnya setelah hari yang baik ditemukan lalu penengtua adat menghimbau kepada masyarakat dan pemuda setempat untuk meninjau lokasi hutan sebagai lahan pertanian baru itu. Mereka membawa beberapa peralatan menebang hutan seperti kampak dan parang. Selanjutnya mereka mencari pohon yang paling besar sebagai tempat untuk menancapkan beberapa parang dan kampak tesebut ke pohon kayu sambil berkomunikasi dengan roh penunggu kayu tersebut dengan mengungkapkan beberapa kalimat yang berfungsi sebagai mantra seperti di bawah ini.
Kalau hutan ini boleh kami jadikan tempat perladangan kami, tolong diberikan tanda supaya kami tidak mendapat halangan, perkenankan kami mencari nafkah di tempat ini dan berikan rezeki, maka pertanda kampak ini tetap berada di kayu ini. Tetapi seandainya pohon ini tidak boleh kami tebang, berilah tanda kepada kami supaya kami berpindah ke tempat lain, pertandang parang atau kampak ini lepas dari pohon kayu ini.
Rentang waktu antara penancapan kampak dan parang dengan waktu mendapatkan kabar izin dari roh-roh gaib, lamanya adalah satu malam. Hal ini berarti bahwa jika kampak dan parang telah ditancapkan selama satu malam, maka keesokan harinya anggota masyarakat telah mendapatkan kabar izin atau setidaknya lahan tersebut dibuka dari makhluk-makhluk gaib yang ada di sekitar pohon itu. Adakalanya ketika keinginan mereka untuk membuka lahan baru ternyata tidak mendapatkan izin, maka mereka meminta bantuan seorang pawang sebagai mediator untuk memindahkan makhluk gaib yang ada disekitarnya ke tempat lain.
Biasanya untuk mengetahui apakah lahan tersebut mendapat izin atau tidak, dilakukan oleh pengetua adat yang langsung meninjau lokasi lahan baru itu pada waktu pagi hari. Apabila kampak dan parang masih tertancap pada pohon kayu yang besar itu, berarti lahan tersebut mendapat izin untuk dibuka sebagai lahan perladangan baru. Selanjutnya pengetua adat memberi tahu kepada seluruh warga bahwa lahan tersebut telah mendapatkan izin, yang kemudian dilaksanakan sebuah upacara penebangan hutan yang diikuti oleh seorang pawang atau dukun. Pada saat upacara penebangan hutan inilah Dedeng pada reba dinyanyikan oleh seoran dukun atau pengetua adat yang dapat menyanyikan dengan baik sembari menyiapkan beberapa beras kunyit dan kemenyan yang dibakar ditujukan untuk mendapatkan restu dari kuasa-kuasa gaib yang berada di sekitar lahan itu. Upacara dilakukan dengan cara menabur segenggam beras kunyit oleh pengetua adat, sedangkan pawang terus membakar dupa kemenyan sambil menyanyikan nyanyian Dedeng. Adapun teks syair Dedeng yang dinyanyikan adalah seperti yang di bawah ini.
Oi…….dendang di dendang
Dendangku sayang
Dendang di
Denda………..ng
Dendang di
Denda……….ng
Dendang di
Denda………ng
Dendangku sayang
Pada reba padang jalura….an
Dulu ditebas baru ditebang
Udah direbah daun pulona…..an
Baru kunanti hujan dating

Oi…….dendang didendang
Dendangku sayang
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendangku sayang

Padang reba padang
Jalura………………..an
Hendak ditanam padi segumpal
Sudah diradah nanti direba
Nantikan kaum datang menukal
Oi…….dendang didendang
Dendangku sayang
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendangku sayang

Sungguh sedap berpadang reba
Naik batang si turun batang
Alangkah sedap dipandang mata
Kaum kerabat sematanya datang

Oi…….dendang didendang
Dendangku sayang
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendangku sayang

Jika ditinjau dari ilmu Hermeneutika (ilmu tentang simbol), makna yang terkandung dari teks Dedeng Padang Reba menyiratkan tentang tiga hal pokok yaitu, pertama adalah peristiwa pembukaan lahan pertanian baru, yang kedua adalah peristiwa menanam benih baru dan yang ketiga adalah peristiwa kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama yang secara harafiah diartikan kegiatan bergotong royong dalam melaksanakan pekerjaan.
Mulaka Nukal adalah kegiatan yang dilakukan pada saat penabur benih padi di lahan pertanian baru yang dibuka. Dalam pelaksanaan upacara Mulaka Nukal, kegiatannya tidak lagi dilaksanakan secara luas oleh kesatuan dari beberapa kelompok melainkan dilaksanakan hanya oleh para pemilik lahan yang menggarap lahannya masing-masing menurut pembagian keluarga atau kerabatnya. Hal ini terjadi disebabkan setelah lokasi hutan dibersihkan, mereka membagi lahan kepada masing-masing keluarga atau kerabatnya, walaupun dalam proses pengerjaannya aktifitas menanam benih tetap dilakukan secara bersama-sama yang bertujuan untuk membantu setiap kelompojk keluarga.
Sebelum upacara menabur benih dilakukan, biasanya para pemilik lahan mendatangai para tetangga untuk meminta bantuan dalam menabur benih ke lahan barunya. Pemilik ladang menyediakan beraneka makanan untuk disantap oleh para tetangga yang akan membantunya menuai benih. Setelah para tentangga dan kerabat bersedia untuk membantunya, lalu mereka secara bersama-sama turun ke ladang sambil menyiapkan berbagai keperluan untuk menuai benih padi seperti alat-alat untuk melubangi tanah sebagai tempat bibit padi ditaburkan yaitu sebuah kayu berukuran sebesar pergelangan tangan dan panjanganya kira-kira satu setangah meter. Bagian pangkal sari kayu tersebut dikikis diberi ketajaman agar dapt membuat lubang di tanah.
Upacara dimulai dengan menyanyikan beberapa bait teks Dedeng oleh si pemilik lahan atau boleh juga oleh peserta yang dapat menyanyikannya. Nyanyian Dedeng pada upacara Mulaka Nukal syairnya berisi tentang permohonan agar padi yang ditanam dapat tumbuh dengan baik, terhindar dari hama-hama tanaman, dan juga harapan agar mendapatkan hasil panen yang berlimpah roh dari kuasa-kuasa gaib yang diyakini dapat memberikan kebaikan kepada manusia.
Selain itu teks Dedeng juga berisi tentang syair-syair yang ditujukan sebagai rasa penghargaan kepada para peserta yang ikut dalam aktifitas menaman padi seperti di bawah ini.

Oi…….dendang didendang
Dendangku sayang
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendangku sayang

Padang reba padang
Jalura………………..an
Hendak ditanam padi segumpal
Sudah diradah nanti direba
Nantikan kaum datang menukal
Oi…….dendang didendang
Dendangku sayang
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendang didenda………..ng
Dendangku sayang

Sungguh sedap berpadang reba
Naik batang si turun batang
Alangkah sedap dipandang mata
Kaum kerabat sematanya datang

Aktifitas berdedeng dalam upacara Mulaka Nukal tidak berlangsung lama, karena setelah nyanyian Dedeng dilakukan kegiatan menanam padi dapat segera dilaksanakan. Setelah upacara dilakukan kegiatan menyanyi dapat dilanjutkan kembali oleh para peserta yang ikut berpartisipasi dalam menanam benih padi. Pelaksanaan penanam benih padi, umumnya dilakukan para pemuda dan pemudi kampung. Sebelumnya beberapa orang pemuda telah berbaris secara teratur membentuk saf sambil menghujamkan sepasang kayu pembuat lubang ke dalam tanah sebagai tempat bibit atau benih padi. Di belakangnya diikuti oleh para penabur benih, wanita yang berbaris menurut saf sambil meletakan bibit benih padi ke dalam lubang. Kaum pria maupun wanita masing-masing menunjukan kebolehannya dan keterampilannya dalam membuat lubang dengan cepat, begitu juga kaum wanita dengan cegat dan sigap dapat degan cepat pula mengisi benih padi ke dalam lubang. Aktifitas membuat lubang di permukaan tanah ini biasanya disebut dengan istilah. Kaum lelaki biasanya melakukan aktifitas menukal dengan cara beradu cepat diantara mereka, dan saling mendahului. Siapa yang lebih cepat menukal dianggap yang paling terampil dan lebih cekatan. Begitu juga kaum wanita, mereka berlomba-lomba untuk mengisi benih padi ke dalam lubang yang telah dibuat oleh para penukal. Biasanya aktifistas menukal dan menabur benih di lahan pertanian dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin yakni hanya satu hari saja. Bila tanah atau lahan yang dibuka dalam ukuran yang luas sekali, maka pekerjaan ini dapat dilanjutkan keesokan harinya. Dalam kegiatan ini tak jarang di antara mereka ada yang berkomunikasi secara tersirat, dan adanya keinginan untuk mengenal lebih dekat terhadap wanita atau pria yang diidamkannya dalam kegiatan tersebut.
Para pemuda menggunakan kesempatan ini untuk lebih mengenal gadis idamannya dengan cara melantunkan beberapa pantun, berdendang, yang berisi tentang sindiran, sapaan, atau gurauan kepada wanita yang didambakannya. Pantun dedeng disesuaikan dengan isi hatinya dengan harapan mendapat respon dari pasangannnya. Bagi pemuda dan pemudi masyarakat Melayu kegiatan ini merupakan kegiatan yang dianggap yang paling efektif untuk tujuan mengenal antara satu sama lainnya dalam kehidupan pergaualan muda-mudi. Pada zaman dahulu, para pemuda dan pemudi yang bercakap-cakap atau bertemu secara bebas pada masyarakat Melayu dianggap pantang atau tabu.
Setelah sekian lama benih ditabur, selanjutnya padi mulai tumbuh besar, tinggi yang kemudian menghasilkan padi baru siap untuk dipanen. Selanjutnya si empunya ladang akan kembali mengundang warga kampung, terutama kaum muda-mudi dalam kegiatan mengetan padi. Mengetan padi adalah sebuah kegiatan memanen padi dengan menggunakan ketam atau ani-ani yakni pisau pemutus padi dari tangkainya. Sambil mengetan padi para muda-mudi kampung berkomunikasi antara satu sama lainnya dan saling lebih mempererat tali silahturahmi di antara mereka, bahkan ada yang melanjutkan perkenalan di antara mereka, sebagaimana mereka telah merajut tali asmara ketika mereka melaksaknakan aktifias menukal sebelumnya.
Setelah pekerjaan mengetan padi selesai dikerjakan, sebagian di antara muda-mudi tadi ada yang mengikat tangkai-tangkai padi yang baru diketam dan dikumpulkan secara berkelompok-kelompok agar mudah dibawa ke rumah si empunya padi. Setelah kegiatan mengetam padi dan mengangkat padi ke rumah selesai dikerjakan, beberapa hari selanjutnya pemilik padi kembali mengundang para pemuda dan pemudi ke rumahnya untuk melakukan pekerjaan lanjutan.
Kegiatan pemuda-pemudi selanjutnya adalah kegiatan mengirik padi yaitu kegiatan yang bertujuan untuk melepas butir padi dari tangkainya. Lakasi melepas butir padi biasanya berada pada bagian tengah dalam rumah. Posisi para wanita berada di belakang sebuah bilik, sedangkan para pengirik padi lelaki berada di pinggir tumpukan tangkai padi dalam posisi membentuk lingkaran tumpukan padi. Para orang tua biasanya berada di sekitar belakang bagian dapur rumah sambil mengawasi kegiatan mengirik padi ini sampai selesai dikerjakan kaum muda-mudi. Kegiatan mengirik padi adalah kegiatan melepaskan butir padi dari tangkainya yaitu dengan cara menginjak-injak tangkai padi sampai padinya lepas dari tangkainya. Tangkai-tangkai padi taid diinjak, dipilin, diputar dengan menggunakan kedua kadi sehingga padi seluruh butir padi jatuh ke bawah lantai yang diberi alas tikar pandan. Untuk lebih menghangatkan suasana pengirik padi yang berjenis kelamin laki-laki melantumkan beberapa pantun. Mereka bernyanyi dedeng sambil mengucapkan kata-kata ahoi-ahoi secara responsial, untuk lebih menambahkan semangat dalam melakukan aktifitas mengirik padi.
Para pemuda terus menyanyi, berpantun secara bersahut-sahutan dan secara bergiliran bertujuan untuk mengeluarkan cetusan isi hati mereka kepada para wanita idamannya masing-masing. Biasanya pantun terdiri dari beberapa bait sesuai dengan kemampuan masing-masing pemuda dalam membuatnya. Pantun terdiri dari sampiran dan isi yang diucapkan sesirang dengan nada yang sama dan berulang-ulang tapi teksnya berbeda dan isi pantun disesuaikan denagn kehendak dan maksud, pikiran si penyampai pantun. Ketika sampiran dan isi yang teridiri dari empat baris selesai diucapakan, selanjutnya para peserta lainnya langsung menyabut dengan kata Ahoi-ahoi-ahoi. Selanjutnya ketika isi pantun selesai diucapkan seketika itu pula pra peserta lainnya kembali mengucapkan kata-kata Ahoi-ahoi-ahoi, demikian seterusnya. Jika seseorang telah meneyelesaikan pantunnya, maka pantun selanjutnya dapat dilakukan secara bergantian oleh seluruh peserta. Cara pelaksanaannya sama dengan pemantun sebelumnya dan disambut pula oleh peserta lainnya dengan kata Ahoi-ahoi-ahoi. Pantun boleh juga diajukan kepada seseorang wanita yang disenangi. Dalam aktifitas berpantun ini sering terjadi kesalah pahaman di antara mereka ketika pantun dinyanyikan, di mana seseorang merasa bahwa pantun tersebut ditujukan kepada dirinya, tetapi ternyata bukan ditujukan kepada dirinya, sehingga terjadilah gelak tawa yang membahana di antara sesama mereka bahkan para orangtua yang mengawasi mereka. Contohnya pantun seperti di bawah ini.
Tiga petak tiga penjuru
Tiga ekor kumbang diapit
Pantun tidak tertuju padamu
Teruntuk dara berlusung pipit.
Mendengar pantun ditujukan kepadanya, wanita berlesung pipit kemudian tersipu-sipu malu, bahkan di antara para gadis ada yang saling cubit-cubitan. Selanjutnya seorang gadis menjulurkan sekapur siri dengan menggunakan seutas tali kepada seorang pemantun untuk menyabut baik pemantun. Tetapi adakalanya seorang pemuda iseng mengambil jaluran sekapur sirih yang ditujukan kepada pemantun padahal sekapur sirih itu bukan ditujukan kepadanya. Namun jika juluran sekapur sirih itu langsung diambil si pemantun, barulah pemuda iseng tadi tidak mengambilnya. Mereka terus mengirik padi sambil bernyanyi dengan menggunakan pantun yang bervariasi sesuai dengan tujuan diantaranya adalah pantun sekedar perkenalan, pantun nasehat, pantun asmara, pantun semangat dan jenis pantun yang disesuaikan dengan kehendak, hasrat dan pikiran seorang pemantun. Contoh pantun selanjutnya adalah sebagai berikut.
Kalau tidak karena bulan
Mana bintang meninggi hari
Kalau tidak karena tuan
Mana dagang datang ke mari
Ahoi-ahoooi-ahoi
Ahoi-ahooooi-ahoi
Anak daek mudek ke hulu
Hendak mengambil si asam pauh
Biarpun zaman terus berlalu
Budaya kita dipegang teguh
Ahoi-ahoooi-ahoi
Ahoi-ahooooi-ahoi
Kalau ada kaca di pintu
Kaca lama saya pecahkan
Kalau adik kata begitu
Badan dan nyawa saya serahkan
Ahoi-ahoooi-ahoi
Ahoi-aohoooi-ahoi
Pagi hari surya bersinar
Banyak orang menebang kayu
Sudah banyak lagu didengar
Tidak sesedap lagu melayu
Ahoi-ahoooi-ahoi
Ahoi-ahooooi-ahoi
Hitam-hitam si buah manggis
Manis pulak rasa isinya
Biar hitam ku pandang manis
Yang hitam manis siapa namanya.
Ahoi-ahoooi-ahoi
Ahoi-ahooooi-ahoi

Para pemuda maju ke tengah secara bergantian untuk melakukan aktifitas berpantun yang kemudian disambut pula oleh para pemuda lainnya di arena mengirik padi tersebut. Mereka terus beradu pantun sambil melakukan aktifitas mengirik padi hingga tidak terasa hari sudah beranjak larut malam. Setelah mereka lelah mengirik padi barulah beristirahat sambil menikmati beberapa makanan, bahkan ada keluarga yang rela mempersiapkan hidangan untuk makan malam bersama sebelum acara mengirik padi dilaksanakan oleh para anak dara. Bila mereka semua telah merasa lelah, barulah kegiatan mengirik padi dapat dihentikan. Jika seandainya persediaan tangkat padi masih banyak, maka kegiatan mengirik padi dapat dilanjutkan pada malam hari berikutnya.
Dari sekian banyak genre kesenian yang ada, musik vokal Dedeng merupakan musik vokal yang sudah semakin langka dan musik yang semakin tidak terelakan kepunahannya. Padahal dulunya musik vokal ini dianggap musik yang paling esensial dan sangat berperan dalam kehidupan masyarakat etnik Melayu Langkat khususnya dalam kegiatan bercocok tanam. Denagn berubahanya lahan hutan menjadi kawasan industri, apalagi berubahnya peukiman penduduk dari desa menjadi kota, praktis penggunaan dan fungsi Dedeng semakin jarang dan terancam punah. Kemudian dengan berubanhnya sistem sosial pertanian masyrakat dewasa ini yang menggunakan sistem pertanian modern, dan mengabaikan sistem atau konsep-konsep pertanian tradisional, sudah barang tentu salah satu warisan kekayaan budaya dalam bidang agrikultur ini akan hilang.

Diedit oleh Visitlangkat
*Muhammad Zulfahmi adalah dosen Institut Seni Indonesia Padangpanjang, Sumatera Barat. Dikutip dalam Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 14, No.1, Juni 2012.

MASJID AZIZI – JEJAK PENINGGALAN MELAYU LANGKAT

Image

Gambar: Masjid Azizi Dari Halaman Dalam

Visitlangkat – Langkat. Sekitar 75 KM dari Medan, ibukota propinsi Sumatera Utara, tepatnya di kecamatan Tanjung Pura, Langkat, terdapat sebuah bangunan bersejarah dari peninggalan Kesultanan Melayu Langkat. Bukti fisik dari kebesaran Kesultanan Melayu Langkat ini adalah berupa bangunan masjid yang memiliki arsitektur bernilai tinggi, yaitu masjid Azizi Tanjung Pura.

Masjid Azizi Tanjung Pura ini didirikan pada dua generasi kesultanan Langkat. Pembangunan masjid yang pertama dilakukan pada tahun 1899 Masehi atau 1320 Hijriah oleh sultan Langkat pertama Sultan H Musa Almahadamsyah (1840 – 1893). Setelah Sultan Musa wafat pembangunan masjid diteruskan oleh anaknya yaitu Sultan Tengku Abdul Aziz Jalik Rakhmatsyah (1893 – 1912), dan selesai pada 13 Juni 1902 atau 12 Rabiulawal 1320 H, yang kemudian masjid ini dinamai oleh nama sang sultan Abdul Aziz.

 Image

Gambar: Kubah Dalam Masjid Azizi

Pada masa pembangunan masjid Azizi ini, kesultanan Langkat tengah berada dalam masa keemasaan dikarenakan posisi kesultanan Langkat yang strategis. Dilalui oleh jalur sungai Wampu yang membelah Langkat dan menjadi jalur utama perdagangan air yang menghubungkan dengan kesultanan Kedah dan Klantan Malaysia, serta hasil bumi berupa minyak yang terdapat di Pangkalan Berandan. Pembangunan masjid ini pun menghabiskan ratusan ribu ringgit Malaysia, dan semua material bangunannya diimpor dengan puluhan kapal yang diangkut dari Malaysia.

Yang menjadi ciri khas bangunan dari masjid Azizi ini adalah ornamen warna khas Melayu Islam yaitu kuning. Serta arsitektur bangunan fisik kubah dan menara yang dilihat dari luar tampak seperti bangunan masjid Islam di India. Sementara arsitektur dalam masjid tampak seperti bangunan masjid pada masa Ottoman Turki yang dipenuhi tulisan kaligrafi Arab pada dinding-dinging tembok masjid.

Image

Gambar: Pintu masuk Masjid Azizi

Bangunan masjid ini berukuran 25 x 25 meter dan ketinggian yang mencapai 30 meter. Masjid ini memiliki tiga pintu masuk yang menjadi anjungan yang terdapat pada sisi timur, utara dan selatan. Sementara arah ruang shalat masjid ini menghadap ke barat. Pada sisi barat di luar bangunan masjid Azizi terdapat makam para sultan Langkat yaitu Sultan Musa, Sultan Abdul Azizi dan Sultan Mahmud, serta makam guru ngaji para sultan Langkat yaitu Sjech Muhammad Yusuf. Selain itu terdapat juga makam dari pujangga dan pahlawan nasional Tengku Amir Hamzah. Pada sisi timur bagian luar masjid terdapat bangunan madrasah dan perpustakaan Tengku Amir Hamzah yang mengoleksi hasil karya sang pujangga. Di sisi luar bagian selatan masjid adalah pintu masuk yang menghubungkan dengan rumah dari kerabat para Sultan, yang kini bergabung dengan rumah para warga. Sementara sisi luar bagian utara menjadi pintu masuk utama yang menghadap ke jalan besar Tanjung Pura yang menghubungkan propinsi Sumatera Utara dengan Aceh.

Image

Gambar: Pusara Tengku Amir Hamzah (Pahlawan Nasional dan Sastrawan Pendiri Balai Pustaka) yang merupakan keturanan kerabat sultan.

Di masjid Azizi Tanjung Pura setiap tahunnya diadakan perayaan tahunan yang juga bertepatan dengan haul atau ulang tahun Sang Guru Sjech Rokan sang pendiri perkampungan Babasussalam di Tanjung Pura. Selain itu pada bulan ramadhan diadakan acara keagaaman setiap harinya, dan ketika berbuka puasa para pengunjung yang datang ke masjid Azizi akan mendapatkan bubur pedas yang merupakan makanan khas Melayu Langkat.

Maka jika Anda berkunjung ke tanah Berpadu Sekata Berpadu Berjaya ini, singgahkanlah kaki Anda ke masjid Azizi Tanjung Pura. Nikmati pula suasana kehidupan masyarakat Melayu pesisir dan bangunan-bangunan lama dari Tanjung Pura tempo dulu.

Transportasi Dan Biaya

Untuk mencapai ke lokasi masjid ini sangatlah mudah. Dari Medan, anda bisa menaiki bis dari terminal Pinang Baris Medan dengan menggunakan bis dalam propinsi PS (Pembangunan Semesta) tujuan Pangkalan Susu atau Berandan dengan tarif 35.000 rupiah. Atau dengan menggunakan bis mini Timtax dengan tarif 45.000.

Lokasi masjid Azizi Tanjung Pura ini berada di pinggir kiri jalan raya Medan – Tanjung Pura, supir bis akan memberhentikan Anda tepat di pinggir jalan depan masjid Azizi Tanjung Pura.

SEJARAH SINGKAT KABUPATEN LANGKAT

Sebelum menjadi sebuah kabupaten seperti sekarang, Langkat dahulunya merupakan salah satu kekuatan di wilayah pesisir pantai timur Sumatera, yang masih di bawah pengaruh kekuasan Kesultanan Deli. Pada tahun 1884 Langkat berdaulat dan menjadi sebuah kerajaan yang berdiri sendiri, kedaulatan Langkat didapat setelah menandatangani kesepakatan dengan Belanda (yang pada saat itu datang sebagai penjajah) yang menandakan Kesultanan Langkat di bawah kedaulatan Hindia Belanda. Maka pada tahun 1887 Pangeran Musa pribadi dinaikkan derajatnya oleh Belanda dengan memperoleh titel Sultan Al Haji Musa Almahadainsyah, sebagai sultan Langkat yang pertama. (Sinar, 2006:113)

Ketika Sultan Musa mangkat, maka jabatanya sebagai sultan Langkat dilanjutkan oleh anaknya bernama Tengku Abdul Azis, yang pada tahun 1893 mendapatkan gelar Sultan Abdul Azis Abdul Jalil Rakhmatsyah.